Fubuki Aida Blog

  • Home
  • Cerita
  • _Kuliner
  • _Traveling
  • _Hotel
  • _Info
  • About
  • Disclaimer
Penatah di Desa Wisata Wayang Sidowarno
(Dok. Pribadi)

Fubuki Aida.com -
Rabu (15/8/2024) lalu, saya berkesempatan datang ke Desa Wayang Sidowarno, Klaten bersama rombongan komunitas Penakita dan PT Astra International Tbk.

Ini sebenarnya bukan kali pertama saya berkunjung ke sana. Sebelumnya, saya pernah datang sendirian di 2018 lalu, namun saat itu Kampung Wayang Sidowarno belum menyandang gelar sebagai Desa Wisata.

Ada banyak aktivitas wisata seru yang bisa kami lakukan saat mengunjungi Desa Wisata Wayang Sidowarno, mulai dari jemparingan hingga melihat pembuatan wayang.

Jemparingan

Saya menjajal jemparingan di Desa Sidowarno
(Dok. Mas Silis)


Salah satu aktivitas wisata yang ditawarkan di Desa Wisata Wayang Sidowarno adalah jemparingan. Jemparingan ini maksudnya olah raga panah. 

Saat berkunjung ke Desa Wisata Wayang, kami diberikan kain jarik untuk dikenakan. Jadi saat harus memegang busur dan anak panah, saya udah seperti srikandi saja rasanya.

Menurut warga yang menemani kami berlatih memanah, aktivitas jemparingan ini masuk dalam pilihan paket wisata yang bisa dipilih saat mengunjungi Sidowarno.

Menjajal jamu

Menjajal jamu di Desa Sidowarno
(Dok. Pribadi)


Berwisata ke Desa Wisata Wayang, kami juga diajak mengunjungi tempat pembuatan jamu gendong di Sidowarno.

Di sini kita bisa belajar bagaimana cara membuat jamu-jamu tradisional sekaligus mencicipinya.

Saya kemarin sempat mencicip jamu paitan dan kunir asemnya. Kunir asem di sini jauh lebih segar dari yang pernah saya coba-coba di penjual jamu umumnya. Lumayan lah buat jaga kesehatan.

Melihat proses pengerokan

Proses pengerokan kulit kerbau
(Dok. Pribadi)

Salah satu daya unggul dari Desa Wayang Sidowarno, Klaten yakni adanya edukasi pembuatan wayang secara menyeluruh. 

Saat berkunjung ke sana Kamis lalu, kami dijelaskan bagaimana proses pembuatan wayang, bahkan ditunjukkan langsung cara pembuatannya. 

Kami mulanya dibawa ke tempat Pak Hasan, yang Lokasi rumahnya tak begitu jauh dari Joglo yang kami gunakan untuk berkumpul sebelum keliling desa. Di tempat Pak Hasan, kami diajak melihat proses pengerokan kulit kerbau yang jadi bahan dasar wayang kulit.

Pak Hasan menunjukkan tempat untuk mencuci kulit
(Dok. Pribadi)

Pak Hasan sendiri dulunya seorang pemahat wayang di Desa Sidowarno. Karena alasan kesehatan mata, ia tak lagi menjadi pemahat, namun fokus untuk mempersiapkan bahan baku.

Dengan sangat ramah, Pak Hasan menjelaskan cara membuat wayang mulai dari saat kulit kerbau “dipenthang” atau diikat sisi-sisinya pada bambu.

Setelah dipenthang menurut dia, kulit kemudian dijemur, dan dicuci untuk mendapatkan hasil yang lebih lunak nan mengkilat. 

Setelah proses tersebut, kulit kemudian dikerok guna menghilangkan bulu. Baru setelah itu, kulit dipotong menjadi bentuk wayang yang diinginkan. 

Ia mengatakan, perlu waktu sekitar 1,5 hari untuk proses pengerokan kulit kerbau. 

Melihat tatah sungging

Proses menatah wayang
(Dok. pribadi)

Memahami proses pembuatan wayang secara lebih lanjut, kami juga dibawa menuju tempat Pak Baron Wayang.

Kami dijelaskan, kulit setelah dibentuk menjadi wayang, selanjutnya ditatah untuk memunculkan ciri khas masing-masing karakter.

Penatahan ini prosesnya cukup rumit karena tatahan berukuran sangat kecil, berjumlah banyak, dan harus memiliki motif-motif tertentu.

Setelah ditatah, wayang akan dilakukan pewarnaan menggunakan cat. Pewarnaan wayang tak bisa dilakukan asal-asalan, karena ada pakem-pakem tertentu.

Total, proses tatah dan pewarnaan ini bisa memakan waktu hingga 10 harian. Ketelitian sangat diperlukan dalam proses ini.

Proses pewarnaan wayang
(Dok. Pribadi)

Belajar payet

Belajar memayet di Desa Sidowarno
(Dok. Pribadi)


Aktivitas selanjutnya yang bisa dilakukan di Desa Wisata Wayang Sidowarno adalah belajar payet.

Payet di desa ini cukup terkenal. Bahkan anak-anak Presiden Jokowi juga memayet baju pernikahannya di desa ini.

Kami kemarin belajar memayet menggunakan mote, benang dan kain yang disediakan untuk wisatawan. Ternyata memayet itu meski terlihat sederhana, nyatanya butuh ketekunan dan ketelitian yang luar biasa.

Hanya memayet gambar sepotong saja, kemarin saya sudah menyerah saat belum selesai. Enggak kebayang bagaimana pemayet menyelesaikan satu gaun yang hampir seluruhnya dipayet.

Melihat pembuatan kaligrafi

Pembuatan kaligrafi di Desa Butuh, Sidowarno
(Dok Pribadi)

Satu lagi yang menarik di Desa Wayang Sidowarno adalah kita bisa melihat pembuatan kaligrafi dari kulit kambing.

Pembuatan kaligrafi dari kulit ternyata juga memerlukan proses pengerokan seperti saat pembuatan wayang. 

Kulit kambing juga diperlakukan hampir sama, yakni memerlukan proses penjemuran dan pencucian dalam proses pembuatannya.

Tak lekang gempuran zaman

Pak Baron Wayang memberikan penjelasan seputar perjalanan Desa Sidowarno
(Dok. Pribadi)

Sejarah Desa Wayang Sidowarno tak lepas dari sosok Mbah Hadi Kasimo. Ia adalah sosok yang disebut-sebut sebagai pelopor kerajinan wayang di Desa Sidowarno yang mulai membuat wayang di tahun 1960-an.

Hingga kini, kerajinan wayang di desa Sidowarno seolah tak pernah lekang oleh gempuran zaman. Total, ada sekitar 75 pengrajin wayang kulit di Desa Sidowarno.

Desa Sidowarno sendiri juga terus bertumbuh, terbukti desa ini telah memenangkan banyak kompetisi. Di antaranya pada tahun 2021, desa memenangkan kompetisi Kampung Berseri Astra dan Desa Sejahtera Astra.

Berkat kemenangan ini, Sidowarno mendapatkan hadiah sebesar Rp 300 juta yang kemudian digunakan untuk membangun sebuah Joglo yang digunakan oleh warga untuk penyambutan para tamu maupun acara-acara desa.

Pada tahun 2022 lalu, Sidowarno mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah sebagai desa wisata.

Prestasi lain, Desa Sidowarno juga pernah memenangkan juara harapan Jateng Gayeng. Serta Juara 2 KBA Inovasi di tahun 2022.

Pada tahun 2023, Desa Wayang Sidowarno masuk sebagai 75 desa wisata terbaik dan berkelas dunia.

Desa Sidowarno masuk sebagai 75 desa wisata terbaik
(Dok Pribadi)


Reservasi

Jalanan Desa Wisata Wayang Sidowarno
(Dok. Pribadi)

Jika tertarik berkunjung ke Desa Wisata Wayang Sidowarno, bisa mengunjungi media sosial Instagram @desawisatawayang.

Atau menghubungi kontak:
  • 089523068629 (Fadilla)
  • 082138176850 (Mita)
  • 0895618764488 (WA Bisnis)

Atau juga bisa menghubungi 0859121623902 (Berliana).

Alamat Desa Wisata Wayang Sidowarno: Joglo Omah Wayang, Butuh, Sidowarno, Kec. Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

  • 0 Comments

Omah Demit, Bukit Patum 


Awal tujuan saya datang ke Bukit Patrum sebenarnya bukan untuk mengunjungi bukit yang ternyata memiliki nilai sejarah. Awal kedatangan saya kemari sebetulnya untuk melihat Teratai…

***

Belakangan, di media sosial Instagram unggahan mengenai spot foto dengan pemandangan bunga teratai di Klaten viral usai diunggah oleh sejumlah akun admin medsos wilayah Soloraya. 

Karena kebetulan saya dan Nana baru seneng-senengnya sama Drama China 'The untamed' dimana di cerita itu ada sebuah tempat penuh bunga teratai yang disebut dengan Dermaga Lotus, maka begitu melihat hal-hal berbau teratai kita jadi girang banget dan pengen datang ke tempat itu. Haha. Konyol banget ya, di usia segini masih gini banget kelakuan kita.

Singkat cerita, lokasi bunga-bunga teratai itu adalah di Kawasan Bukit Patrum. 

Ekspektasi kita udah tinggi banget pas mau datang kemari. 

Bayangan foto ala di Dermaga Lotus sudah memenuhi kepala.

Setelah perjalanan kurang lebih 45 menit  dari Wonogiri, saya, Nana, juga 3 sepupu saya yang lain akhirnya sampai juga di  Taman Teratai yang ternyata ada di wilayah Bukit Patrum.

Begitu tiba kami langsung menuju sebuah gazebo, meletakkan barang-barang sembari mengamati sekitar.

Pandangan kami lempar ke berbagai arah mencari di mana tanaman teratai yang viral itu berada.

Hingga akhirnya mata kami tertuju pada sebuah kolam, entah harus saya sebut kolam, danau atau genangan air. Yang jelas tempat itu seperti bekas galian dengan air di dalamnya.

Tepat di atas kolam itu, beberapa menthog terlihat asyik berenang-renang di sana.

Saya bertanya-tanya, “mana teratainya?”

Saya kemudian melempar pandang ke sekitar, namun hanya terlihat menthog

Baru saat pandangan mata saya alihkan ke sisi depan, saya baru ngeh bahwa ada tumpukan warna merah yang ternyata merupakan tumpukan teratai layu.

Teratai layu itu tergeletak tak bertenaga di bekas galian yang kering tanpa air.

Sudah tidak musim tumbuhkah teratainya? batin saya.

Nana tiba-tiba berteriak girang, “Itu di sana masih ada,” tunjuknya.

Ia kali ini menunjuk ke sisi di mana galian tanah tampak masih memiliki air. Dan ya, masih ada tertatai di sana.

Tapi serius, jika bukan karena Nana kekeh bersemangat mendatangi teratai itu saya benar-benar malas.


Bagaimana tidak, lokasi di sana terlihat tak terawat,  dan berantakan. Jauh dari ekspektasi.

Apalagi, teratai-teratai itu tengah tidak mekar. Seorang penjual warung mengatakan bahwa teratai itu baru mekar jika hari masih pagi serta beranjak sore.

Kami datang terlalu siang saat matahari sedang terik-teriknya. Tak heran teratai itu layu.

Namun yah karena sudah terlanjur sampai kemari kami tetap berusaha menikmati lokasi.

Mengetahui sejarah bukit Patrum

Bukit Patrum

Namun yang kemudian menjadi menarik dari perjalanan ini adalah justru Bukit Pathrumnya.

Karena kebiasaan saya jarang browsing dulu secara detil mengenai tempat yang kami kunjungi saya tidak tahu apa-apa bahwa dekat taman teratai itu ternyata ada daerah perbukitan yang cukup ikonik.

Saya tidak menyebutnya bagus, tapi ikonik.

Yap, ikonik karena di bukit itu terdapat sebuah bukit yang jika dilihat dari bawah penampakannya layaknya Kawasan wisata Widosari, Kulon Progo.

Yang menjadikannya khas adalah adanya satu bagian bukit yang berdiri sendiri persis di Widosari. Bedanya, di atas bukit itu terdapat sebuah rumah satu-satunya yang menduduki puncak bukit itu.

Di sekitar bukit itu terlihat jelas bekas-bekas galian tambang, sehingga bangunan ini juga mengingatkan saya dengan film Up karena hanya ada satu-satunya rumah di sana.

“Kenapa pak, Namanya Bukit Patrum?” tanya saya pada seorang warga yang baru saja merumput di sekitar lokasi.

Sembari menstater motornya, ia menceritakan bahwa bukit itu ternyata memiliki cerita yang berkaitan dengan jaman kolonial.

Saya sedikit kaget, karena sama sekali tak mengira bahwa bukit ini memiliki sejarah panjang.

“Nggak tahu ya mbak, hanya saja ini sudah dari jaman Belanda. Mungkin itu Bahasa Belanda,” terangnya.

Ia kemudian menunjuk sebuah rumah satu-satunya yang berdiri di sana.

“Itu rumah sudah ada dari sejak zaman Belanda,” ceritanya.

“Itu dahulu digunakan untuk markas pemantauan tentara Belanda. Dulu di sana ada alat-alat pantaunya. Tapi terus udah nggak ada,” tambahnya

Yang lebih mengejutkan lagi, bapak yang sayangnya lupa saya tanyai namanya itu menceritakan bahwa dulunya antara Bukit Patrum dan Bukit Sidoguro dulunya adalah satu bagian.

Dahulu kedua bukit saling terhubung namun kemudian penggalian batu di sana menyebabkan bukit kemudian terpisah.

Saya setengah tak percaya. Namun jika melihat di sekitar lokasi memang terlihat bekas-bekas galian lama.

Dari strukturnya, Bukit Patrum ini merupakan perbukitan batuan kapur, dengan struktur khas bukit-bukit batu yang kerapkali ditemui di wilayah Wonogiri dan Gunung Kidul.

Si Bapak kemudian mengatakan bahwasanya dahulu terdapat tangga-tangga yang disusun untuk menuju rumah di Bukit Patrum tersebut. Namun kini sudah dihilangkan entah karena apa.

Usai menceritakan cerita singkat itu, si bapak kemudian pamit kembali ke rumah. Kami mengiyakan meskipun sejatinya masih ingin bertanya lebih lanjut.

Siang itu, di tengah terik matahari, kami kemudian tetap memutuskan naik ke Bukit Patrum. Yang kami naiki adalah bukit yang besar yang terpisah dari bukit dengan rumah di atasnya itu.

Untuk menuju ke bukit ini kami diharuskan menaiki sejumlah tangga semen yang kemudian disambung dengan tangga besi.

Hari itu hanya ada dua rombongan pengunjung yang datang selain kami. Rombongan pertama adalah sepasang muda-mudi yang duluan turun dari atas, dan segerombolan remaja perempuan yang memilih menghabiskan waktu di gazebo dekat tangga yang ada di bagian bawah.

Sementara kami, memilih terus mendaki hingga ke atas.

Bagian atas bukit Patrum ternyata juga terdapat gazebo. Sementara dari gazebo itu juga terdapat tangga besi lagi yang disandarkan di atas batu besar.

Batu inilah yang ketika dinaiki akan membawa kami ke puncak Bukit Pathrum.

Saat naik ke atas pemandangan yang tersaji adalah Kawasan perbukitan batuan kapur, persawahan serta terlihat Bukit Sidoguro. Pemandangan Bukit Sidoguro jika dilihat dari sini memang terlihat satu garis lurus. Namun rasanya lokasi bukit itu masih sangat jauh.

Jika benar perkataan warga tadi bahwa kedua bukit ini dulunya menyatu sangat mengerikan berarti proses penambangannya. Bayangkan saja bagaimana tambang menghabisi gunung.

Ahh, saya selalu merinding kalau membicarakan hal berbau tambang.

Pasalnya, aktivitas menambang gunung juga ada di Wonogiri. Di sejumlah tempat banyak gunung-gunung ditambang diambil batunya yang saya tidak tahu apakah itu illegal atau tidak.

Tak hanya itu, di sejumlah wilayah di Gunung Kidul, tambang-tambang batu juga banyak, bahkan ada satu tempat yang saya dapat cerita itu dulunya adalah bentangan gunung padahal kini ketika saya ke sana yang saya temukan ternyata tempat itu adalah sebuah sekolah dan tanah lapang yang kosong.

Dan membicarakan kegiatan tambang gunung semacam ini selalu mengingatkan saya pada sebuah ucapan teman, bahwa gunung adalah pelindung bencana, jika sebuah wilayah dekat dengan gunung (bukan gunung berapi) maka wilayah itu umumnya aman dari bencana. Maka jika gunung itu ditambang maka ya alamat ada bencana di sekitar wilayah itu.

Well balik lagi ke Bukit Patrum, dari puncak Bukit Patrum, saya juga bisa mengamati rumah yang nampak berdiri sendiri itu.

Rumah yang konon peninggalan Belanda itu terlihat berukuran tak terlalu besar, dan terlihat begitu kusam dan gelap.

Seandainya pun tangga-tangga pada dinding batu menuju rumah itu masih ada, mungkin saya juga tak akan berani mendatanginya.

Tidak begitu jelas bagaimana asal-usul Bukit Patrum yang sebenarnya.

Namun, jika melansir laman Tribunews rumah di Bukit Patrum ini disebut dengan ‘omah Demit’ atau rumah hantu.

Konon rumah itu adalah lokasi Gudang mesiu atau patrum (semacam bahan peledak) di zaman Belanda. Karena itulah mungkin Bukit ini kemudian disebut Bukit Patrum.

Sementara jika melansir dari laman Sorot Klaten, dijelaskan di bukit ini memang terdapat aktivitas tambang batu yang menggunakan bahan peledak sehingga bukit yang dulunya lurus menjadi tidak beraturan akibat penambangan baik menggunakan peledak maupun secara manual.

Adapun kini aktivitas penambangan batu di wilayah ini telah dilarang. Akan tetapi menurut cerita bapak yang mencari rumput tadi, aktivitas penambangan di wilayah Patrum sudah tidak diperbolehkan namun penambang berpindah ke bagian sebrang Bukit Patrum

Jika dilihat dari puncak, sebrang Bukit Patrum memang terlihat bukit-bukit bekas galian. Namun apakah yang itu atau bukan saya tidak tahu pasti.

  • 0 Comments
Selama ini saya mengira, faktor utama yang mempengaruhi kelanggengan ‘pengrajin budaya’ adalah masalah pasar (peminat) yang berkurang dari jaman ke jaman. Namun usai mendatangi Kampung Wayang di Desa Butuh Sidowarno, Klaten, baru saya paham, permasalahan kelanggengan pengrajin budaya itu terlalu sambung-sinambung dan kenyataannya masalah pasar justru bukanlah masalah yang paling krusial

***

Mengikuti petunjuk google map, saya membelah persawahan jalanan Sukoharjo yang mulai menghijau seiring datangnya musim penghujan bulan Desember. Jarak Sidowarno yang meskipun berada di wilayah Klaten, rupanya tak sampai sejam jika ditempuh dari lokasi saya di Wonogiri Kota. Lokasi kampung ini berdekatan dengan wilayah Kabupaten Sukoharjo, sehingga hanya dengan melewati jalur Wonogiri-Sukoharjo, kemudian berbelok di sebuah gang yang tak jauh dari lokasi Kabupaten Sukoharjo lantas dilanjutkan menerabas persawahan, saya sudah bisa mencapai kawasan Sidowarno dengan total perjalanan berkisar 45 menit saja.

Penanda memasuki Desa Sidowarno (docpri)


  • 6 Comments
Older Posts Home

Translate

Where we are now

o

About me

a


Fubuki Aida

Suka mengamati manusia, mendengar dan mencari cerita

~~Blogger Wonogiri-Solo~~


Kalau ada usulan tulisan bisa kontak saya di IG ya. Link bisa klik ikon IG di bawah

Find Me

  • youtube
  • instagram
  • facebook

Follow Facebook

Followers

Featured Post

Plinteng Semar, Legenda Taman Kota Wonogiri

Banner spot

Postingan Terbaru

Loading...

Labels

airy rooms astra bakso bengawan solo blora boyolali bubur buku cara pembaatalan tiket cerita Cernak cheriatravel Cirebon coretan coworking space solo featured gunungkidul hotel hotel alana hotel solo hotel wonogiri info jalan-jalan jawatengah jawatimur jepang jepara jogja kafe wonogiri KAI kampung inggris pare karanganyar karimunjawa karst kediri kereta klaten kolamrenang komputer kopi kudus kuliner kulinersolo kulinerwonogiri Lampung Liang Teh Cap Panda Liputan6 lomba lombok madiun magelang mesastila Pantai Pulau Merak Rembang Review safi saloka park Semarang solo sponsored stasiun story sukoharjo tawangmangu tempat ngopi solo tempat-meeting-solo traveling waduk pidekso watucenik wonogiri yogyakarta

Popular Posts

  • Solo Pluffy, Oleh-oleh Solo Bernafas Cinta Jessica Mila
    Solo itu manis.  Manis tutur aksara, perangai,  unggah-ungguh warganya dan tentu saja manis ‘wajah orang-orangnya ^^ Solo itu kota yang man...
  • Agrowisata Amanah, Tempat Outbound Asyik di Karanganyar
    Ini suatu perjalanan ketika suatu hari, kawan-kawan saya sepakat buat dolan Perjalanan kali ini bukan ke gunung, hutan, ataupun laut. Perja...
  • 3 Kolam Renang Khusus Perempuan di Solo
    Berenang merupakan salah satu olah raga yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. Ketika berenang, seluruh tubuh kita bergerak, secara otomat...
  • 5 Hotel Di Wonogiri Yang bisa Jadi Alternatifmu Menginap Di Kota Gaplek
    Membicarakan wisata, traveling dan semacamnya, memang tak bisa dilepaskan dari yang namanya hotel, dan kuliner. Karena blog saya beberapa t...
  • Review Novel Daniel Mahendra, “Perjalanan ke Atap Dunia”
                Sebetulnya buku ini sudah niat saya ambil dari rak buku Perpustakaan Ganesha sejak dulu-dulu. Tapi lantaran lagi sok sibuk, ci...

instagram

Created By ThemeXpose | Distributed By Blogger

Back to top