Fubuki Aida Blog

  • Home
  • Cerita
  • _Kuliner
  • _Traveling
  • _Hotel
  • _Info
  • About
  • Disclaimer
Omah Heritage depan

Menginap di Jogja menjadi pilihan saya saat kemalaman pulang dari Dieng usai melihat embun beku dan naik Gunung Prau beberapa waktu lalu.

Jujugan saya ketika sampai di Jogja adalah Omah Heritage. Sebuah penginapan yang dari luar tampak seperti bangunan ala-ala keraton.

Lebih mirip istana sih tepatnya. Nuansanya yang putih, mengingatkan saya dengan bangunan istana kepresidenan jogjakarta yang ada di dekat Malioboro.

Meski seorang sumber menyebut, bangunan ini memang masih ada hubungannya dengan keraton, tapi kali ini saya tidak mau bahas sejarah Omah Heritage.

Pasalnya, saya sudah tanya ke resepsionis, tapi dianya seperti tidak paham dan seperti tidak ingin bercerita banyak. Dan karena saya tidak sedang ingin menelusur lebih jauh, ya sudah saya tidak melanjutkan penelusuran.

Tapi kalau pembaca penasaran, silahkan cari tahu sendiri, dan kalau sudah tau, mungkin bisa diceritakan di kolom komentar.

Bagian Lobi Omah Heritage
(Sumber: booking.com)
kemarin kamera mati, jadi nggak poto sendiri. haha


Kembali lagi, jadi pembahasan saya kali ini lebih berfokus ke review Omah Heritage sebagai penginapan.

Oke, buat saya, Omah Heritage adalah penginapan solutif buat para traveler mental ngirit semacam saya ini.

Pasalnya, menginap di tempat ini saya hanya perlu membayar Rp 60.000 saja. Murah bingit bukan?

Jadi, saya booking tempat ini menggunakan aplikasi booking.com. Saya tidak sedang diendorse ya. 

Tapi booking.com memang selalu jadi pilihan saya ketika saya mencari penginapan murah, low budget di bawah 100 ribu.

Lantas, apa menariknya Omah Heritage?

kamar dormitory Omah Heritage
(sumber: booking.com)

Apa menariknya Omah Heritage??
Tentu saja, Murah. 
Haha. 

Iya, murah, tapi nggak murahan.

Dengan harga Rp 60.000 saya mendapatkan kamar dormitory yang layak huni nggak kayak kos-kosan. 

Eh iya, itu harga sewaktu bulan Juni 2019 ya.

Kalau sekarang (Oktober 2019), barusan saya cek ke booking.com harganya sudah Rp 77.500

Ya, setidaknya masih di bawah Rp 100.000 lah. Murah untuk ukuran penginapan di Jogja.

Jadi, kamar tempat saya menginap di Jogja ini model dormitory.  Dormitory nya terpisah antara cewek dan cowok.

Untuk dormitory di kamar saya sendiri seingat saya ada 8 kamar .

Tempat tidurnya resik. Sepreinya putih, nggak kotor.

Kasurnya nyaman. Dan tempat tidur bertingkatnya merupakan amben kayu yang prediksi saya sudah berusia lama, tapi kelihatan kokoh. Mungkin memang tempat tidur lama tapi kualitas kayunya bagus. jadi tetep layak pakai dan malah kesannya eksotis.

Untuk kamar mandinya sendiri per kamar dormitory ada. Kemarin di kamar dormitory cewek, kamar mandinya berupa kamar mandi shower, serta kamar mandi biasa dengan toilet duduk dan dilengkapi pula shower. Yang penting sih resik, luas, pintu tertutup sampai ke bawah. Jadi nyaman kalau saya.

Haha, suka heran kadang dengan desain kamar mandi yang ngapain sih pintunya nggak sampai menutup ke bawah? Pakai bolong di bagian bawahnya?

Berdasarkan pengalaman saya kemarin, saya ketemu beberapa turis asing di Omah Heritage. Satu kamar saya saja kemarin turis dari Malaisya semua. Ada 3 orang perempuan di kamar saya yang semuanya satu kelompok pengunjung dari Malaisya.

Awalnya saya agak aneh ketika ngajakin ngobrol mereka, kok mereka seperti “orang bodoh” saat saya ajak ngomong bahasa Indonesia.

Kelihatan harus mencerna agak lama omongan saya.

Tapi setelah mereka bilang dari Malaisya, oalah baru saya bisa maklum. Ya gimanapun meski bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia mirip tetap saja ngedengerinnya harus dicerna dulu.

Jadi, mereka bilang, mereka ke Indonesia dan menginap di Omah Heritage karena baru saja mendaki Merbabu, Prau, serta Andong. 

Saya dengerin ceritanya mlongo.

Saya aja cuma mendaki Gunung Prau udah kerasa mau tepar. Hla ini, 3 gunung dalam 3 hari berturut-turut. Salut lah.

Well, kembali ke review Omah Heritage.

Jadi, di Omah Heritage ini seperti biasa kalau nginep di penginapan. Dikasih fasilitas handuk.
Eh tapi handuk sewa hlo ya nggak dibawa pulang.

Terus, fasilias lain di Omah Heritage adalah free wifi, serta sarapan.

Nah, bagian sarapan ini yang mau saya kritisi.

Jadi, saya kan udah girang banget tuh nginep di penginapan murah eh masih dapet sarapan.

Tapi ketika saya dateng ke tempat makan, saya musti mimbik-mimbik kecewa.

Iya lah, soalnya sarapan yang mereka maksud itu sarapan roti tawar beserta selai dan misisnya. Serta tersedia fasilitas pemanggangnya.

Ya, saya kan sebagai “wong ndeso” dapat sarapan cuma begiuan yo gelo lah.

Wkwkwk.

Saya soalnya termasuk penganut paham “ora sego ora wareg” hahaha.

Jadi ya sandwich-sandwich an begitu yo kurang sreg.

Tapi ya sudah, daripada kelaparan akhirnya tetap lah ya, saya makan roti seadanya.

Oh ya, Omah Heritage ini ada musholanya. Walau nggak luas, tapi lumayan lah, bisa solat di sini. 

Secara keseluruhan kesimpulan saya terhadap penginapan Omah Hritage adalah Oke bingit. Cocok lah buat kalian-kalian yang berencana menginap di Jogja tapi cari yang harganya murah di bawah Rp 100.000



  • 7 Comments
FubukiAida.com -  Abrakadabra Hostel Yogyakarta merupakan salah satu rekomendasi penginapan murah di Yogyakarta.

Sejatinya saya itu bukan ingin ke Yogyakarta, saya maunya itu ke Singapura, Jepang, Australi, pokoke yang saya pengen itu sejatinya backpacker ke luar negri. Sayang, kantongan kok dari dulu cekak-cekak aja. Tabungan juga segitu-gitu aja, nggak nambah, nyusut malah iya. Kalau ada istilah saldo lima koma, yang berarti setiap tanggal lima pasti koma. Kalau saldo ATM saya, nggak kenal istilah-istilah begituan. Hla wong nggak usah nunggu tanggal lima, itu saldo koma terus nggak ada bangun-bangunnya. Kalau dibahasakan pakai bahasa medis sih sebutannya NDE (Near Death Experience). Yeahh, kondisi ATM saya cen lagi setara sama istilah Mati Suri. Fiuhh,,,

Tapi saya itu anaknya positif. Jadi biar kata saya belum sanggup ke luar negri, saya coba berpikir “Ohh, mungkin maksudnya Allah, saya disuruh ke Jogja dulu.”

Lohh, kok Jogja ??

Iya, soalnya ini kota yang paling terjangkau di kantongan. Saya kan pengen banget backpackeran ke luar negri terus njajal nginep di dormitory gitu. Nah karna belum sanggup, bahkan untuk sekedar jadi ‘gembel’ aka backpacker, jadilah saya beberapa waktu lalu nyoba jadi backpacker terus nginep  di Jogjakarta saja.

Nggembel kok di Jogja to Daaa??? Nggak ada keren-kerennya, blas! 

Haha, biar.

Abrakadabra Hostel, Solusi Menginap Murah Di Yogyakarta

Abrakadabra Hostel

  • 8 Comments
Mengisi waktu luang dengan berolahraga, rasanya sangat jarang sekali saya lakukan belakangan ini. Masalahnya satu, malas. Bahkan kebiasaan menyempatkan diri berenang paling tidak dua minggu sekali yang dulu saya terapkan, sudah tak pernah lagi saya lakukan. Meski saya sudah mewanti-wanti diri “ayolah Da, inget umur! Kamu harus rajin olahraga biar tetep muda dan fit!” tetap saja tak berhasil menggerakkan saya untuk berolah raga lagi. Malas euy, habisnya dulu banyak teman-teman yang bisa saya ajak. Sekarang, langka T.T

Untungnya, beberapa waktu lalu ada seorang teman baru yang mengajak saya mendatangi sebuah tempat memanah di Jogjakarta. Yeahh walau hanya memanah, paling tidak tubuh ini olah raga barang beberapa menit.


tempat memanah di jogja


  • 0 Comments
“Harapan kita, kita bisa menjadi pilihan orang-orang yang akan mengadakan arisan atau acara semacamnya,” jelas Andi Sevenova di acara Pers Confrence peluncuran Bolu Susu Merapi beberapa waktu lalu.

Harapan yang senada dengan konsep tagline yang tertera di kemasan Bolu Susu Merapi: “Berbagi dengan Hati”.

Irisan-irisan Bolu Susu Merapi rasanya memang pas dijadikan hidangan di berbagai acara. Pun ketika menjadikan  Bolu Susu Merapi penganan oleh-oleh untuk orang-orang terkasih, sekotak Bolu Susu Merapi tentunya cukup membuat hati siapapun takluk karena senang.



Pertama kali menggigit kue ini saat di acara kemarin, saya menemukan sensasi rasa bolu yang amat lembut. Bolu anti seret, dengan rasa manisnya yang pas. Biarpun Jogja identik dengan rasa manis yang kadang berlebihan, tapi tidak dengan kue ini. Manisnya jauh dari kata eneg, sangat pas di lidah.

  • 14 Comments
Pertama kali mendatangi Antologi Collaboractive Space, saya langsung berdecak senang. Dari luar gedung, saya sudah terbayang, bagaimana nyamannya lokasi Coworking Space satu ini.

Lokasinya didesain kekinian. Bangunannya dikelilingi kaca-kaca serta di dalamnya, meja, kursi, serta sofa bisa ditemukan di berbagai sudut. Di ujung, deretan tempat lesehan dilengkapi rak dengan berbagai isian buku semakin menambah kesan nyaman bagi Antologi Collaboractive Space. Berbagai fasilitas komplit ini, kenyataannya memang membuat saya betah berlama-lama semenjak pagi.

Tempat Coworking Space yang baru saya tahu itu, hari ini terasa spesial. Bukan karena apa-apa. Hanya saja, hari ini saya mendapat  suntikan semangat dari dua perempuan hebat.


  • 24 Comments
Memasuki kedai Kopi Ketjil, saya sedikit terkejut dengan semua keterkecilan yang ada. Yeahh, sesuai dengan namanya, tempat ngopi ini kecil, mini. Kira-kira hanya seukuran sebuah garasi yang muat satu mobil. Di dalam kedai, hanya ada 3 buah meja. 2 meja khusus pengunjung, dan satu meja untuk pembeli sekaligus untuk sang barista meracik kopinya.

kedai kopi buka siang

Hari itu, 2 meja di belakang sudah terisi. Jadilah saya dan adik duduk menghadap meja tempat sang barista meramu. 


  • 9 Comments

Nama bocah itu Malikin. dialah yang hari itu memberi kami pengalaman istimewa menyebrang Pulau Kalong. Pengalaman yang saya tidak yakin, berani kembali untuk mengulanginya.

***

“Menyebrang Rp. 25.000, mbak,” bocah berbaju hitam tiba-tiba muncul menawari kami.

Deburan ombak Pulau Kalong yang mengetuki kaki pulau itu dengan liukan arogannya cukup membuat kami terpesona. Sampai-sampai kami tak sadar, ada manusia yang sedari tadi duduk di batuan dekat jembatan penyebrangan.

“Gimana? Nyebrang?” tanya saya pada yang lain. Pertanyaan ini, saya tahu hanya akan berakhir menjadi sebuah pertanyaan retoris belaka. Tanpa mereka perlu menjawab, tanpa kami membuat rencana di awal  untuk menyebrang pun saya sudah memperkirakan konsekuensi mengusulkan Pulau Kalong sebagai tujuan trip kita hari itu. Mereka pasti mengajak menyebrang.

“Nyebrang nho, wes adoh-adoh tekan kene og,” saya menelan ludah mendengar jawaban Nana. Satu jawaban yang diiyakan semua. Meskipun saya sudah hafal dengan jawaban ini, namun rasa ngeri kali ini, tak bisa terpungkiri menelusup kuat dalam hati.

Saya kembali membuang pandang ke jembatan, ke arah bawah laut, lalu ke pulau, berganti-ganti pandang dintara ketiga hal itu. Dentuman ombak keras mengalun, meliuk tanpa henti seolah berontak penuh amarah ingin menjuntai menggapai jembatan. Sementara, jembatan kayu yang dibuat renggang dengan hanya saling terkait dengan tali tambang itu nampak lemah, rapuh, dan gontai mempertahankan diri digoyang hembusan angin.

Pulau Kalong Gunungkidul Jogja


“Mau keliling pulau? Kalau mau saya temani,” tawaran Malikin menjadi sebuah tawaran tak terduga. Sebelumnya kami mengira bahwa Pulau Kalong hanya menawarkan spot foto, sensasi menyebrang, dan seperti yang tertulis di plakatnya: memancing. Tawaran mengelilingi pulaunya tentu langsung kami setujui.

“Nanti, kalau sudah sampai sebrang kalian tunggu di ujung sana ya,” Malikin menunjuk ujung jembatan.

Glekkk. Lagi-lagi saya menelan ludah. Tidak adakah cara lain untuk bisa sampai ujung selain melewati jembatan ini? Batin saya.

“Sopo sik sing nyebrang?”
“Kok aku wedhi yo,”
“Aku iyo. Koe sik ndang,”
“Aku we ngeriii,”
“Aku kok deg-degan. Koe sik wae,”

Kami sedikit berdebat saat kami benar-benar mendekat ke arah jembatan. Yeah, kami hanya wani angas sebenarnya. Sok-sokan berani, tapi sebenarnya rasa takut dalam hati menguasai.

Sebagai satu-satunya laki-laki diantara rombongan kami berempat, Abdi tanpa banyak berkata maupun nimbrung berdebat, langsung saja menyebrang mendahului. Kami menghentikan perdebatan, memperhatikan dengan seksama bagaimana ia berjalan santai dan tenang menapaki satu persatu kayu jembatan Pulau Kalong.

Namun ketika Abdi sampai diujung, kami ribut diskusi kembali.

“Saya temenin dibelakang deh Mbak,” Malikin akhirnya menawarkan alternatif. Ia menawarkan untuk menemani masing-masing dari kami menyebrang. Mungkin Malikin tau, kalau dia tidak menawarkan solusi, maka kami tak akan bergegas dan mengakhiri perdebatan.

Baru setelah diberitahu begitu, kenyataannya kami memang  berhenti diskusi.  Sesuai janjinya, Malikin mengantar kami.

Angin berhembus, menggoyang air laut, juga menggoyang jembatan yang disusun dari papan-papan kayu itu. Biarpun ditemani Malikin di belakang, tetap saja terasa ngeri.

“Jembatannya dilewati berdua tidak apa-apa?” Nana ragu. Malikin hanya tersenyum, sembari berujar meyakinkan bahwa jembatan itu aman.

Satu persatu dari kami akhirnya mencoba memberanikan diri. Saya menjadi yang terakhir dari rombongan yang menyebrang. Tiap kali melihat Malikin mondar-mandir di atas jembatan saya hanya bisa menggeleg takjub. Bocah 14 tahun itu terlalu berani.

Mata saya tak bisa berpindah selain ke arah kaki, memastikan bahwa pijakan saya tak luput, tak salah memilih  kayu, dan bukan sela lubang antara jajaran kayu yang saya pijak. Menjadi dilema tersendiri sebenarnya melihat ke bawah. Di satu sisi, biar tak salah langkah, tapi di sisi lain gumpalan-gumpalan ombak itu menumbuhkan gentar. Pada akhirnya hanya bisa pasrah menggerakkan mulut untuk tak henti-hentinya merapal dzikir sejak langkah pertama menginjak papan kayu. Yeahhh, sejatinya saya memang penakut.

“Ombak di bawah tak akan sampai ke atas jembatan,” saya cukup terhibur dengan ucapan Malikin sebelum kami menyebrang. Dalam hati saya berdoa, semoga ombak memang bergulung wajar. Saat kita ketakutan, siapa lagi yang bisa kita harapkan selain kuasa Tuhan untuk menyelamatkan?

Biarpun begitu, tetap saja dada berdesir-desir. Desau ombak tak juga mau berhenti. Andai saya punya remote ajaib, saya tentu akan menyalakan mode mute ke arah ombak-ombak dan angin-angin itu.

Saking paniknya, tangan saya sampai tremor. Untung saja saya tidak terpuruk lemas saking ketakutannya. Horor saja membayangkan andaikan saking takutnya saya tiba-tiba lemas tak bertenaga. Siapa yang bakal menggendong saya kembali? Jangankan menggendong, dilalui dengan jalan biasa saja jembatan itu bergoyang.

jembatan pulau kalong
Malikin menemani kami menyebrang
Kami bersorak, gembira manakala kami semua sukses sampai ke Pulau Kalong. Itu berarti tiba saatnya buat kami untuk melanjutkan keliling pulau.

“Lewat sini Mbak,” Malikin memberi aba-aba. Kami mulai mengikutinya. Menaiki satu persatu batuan. Terus naik, dan makin lama kami malah berjumpa dengan sisi curam tebing Pulau Kalong. Di situlah saya mulai merasa aneh.

“Ini sampai sana, jalannya seperti ini?” saya mulai mencium tanda-tanda bahwa menyebrang jembatan bukanlah satu-satunya kengerian yang akan kami hadapi.

Malikin mengiyakan. Saya ternganga di sela-sela nafas yang memburu saking tiba-tiba kami dihadapkan pada medan berupa tebing dengan batuan yang harus didaki.

Bayangan saya, bahwa keliling pulau adalah melalui hamparan datar rerumputan hijau seperti Pulau Kalong kalau dilihat dari jauh, pupus sudah. Mengelilingi Pulau Kalong yang sebenarnya adalah benar-benar mengelilingi pulaunya. Menelusur lewat tepiannya. Permasalahannya, sisi-sisi pinggiran Pulau Kalong adalah batu-batuan karang, berwarna hitam dan berongga-rongga. Diantara celah-celah batu itu kami melihat bayagan gelap dibawah. Sementara sisi pinggir kami adalah laut lepas tanpa pengaman. Yang bisa dipastikan, kalau jatuh  pasti plung lap, sekali plung terjatuh, lapp seketika, ilang ditelan laut.

menyusuri pulau kalongbebatuan enuju pulau kalong

Kami harus berhati-hati memilih pijakan batu yang kokoh. Belum lagi, kami harus memastikan, batu yang kami pijak adalah batuan dengan ujung tumpul bukan ujung lancip yang akan menyakiti kaki.

Astaga, saya rasanya benar-benar tak percaya dengan apa yang saya lakukan.

Ingin mundur, tapi tanggung. Balik pun butuh usaha yang nggak gampang. Saya harus menuruni batu-batu itu lagi? Tidak! Itu jauh lebih menakutkan. Maka terus berjalan adalah satu-satunya yang bisa kami pilih.

Gila saja rasanya, melewati medan se-extrem itu tapi saya harus menggunakan rok jeans. Ini suatu kesalahan besar. Meskipun  saya mengenakan dobelan celana panjang. Tapi masa iya saya tiba-tiba mau melepas rok? kan ya lucu. Jadilah akhirnya saya tetap mengenakannya, dengan konsekuensi saya harus menengok ke belakang sebelum melangkah, guna memastikan rok tak tersangkut. Tapi meski begitu beberapa kali tetap saja luput. Berkali-kali ujung rok saya tertambat batu tiap melangkah, untung tak sampai terjatuh.

Agak jauh di depan kami, Malikin bisa berjalan dengan cepat. Walau usianya masih belia, tapi dia sudah terlatih. Nyaris setiap hari kalau tidak sedang sekolah, remaja itu datang ke Pulau Kalong. Menemani bapaknya menjaga jembatan, dan kadangkala ikut menginap di Pulau Kalong bersama para pemancing. Hari itu, ayah Malikin sedang mencari pakan ternak. Sehingga hanya Malikin yang menjaga jembatan Pulau Kalong seorang diri.

Jembatan penyebrangan Pulau Kalong, merupakan jembatan yang dikelola oleh Malikin dan ayahnya. Jembatan ini membentang sejauh kurang lebih 30 meter. Menurut cerita Malikin dan cerita beberapa warga yang kami temui, jembatan itu dibuat ayah Malikin dengan menghabiskan dana sekitar 30 an juta. Pulau Kalong awalnya hanya digunakan untuk mencari lobster dan memancing. Awalnya hanya berupa tambang dan tali yang dilempar di sana lalu dibuat semacam gondola dengan kayu. Hal ini mengingatkan saya kepada Pantai Timang. Warga Pantai Timang pun dulu menenerangkan fungsi asli gondola di sana persis semacam itu.

tempat berkemah di pulau kalong

“Ini tempat untuk kemping. Sudah ada perkakasnya. Jadi kalau mau menginap di sini tinggal bawa bahan-bahan untuk memasak saja,” lepas dari bukit batuan, Malikin menunjukkan pada kami sebuah gubug sederhana, beratap kain spanduk, bertiang kayu, yang dilengkapi tungku serta kendhil stenlis untuk memasak air. Dia juga menunjukkan tempat mendirikan tenda, berupa sebuah lokasi tanah agak lapang dan datar.

Indah memang membayangkan bangun pagi bertemu view laut jika ngecamp di sini, tapi saya pribadi rasanya tak sanggup jika harus mengulang lagi melewati tepian Pulau Kalong yang tadi kami lewati untuk kamping di sini.

Lepas dari gubug tersebut, Malikin mengajak kami ke area para pemancing biasanya mencari ikan. Kali ini kami tak lagi melewati medan batu. Namun ganti sebuah belukar yang diantaranya tumbuh beberapa pohon pepaya.

eancing di pulau kalong
Dari depan, Erin, Nana, Abdi, dan Malikin


Area pemancing, adalah sebuah sudut Pulau Kalong yang dilengkapi dengan tempat duduk bambu, pagar dari tali dan kayu serta sebuah bambu tinggi yang diarahkan ke laut. Ujung bambu itu dililit senar yang menjuntai ke laut persis seperti pancing raksasa, seolah tanda bahwa lokasi ini memang lokasi para pemancing. Dari arah ini, laut jauh terlihat lebih tenang. Seperti kata pepatah, “air tenang menghanyutkan”. Laut luas di bawah kami bisa dipastikan jauh lebih dalam.

Cukup lama kami berada di sana, menikmati sisi lain laut Gunung Kidul dari Pulau Kalong. Juga mendengar cerita dari Malikin tentang Pulau ini yang baru saja diliput televisi, ceritanya semasa kecil yang pernah menjadi tokoh si bolang trans 7, juga cerita tentang asal nama Pulau Kalong itu sendiri.

view dari pulau kalong
Pantai Sinden dilihat dari Pulau Kalong

pantai sinden terlihat dari pulau kalong
laut dari Pulau Kalong


“Dulunya Pulau Kalong ini banyak dihuni kalong (kelelawar) mbak. Tapi kemudian para kalong pindah ke gunung kecil di Pantai Nglambor. Tapi karena gempa Jogja dulu, gunung itu hancur dan kalong-kalong tersebut mati semua,”

“Pulau ini juga disebut Pulau Gelatik, karena di sini banyak juga burung gelatiknya,” ceritanya.

Dari area pemancing, kami bisa bisa melihat Pantai Jungwok, Pantai Nglambor, serta Pantai Sinden yang menyembul di antara sela-sela bukit. Cuaca yang cerah mendukung perjalanan kami menyisir Pulau Kalong. Area pemancing, menjadi semacam area peristirahatan kami untuk menyiapkan mental dan mengumpulkan tenaga lantaran untuk kembali ke arah jembatan kami lagi-lagi harus melewati medan yang mirip seperti tadi. Batuan-batuan hitam, yang beberapa diantaranya berujung lancip, berongga. Sementara di bawah kami adalah lautan yang siap memangsa kalau sampai kami tak berhati-hati.

Pagiku cerahku, matahari bersinar Kugendong tas punggungku di pundak.. . . #pulaukalong #jogjakarta #beach #DIY #travelblogger #wonderfullindonesia #idtravelers
A post shared by fubuki aida (@fubuki_aida) on Jun 17, 2017 at 6:24pm PDT


Saya benar-benar bersyukur saat akhirnya saya sampai lagi di dekat jembatan, lantas meskipun tremor saat kembali menyebrang, rasa syukur karena masih diberi keselamatan tak hentinya saya ucapkan dalam hati. Hari itu Tuhan masih melindungi kami. Masih memaafkan saya lantaran tak berpikir panjang masalah kostum.

Sebelum kami meninggalkan area jembatan penyebrangan, sekali lagi saya melihat Malikin. Bocah itu sudah sibuk bernegosiasi dengan beberapa pengunjung baru yang tampaknya tertarik untuk sekedar foto selfie. Ahh, bocah itu. Semoga Tuhan juga senantiasa melindunginya.  Seorang remaja yang di usia belianya sudah menjadi semacam juru kunci sebuah pulau di sebrang laut Jogja.

Berapa Tiket Masuk & Bagaimana Jalur menuju Lokasi Pulau Kalong?

jalan ke pulau kalong

Lokasi Pulau Kalong Gunung Kidul Jogja berada di lingkup pantai Wedi Ombo. Jadi ikuti saja jalan menuju Pantai Wedi Ombo. Setelah berada di komplek Wedi Ombo, maka masuklah ke arah jalan menuju Pantai Jungwok. Nah, nanti motor parkir saja di sekitar halaman parkir Pantai Jungwok. Setelah itu, ikuti jalan yang mengarahkan ke Pantai Greweng (Cerita tentang Pantai Greweng, saya tuliskan kapan-kapan saja.). Jalan menuju pantai ini juga tidaklah mudah, kita harus menerabas persawahan, dan perkebunan penduduk. Setelah sampai di Pantai Greweng, baru naik-naik bukit menuju pulau kalong.

Untuk menyebrang, maupun foto dengan latar jembatan dan laut Pulau Kalong biayanya Rp. 25.000. Sementara kalau berkemah Rp. 50.000 Sedangkan kalau untuk memancing Rp. 100.000. Jangan protes kemahalan ya, bikin jembatan ini nggak gampang dan butuh biaya banyak :-)


Tips saya kalau ke sini jangan lupa kenakan baju yang nyaman yang membuatmu mudah bergerak. Pastikan sandal atau sepatumu tidak licin. Dan tips yang terakhir, kalau kamu keliling Pulau Kalong atau sekedar behenti sebentar di sana, pastikan cek kembali barang-barangmu agar tak ketinggalan. Karena di perjalanan kami waktu itu saya tledor lagi. Saat hampir tiba di jembatan, setelah keliling pulau, kami foto-foto. Saat itulah, saya lupa kalau kamera saya karena kehabisan baterai, saya letakkan di atas bebatuan. Saya baru sadar hal ini ketika kami turun dan makan di dekat Pantai Greweng. Akibatnya, kami harus balik lagi naik turun bukit ke Pulau Kalong, lantas, Abdi dengan baik hatinya kembali menyebrang ke Pulau Kalong karena saat kami kembali Malikin tidak terlihat padahal kami sudah diburu waktu. Jangan ditiru ya, menyebrang tanpa ada suhunya, itu bisa berbahaya. Huhu.


  • 23 Comments
Saya bukan penggila kopi, hanya seseorang yang selalu bersemangat ketika diajak ke sebuah tempat yang memang khas untuk ngopi. 

Seperti kala di Jogja, setelah acara dari New Saphire Hotel, berawal dari sebuah pertanyaan,

“Ada nggak sih tempat makan yang khas di dekat sini?” 

Berdiskusi sebentar di atas motor, Adik saya yang kebetulan memang kos di Jogja langsung mengajak saya ke sebuah warung kopi di dekat tugu Jogja.

kopi jos mb lina


“Ini, kopi yang arangnya dicelupkan ke dalam gelas itu tho?” tanya saya memastikan sembari membaca nama kopi Jos yang tertera di spanduknya.

Saya ingat, dulu adik saya pernah memberitahu saya mengenai kopi unik ini. Saya sempat tereran-heran waktu itu, apa enaknya minum kopi dikasih arang? Kopi saja sudah pahit, masih harus dipahitkan lagi? Tapi beberapa hari setelah saya mendengar cerita itu, saya makin sering mendengar mengenai kopi Jos. Rupanya, kopi ini memang sudah terkenal di mana-mana. Saya saja yang ketinggalan berita.

  • 15 Comments
Jika kemarin saya membicarakan tentang Kawasan DesaWisata Nglanggeran, tentang bagaimana dibalik kisah sukses Nglanggeran sebagai desa wisata. Sekarang  saya ingin membicarakan tentang Kampung Pitu, salah satu daerah di Nglanggeran yang akhirnya setelah melalui tanjakan tinggi nan sedikit mengerikan, kami sampai juga di sana.



gunung api purba



  • 16 Comments
Sebuah perjalanan,seharusnya tak melulu bicara tentang destinasi. Karna elemen manusialah yang pada akhirnya menguatkan kenangan tentang sebuah tempat. 

**

formasi nglanggeran


Seperti biasa, catatan awal saya tentang  Jogja, akan saya buka dengan keterangan “Jika ada satu saja alasan buat ke Jogja, maka sebisa mungkin saya pasti tak akan menolak.” Yeah. Kali inipun, alasan : ke Nglanggeran, membuat saya bersemangat  untuk turut serta hadir di sana.

  • 15 Comments
Katanya:
 selalu ada saat pertama dalam hidup. Maka jangan pernah takut untuk mencoba hal yang baru

Sepenggal kata-kata yang entah saya lupa dapat darimana ini, kerap kali menyemangati saya untuk berani mencoba hal baru. Seperti beberapa waktu lalu, ketika Yamaha mengajak touring Blogger dan Vlogger ke Pantai Sepanjang, saya pun oke saja meskipun sempat terlintas di pikiran ‘gimana kalau gimana’. Maklum, anak rumahan ini kan nggak pernah ikut turing beginian :)

Tapi kemarin itu, bener-bener jadi pengalaman pertama. Pertama kali touring motor Yamaha bareng banyak orang, plus untuk pertama kalinya naik motor sambil dikawal sama Pak Polisi. Duhh,serasa jadi orang penting. Hehe

Menjelajah Keelokan Pantai Sepanjang Jogja

pantai sepanjang

  • 22 Comments
….
Atau senyummu,
Dinding diantara aku dan ketidakwarasan

Persis segelas kopi tanpa gula,
Pejamkan mimpi dari tidur
Apa kabar hari ini?

  • 34 Comments
Jogja adalah kota rindu. 
Kota istimewa untuk bertemu orang-orang istimewa. 

***

Jika sebelumnya membicarakan Jogja saya membicarakan Malioboro, maka kali ini saya membicarakan tentang salah satu hotel di kawasan Adi Sucipto.

Sekilas, hotel ini mungkin memang kalah megah dengan hotel-hotel lain di sekitaran Jogja. Bahkan mungkin kalah tinggi dengan hotel di sebelahnya. Namun, pengalaman selama bertahun-tahun tentunya tetap membuatnya survive dan dipercaya oleh banyak orang. Seperti  ujaran Ibu Maria yang mendampingi meja kami kemarin yang kurang lebih seperti ini:

  • 28 Comments
malioboro street
Beragam manusia dari bergam daerah , beragam latar belakang, beragam tujuan, dan beragam model ada di sini. Menghias tiap jengkal jalanan Malioboro. Dan setiap manusia selalu menarik. 

Di suatu sore, langkah saya berhenti di hadapan seorang bapak-bapak yang asyik memainkan angklung. Ingar musik modern bergema dari sebuah toko pakaian di dekat lokasi si bapak berada. Namun itu tak menghentikannya memainkan lagu. Ia terus saja bermain sampai ingar musik itu berhenti sendiri dan musik angklungnya menjadi pemenang yang menguasai udara di sekitar kawasan Malioboro, Jogjakarta. Tepatnya di dekat hotel Mutiara. Saya cukup lama ada di sana. Mencoba menikmati sisi lain Malioboro. Mencari sisi dimana saya bisa berlari dari hiruk pikuk manusia yang dari pagi hingga sore tak juga reda.

 “Boleh saya main Pak?” Bapak itu baru saja menyelesaikan permainan lagu caping gunungnya ketika saya meminta. Dengan ramah ia mempersilahkan saya untuk mencoba menggoyang pelan susunan bambu-bambu itu. 

Saya mencoba memainkan sebuah lagu yang notenya paling melekat kuat di kepala saya. Sebuah irama gundul-gundul pacul pun mengalun. Irama yang terdengar terbata-bata, karena saya harus memainkan angklung sembari melihat huruf-huruf note yang ditempel di bagian atas bambu. Beberapa kali si Bapak mendahului saya menggoyang bambu karena gerakan saya yang terlalu lama. Saya hanya bisa terkekeh-kekeh dan pada akhirnya membiarkan saja si Bapak yang memiliki keterbatasan fisik di kakinya ini meneruskan permainan saya sembari tersenyum penuh maklum. 

Orang-orang yang lewat, sesekali memandang saya lantas menyunggingkan senyum ambigu. Mungkin saya yang begitu penasaran bermain angklung ini, nampak ndesonya di mata mereka.

 “Mahal ya, Pak, angklung seperti ini?” tanya saya iseng. Angklung terus mengalun. Iramanya menggugah nurani beberapa orang yang melintas. Sesekali orang-orang murah hati ini melempar koin maupun uang kertas kedalam toples si Bapak. Terkadang si Bapak menghentikan sebentar permainannya demi memungut recehan yang meleset terlempar ke luar toples. 

“Harganya dulu sekitar 1 juta.” Saya mlongo. Mahal benar?

Si Bapak terkekeh melihat ekspresi kaget saya. “Bambu memang murah, Mbak. Membuatnya berirama seperti ini, itu yang mahal,” katanya.

  • 16 Comments
Older Posts Home

Translate

Where we are now

o

About me

a


Fubuki Aida

Suka mengamati manusia, mendengar dan mencari cerita

~~Blogger Wonogiri-Solo~~


Kalau ada usulan tulisan bisa kontak saya di IG ya. Link bisa klik ikon IG di bawah

Find Me

  • youtube
  • instagram
  • facebook

Follow Facebook

Followers

Featured Post

Plinteng Semar, Legenda Taman Kota Wonogiri

Banner spot

Postingan Terbaru

Loading...

Labels

airy rooms astra bakso bengawan solo blora boyolali bubur buku cara pembaatalan tiket cerita Cernak cheriatravel Cirebon coretan coworking space solo featured gunungkidul hotel hotel alana hotel solo hotel wonogiri info jalan-jalan jawatengah jawatimur jepang jepara jogja kafe wonogiri KAI kampung inggris pare karanganyar karimunjawa karst kediri kereta klaten kolamrenang komputer kopi kudus kuliner kulinersolo kulinerwonogiri Lampung Liang Teh Cap Panda Liputan6 lomba lombok madiun magelang mesastila Pantai Pulau Merak Rembang Review safi saloka park Semarang solo sponsored stasiun story sukoharjo tawangmangu tempat ngopi solo tempat-meeting-solo traveling waduk pidekso watucenik wonogiri yogyakarta

Popular Posts

  • Solo Pluffy, Oleh-oleh Solo Bernafas Cinta Jessica Mila
    Solo itu manis.  Manis tutur aksara, perangai,  unggah-ungguh warganya dan tentu saja manis ‘wajah orang-orangnya ^^ Solo itu kota yang man...
  • Agrowisata Amanah, Tempat Outbound Asyik di Karanganyar
    Ini suatu perjalanan ketika suatu hari, kawan-kawan saya sepakat buat dolan Perjalanan kali ini bukan ke gunung, hutan, ataupun laut. Perja...
  • 3 Kolam Renang Khusus Perempuan di Solo
    Berenang merupakan salah satu olah raga yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. Ketika berenang, seluruh tubuh kita bergerak, secara otomat...
  • 5 Hotel Di Wonogiri Yang bisa Jadi Alternatifmu Menginap Di Kota Gaplek
    Membicarakan wisata, traveling dan semacamnya, memang tak bisa dilepaskan dari yang namanya hotel, dan kuliner. Karena blog saya beberapa t...
  • Review Novel Daniel Mahendra, “Perjalanan ke Atap Dunia”
                Sebetulnya buku ini sudah niat saya ambil dari rak buku Perpustakaan Ganesha sejak dulu-dulu. Tapi lantaran lagi sok sibuk, ci...

instagram

Created By ThemeXpose | Distributed By Blogger

Back to top