Plinteng Semar, Legenda Taman Kota Wonogiri
Kadang ketika kita terlalu terbiasa dengan yang kita miliki, kita jadi terlupa untuk peduli.
Seperti halnya saya. Kadang saya sering terlalu muluk-muluk ingin kesana-sana. Menjelajah tempat-tempat jauh. Memimpikan menginjakkan kaki di sudut-sudut bumi. Namun ketika ditanya tentang daerah sendiri, saya hanya bisa menggeleng. Antara tidak tahu, dan tidak terlalu tahu.
***
Plinteng Semar bagi sebagian warga Wonogiri seperti saya, hanyalah kawasan biasa yang kerap dilintasi karna letaknya yang memang di pinggir jalan raya. Atau kalau tidak, Plinteng Semar hanya dikenal sebagai sebuah tempat untuk menunggu datangnya Bus yang akan ke Solo. Sebuah halte yang teduh, nyaman untuk menunggu bus di siang yang mengerang. Selebihnya, saya hanya sebatas tahu, bahwa tempat itu juga dinamakan Taman Selopadi yang memiliki patung semar besar yang terlihat dari jalan raya.
Siang hari itu, saya menemani adik sepupu menunggu bus di bawah lokasi Plinteng Semar. Biasanya, saya cuek saja dengan kawasan itu. Mungkin saking seringnya saya melintas di sana. Namun hari itu, entah kenapa saya tiba-tiba saja tergerak untuk menaiki tangga di samping halte yang menuju ke arah Taman Selopadi, lokasi Patung Semar berdiri.
Sekian tahun saya tinggal di Wonogiri ya baru sekali itu saya menginjakkan kaki di kawasan Taman Selopadi. Baru hari itu saya melihat dari dekat, patung semar yang berdiri seolah menunjuk. Dulu sewaktu kecil, palingan saya hanya lewat saja di jalan setapak di dekat batu semar guna menerabas jalan menuju Gunung Gandul. Itupun saya tidak memperhatikan dengan detail ada apa di sana. Hanya sekedar lewat saja. Sisanya ya cuman berdiri atau duduk-duduk menunggu bus di bawah kawasan Taman Selopadi.
“Nek jarene wong bien, watune kui watu ne semar pas mlintheng –kalau kata orang dulu, batu itu batunya Semar ketika ngetapel-” ucapan simbah tiba-tiba terngiang. Ahh iya. Dahulu simbah pernah mendongengi saya tentang Plinteng Semar. Lokasi yang kerap saya anggap biasa itu, bukan hanya tentang patung Semar yang berdiri ternyata. Tapi ada legenda dibaliknya.
Andaikan hari itu saya tak melihat Plinteng Semar dari dekat, mungkin saya tak akan ingat tentang cerita Simbah yang entah sudah berapa tahun yang lalu.
“Kui watune ra iso ngglundung. Nglundunge nek kiamat, -Itu batunya nggak bisa jatuh, jatuhya kalau kiamat-” tambahnya lagi. Saya terkekeh teringat lanjutan ceritanya. Dulu kalau simbah sudah bercerita seperti ini saya percaya-percaya saja.
batu plinteng semar |
Kehadiran sebuah batu besar yang berdiri bersandar pada pohon asem, memang hal yang paling membuat lokasi ini khas. Batu besar itu berdiri bercokol dengan posisi miring tanpa terjatuh.
“Kalau sampai batunya ngglundung, omah-omah bakal kembrukan, -rumah-rumah bakal kejatuhan-” lanjutnya lagi.
Apa yang dikatakan simbah cukup masuk akal. Lokasi Plinteng Semar berada di ketinggian. Dibawahnya adalah perkampungan warga yang bentuk tanahnya semakin menurun. Jadi kalau Batu Plinteng Semar jatuh, bayangan saya, rumah warga hanya seperti papan luncur untuk batu itu menggelinding.
“Nyampai sini Mbah?”
“Ora -Tidak- , rumah kita aman,” ujarnya. Kala itu saya kecil, merasa sangat lega.
Simbah memang tak terlalu detil menceritakan pada saya tentang legenda Plinteng Semar. Setelah saya mencari tahu lebih lanjut, rupanya ada beberapa versi yang menceritakan tentang tempat ini. Namun semua cerita itu tertuju pada satu kisah, tentang batu ketapel Semar.
Semua cerita pada intinya sama dengan yang diucapkan Simbah. Bahwa batu itu berasal dari ketapel semar. Yang membedakan adalah versi musuh. Ada yang menyebut cerita tentang Semar yang melawan raksasa ketika melindungi Pandawa. Namun ada juga yang menyebut tentang Semar yang melawan Syekh Subakir.
Salah satu versi menyebut cerita tentang perlawanan Semar dengan raksasa di daerah Tawangmangu ketika Semar sedang menemani Pandawa. Salah satu batu ketapel yang digunakan Semar saat berperang luput, dan terlempar sampai Wonogiri. Akibatnya batu ketapel itu tersangkut di pohon asam. Saking saktinya Semar, maka batu besar itu kuat menempel seperti sekarang. Karena itulah, warga kemudian menyebut batu itu sebagai batu Plinteng Semar.
Jika melihat batu itu dari dekat, batu itu seperti halnya bebatuan yang kerap kali ada di daerah pegunungan seribu. Semacam batu besar yang kelihatannya seperti tersusun dari batu-batuan kecil yang menempel dan bergabung jadi satu. Konon, batu Plinteng Semar memiliki ukuran setara 3 kali besar gajah dengan berat sekitar 25 ton.
Sebagai pengukuhan identitas, selanjutnya Patung Semar dengan gaya khasnya berdiri membungkuk dibangun. Dilengkapi bangku-bangku yang dimaksudkan agar bisa dimanfaatkan warga sebagai Taman Kota.
Ketika saya di sana, bangku-bangku terlihat kosong. Lokasi itu sejatinya cukup sejuk. Pohon-pohon teduh menaungi. Pemandangan dari atas pun terlihat lumayan. Masih dilengkapi pula perosotan yang bisa dimanfaatkan anak-anak kecil untuk bermain. Ya, sejatinya Plinteng Semar memang ditujukan sebagai Taman Kota. Tempat ini sebenarnya cukup ikonik. Namun saya yakin, warga Wonogiri sendiri tak banyak yang tahu tentang legenda batu yang ada di bawah kaki Gunung Gandul ini.
Nah, jika kebetulan kamu lagi ada di kawasan Wonogiri, sempatkan sejenak, mampir ke Plinteng Semar, sekedar melihat sisi ikonik salah satu Taman Kota Wonogiri ini.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang diselengarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah"
14 comments
Hahaha jadi inget dulu waktu kecil juga pernah main kesini, samar2 juga masih inget cerita tentang plinteng semar ini mbak.
ReplyDeleteLokasinya memang cukup unik karena berada pada lereng bukit. Dan yg menjadi ikonik adalah batu besar yg nangkring itu.
Sekarang masih bersih kayak dulu ga ya?
masih mas. terakhir kesana bersih tempatnya
DeleteKenapa ya Wonogiri itu lekat dengan punakawan? Kayaknya ada jalan "irung petruk" juga ya? Bener ngga? Aku waktu kelas 5 dulu diajak ke Wonogiri dan pas lewat tikungan ekstrim itu pada bilang kalo itu irung petruk yg mancung.
ReplyDeleteKalau itu nggak tau kenapa. Tapi kalau irung petruk tau mbak. Masuknya daerah Sidoarjo kalau nggak salah irung petruk itu
DeleteCerita legeda atau mitos seperti ini menjadikan sebuah tempat menjadi lebih dihargai. Tidak sembarangan dirusak dan lainnya. Cerita yang turun menurun menjadi saksinya.
ReplyDeleteJadi kangen baca tulsian-tulisan cerita legenda :-)
yup. ada nilai lebih sebuah tempat jika ada legendanya
DeleteWah ternyata begitu toh legenda plenting semar, baru tau :D
ReplyDeleteya begitulah. :)
DeleteMbak mau nanya, dulunya lokasi plinteng semar itu hutan (alas) atau gimana?
ReplyDeletesaya kurang tahu mbak. Tapi kalau lokasi wonogiri sendiri kontur tanahnya naik turun. Dan plinteng semar ini lokasinya di punggung lembah kaki gunung gandul. Apakah dulunya hutan? bisa jadi
DeleteTempatnya asyik, adem gitu.
ReplyDeleteTapi kayaknya sepi.
iya. lokasi plintheng semar memang cukup sepi. Sebenarnya tempat ini kalau dikelola, diberi akses wifi misalnya, bakalan cukup nyaman
DeleteBarusan habis dari sana mbak..
ReplyDeleteDan juga akan buat postingan mengenai Plintheng Semar.. hehe
Ditunggu postnya mas
DeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)