Kenapa Waduk Gajah Mungkur Diberi Nama “Gajah Mungkur”

Bendungan serbaguna wonogiri
Tulisan Bendungan Serbaguna Wonogiri terlihat dari Bendungan Baru Plosorejo
(Sumber: docpri)


Fubuki Aida Blog – Jika mengunjungi Plaza Wonogiri, atau yang biasa dikenal dengan Patung Bedhol Desa, maka yang tampak di tulisan dinding bukit dekat PLTA Wonogiri adalah tulisan “Bendungan Serbaguna Wonogiri”.

Ini menjadi pertanyaan, kenapa namanya demikian, padahal tulisan tersebut berada di samping waduk yang selama ini dikenal dengan nama waduk Gajah Mungkur?

Beberapa tahun belakangan, baru saya tahu hal ini karena nama resmi Waduk Gajah Mungkur sebenarnya adalah “Waduk Serbaguna Wonogiri”.

Lantas, kenapa kemudian Waduk Gajah Mungkur diberi nama “Gajah Mungkur”?

Ada sejumlah asumsi terkait penamaan ini. Di sejumlah literatur yang silahkan dicari sendiri di internet,  penamaan Waduk Gajah Mungkur ini konon diberikan oleh Presiden Suharto dengan mengambil nama Gunung Gajah Mungkur yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Sukoharjo.

Tapi ini menimbulkan keganjilan

Untuk beberapa orang yang sudah tau Gunung Gajah Mungkur Sukoharjo, mungkin merasa aneh jika penamaan waduk dikaitkan dengan lokasi tersebut.

Alasannya karena lokasi Waduk Gajah Mungkur Wonogiri jauh dari Gunung Gajah Mungkur yang ada di Sukoharjo tersebut.

Berbeda dengan tulisan-tulisan yang banyak beredar di internet, pakde saya memiliki pandangan lain soal penamaan Waduk Gajah Mungkur ini.

Penamaan Gajah Mungkur

Dalam kunjungan saya ke rumahnya beberapa tahun lalu, sebagaimana masih bagian dari percakapan saya saat menanyakan mengenai “Benarkah di waduk gajah mungkur ada satu keluarga yang ditenggelamkan?

Ketika itu, pakde menjelaskan asal usul penamaan Waduk Gajah Mungkur menurut versi yang ia ketahui.

“Jadi dulu pernah direncanakan pembuatan waduk sejak jaman Belanda,” ujar Pakde 1.

Baca Juga: Masa Lalu Waduk Gajah Mungkur yang Datang Kembali

Singkatnya, pada jaman keraton di era masih penjajahan Belanda, rencana pembuatan Waduk Gajah Mungkur telah ada.

Namun, pakde menyebut posisi waduk tersebut bukan berada di posisi pembangunan waduk yang saat ini ada.

“Waduk yang sekarang, bukan Waduk Gajah Mungkur yang pertama dulu (jaman Belanda) direncanakan. Namanya lebih dikenal  'Gajah Mungkur' dibanding 'Waduk Serbaguna' karena terkenalnya rencana yang pertama itu namanya,” ujar dia.

Meski demikian, pakde tak bisa memastikan jaman keraton yang ia maksud tersebut apakah saat masa keraton Kasunanan atau Mangkunegaran. Namun menurutnya jika diurutkan kemungkinan saat era Mangkunegan mengingat Wonogiri adalah bagian dari Mangkunegaran.

Beliau saat saya konfirmasi ulang akhir Januari lalu menyebut, tidak tau pasti terkait rancangan pertama waduk, karena beliau sendiri tidak melihat langsung dokumen lama dari rancangan pertama waduk tersebut.

“Aku tidak melihat dokumennya. Cuma saat orang-orang pada kemari (Ir Sutami dan rombongan) mengatakan bahwa akan dibangun waduk di sini namun berbeda dengan rancangan waduk yang pertama,” ujarnya.

Adapun nama Gajah Mungkur, menurutnya nama tersebut berasal dari nama gunung yang terlihat seperti ‘Gajah Mungkur’ atau gajah yang membalikkan badannya dan bersiap pergi.

Adapun Gunung Gajah Mungkur yang ia maksudkan menurutnya adalah gunung yang terlihat dari Lapangan Korjo Wonogiri (dekat SMP N 1 Wonogiri).

Dalam pemahaman pakde gunung itu yang disebut sebagai Gajah Mungkur dan bukan gunung yang ada di administratif Sukoharjo.

Suatu ketika, saat saya melihat-lihat ke Lapangan Korjo, Wonogiri saya rasa saya tahu gunung yang dimaksud pakde.

Hal ini karena ada satu gunung yang jika diamati sekilas  mirip dengan Gunung Gajah Mungkur Sukoharjo dari kejauhan dengan puncak membentuk "plenukan" dan di sisi ujungnya seperti membentuk turunan panjang.

Dan jika dilihat-lihat menurut saya memang mirip dengan seekor gajah dimana turunannya yang miring mirip dengan telalai gajah (dilihat dari sekitar Lapangan Korjo)

Saya mencoba memotret gunung tersebut namun saya mengambil gambar dari dekat jalan menuju Gardu Pandang Bendungan Serbaguna.

Gunung Gajah Mungkur
Gunung diduga sebagai Gunung Gajah Mungkur
Foto diambil dari Jalan kalau ke kiri ke Tulisan Bendungan Serbaguna
dan kalau lurus ke Soto Pencil

Saat saya memastikan mengenai foto tersebut pakde mengiyakan bahwa yang ia yakini sebagai Gunung Gajah Mungkur adalah gunung tersebut.

Namun dari penjelasan pakde menurutnya Gajah Mungkur tersebut adalah rangkaian perbukitan bukan gunung yang berdiri sendiri.

"Ya itu. Urutannya mulai dari Layang Gantung Lawas (Watu Cenik) ke barat," ungkapnya.

Juga termasuk dengan bukit di mana tulisan bendungan serbaguna berada.



"Itu kalau didekati  pedot-pedot (Gunungnya pisah-pisah).  Miripnya Gajah Mungkur kalau dulu mirip jika dilihat dari Wonogiri kota," ujarnya.

Meskipun belum pasti saya rasa cerita pakde ini menjadi lebih masuk akal jika dibandingkan mengaitkan dengan Gunung Gajah Mungkur yang ada di Sukoharjo. 

Jika melansir catatan Harian Kompas pada 7 Januari 1976, nama "Gajah Mungkur" juga sudah disebutkan sebelum peresmian dilakukan.

Pemberitaan mengenai Waduk Gajah Mungkur tersebut berjudul "Waduk Serbaguna "Gajah Mungkur" Sudah Mulai Digarap".

Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa Departemen Fakultas Pertanian UGM bekerjasama dengan Proyek Bengawan Solo berdasarkan survei telah dapat menentukan lokasi pembangunan bendungan. Yakni mulai dari Gunung Gajah Mungkur hingga Desa Petir, lebih kurang 2 km sebelah selatan kota Wonogiri.

Saya rasa ini menjadi masuk akal jika Gunung Gajah Mungkur adalah sebagaimana yang dimaksud pakde mengingat bendungan masih berada di kawasan Desa Petir, Pokoh Kidul.

Baca Juga: Kolam Renang Soko Langit, Kolam Rooftop Rasa Ubud di Wonogiri

Sejarah Waduk Gajah Mungkur

Gunung Gajah Mungkur


Dalam percakapan bersama pakde beberapa tahun lalu ini, pakde menjelaskan pula mengenai sejumlah alasan pembangunan waduk.

“Kenapa dibuat? Karena dahulu setiap tahunnya banjir dari Wonogiri sampai ke Surabaya sana,” jelasnya.

Hal ini karena aliran Sungai Bengawan Solo memiliki banyak hulu di Wonogiri.

Aliran hulu-hulu inilah yang sekarang ditampung di Waduk Gajah Mungkur.

Hulu tersebut diantaranya adalah Sungai Pidekso. Adapula Sungai Wiroko yang berasal dari Tirtomoyo. Kemudian terdapat Sugai Keduwang juga Sungai Walikan yang berasal dari lereng Gunung Lawu.

Di samping pembangunan waduk utama, sejumlah waduk-waduk kecil menurutnya juga dibangun untuk mendukung fungsi utama Waduk Gajah Mungkur.

Waduk-waduk kecil yang ia maksud tersebut di antaranya adalah Waduk Song Putri untuk membendung aliran dari sungai-sungai di Eromoko. Serta ada bendungan lain seperti adanya Waduk Nawangan di Wuryantoro.

Pakde mengatakan rencana pembangunan waduk yang saat ini menjadi Waduk Gajah Mungkur berangkat dari terjadinya peristiwa banjir besar di tahun 1966 yang menyebabkan Kota Solo  tenggelam.

Peristiwa banjir besar sendiri berdasar pengalaman saya menjadi sebuah peristiwa yang sampai hari ini masih  kerap dijadikan lelucon orang-orang Solo kalau bercanda dengan orang Wonogiri. Kerap kali mereka berkata: "Jangan macem-macem sama orang Wonogiri, dibukak waduknya tenggelam kita,"

Kembali ke pakde.

Pakde menyebut banjir besar Solo tahun 1966 terjadi hingga ke daerah Bojonegoro dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa.

“Sebelum kejadian banjir itu, lintang kemukus  ki ono terus saben esuk. Setiap orang melihat. Pertanda pageblug,” cerita pakde.

Lintang kemukus yang sempat terlihat itu menurutnya banyak diyakini masyarakat jaman dahulu akan terjadinya suatu bencana besar.

Dan setelah beberapa waktu usai terlihatnya lintang-lintang kemukus itu menurutnya banjir terjadi.

Baca Juga: Watu Cenik Wonogiri, Spot Selfie Balon Udara Yang Instagramable

“Sewaktu banjir banyak yang hanyut. Jembatan pada remuk. Seperti jembatan pakem yang menghubungkan Giriwoyo-Batu,” tuturnya.

Ia mengatakan padahal jembatan tersebut adalah jembatan jaman Belanda yang notabene jembatan kuat.

Kemudian jembatan Somoulun yang berdiri berdekatan dengan dengan jalur kereta api yang menghubungkan Batu hingga Solo.

Dahsyatnya banjir tahun 1966 itu  dalam ingatan pakde masih membekas. Menurutnya ketika itu atap-atap rumah banyak yang terbawa hingga ke jembatan Jurang Gempal, Pokoh..

Aku nulungi wong pirang-pirang nang cedak Jurang Gempal. Mbah kakung bengok-bengok. Mbah buyutmu ki tukang golek iwak, tukang jolo. Ning simbahmu ki ra iso renang, untunge anake do iso. Pas kui, balungan omah do keli” kenangnya.

Ia mengatakan jembatan Jurang Gempal akibat banjir itu pada akhirnya juga ikut ambruk saat makin banyaknya muatan yang hanyut yang mendorong jembatan ke samping.

“Karena adanya banjir yang terjadi setiap tahun dibuatlah Waduk Gajah Mungkur ini. Yang merancang Ir Suminto yang merupakan Kepala Proyek Bengawan Solo saat itu,” tuturnya.

Menurut pakde, ketika itu,yang datang ke Wonogiri untuk pembicaraan awal terkait pembuatan waduk adalah Ir Suminto, Ir Sutami dan juga Drs. Sudarto.

Ir Suminto sendiri menurutnya sempat menjadi Kepala Proyek Waduk Riam Kanan yang ada di Kalimantan.

Adapun Ir Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum (PU) saat itu.

Setelah pembuatan Waduk Gajah Mungkur, menurut pakde, Ir Suminto yang ketika itu mengepalai Proyek Bengawan Solo kemudian melanjutkan pembangunan Waduk Kedung Ombo yang ada di Sragen.

“Di samping itu ada normalisasi sungai, termasuk membuat jembatan-jembatan. Sekarang kan di daerah Sukoharjo ada banyak jembatan. Itu untuk normalisasi sungai supaya jalan tidak berkelok-kelok sehingga tidak tergogos-gogos,” ujarnya.

Adapun pembicaraan awal mengenai pembangunan waduk mulai dilakukan pusat kepada daerah dimulai sekitar tahun 1973.

Kemudian menurutnya sekitar tahun 1974 survei dan hitung-hitungan ganti rugi mulai dilakukan.

Pembangunan waduk tahap awal menurut pakde dilakukan sekitar tahun 1975 dan di tahun itu orang-orang mulai ditransmigrasikan.

Transmigrasi Bedhol Desa sendiri menurutnya selesai pada tahun 1979.

Terkait proses transmigrasi, dilakukan secara bertahap menggunakan berbagai moda transportasi termasuk kereta dan kapal.

Bagian ini kapan-kapan lagi saya lanjutkan tulisannya yak.

Waduk Gajah Mungkur sendiri jika merujuk dokumen Harian Kompas, diresmikan oleh Presiden Suharto pada 17 November 1981.

Dari cerita pakde, pembuatan waduk berlangsung cepat menurutnya karena ketika itu dikerjakan oleh ribuan orang yang membuat DAM dan mendatangkan insinyur dari Jepang meskipun banyak juga insinyur-insinyur dalam negeri yang ikut dalam pengerjaan.

Pakde juga mengisahkan setelah masa 5 tahunan setelah pembangunan waduk, sempat dilakukan evaluasi terkait kondisi waduk.

Dan dari evaluasi tersebut ternyata diketahui adanya sedimentasi yang mana ketika itu usia waduk yang harusnya 100 tahun diperkirakan hanya akan berlangsung selama 25 tahun.

Dari evaluasi tersebut kemudian dilakukan sejumlah upaya untuk memperpanjang usia waduk seperti seharusnya.

Salah satunya upaya penghijauan dengan menggerakkan orang-orang di sekitar hulu sungai untuk penghijauan. Selain itu juga dilakukan pembangunan dam-dam kecil yang difungsikan untuk mengatur lumpur agar tidak terjadi sedimentasi.



*Tulisan di atas masih membutuhkan narasumber. literatur dan mungkin pandangan ahli lain. Jadi tulisan ini saya harap tidak dijadikan rujukan valid namun membuka wawasan baru agar Anda yang penasaran bisa menggali lebih dalam lagi. Kalau ada masukan atau teori lain bisa dituliskan di kolom komen

 

 

 

 

 

You Might Also Like

0 comments

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)