Banyuwangi - Bali dalam Sebuah Catatan

                “Awas, Pak!” Teriakku reflek. Seketika kudorong kuat-kuat bapak yang baru saja meletakkan pinggulnya di atas tas Ragil. Bapak itu terjerembab ke depan, dan seketika rasa bersalah menghinggapiku.

                “Maaf, Pak! Maaf! Ada kameranya di sini!” tudingku pada bagian yang baru saja diduduki bapak itu. Bapak itu memandangku tajam. Mungkin batinnya dongkol, karena aku lebih memilih benda mati dibandingkan dirinya.

                “Titip ya, Mbak! Kameraku ada di sebelah sini,” pesan Ragil terngiang kembali. Ia seolah tahu saja, hal semacam ini bakal terjadi.

                Aku mengerti si Bapak tadi tak sengaja. Ia baru saja memasuki bus lantas menaiki tangga ketika si sopir mengerem karena bus melintasi jalan bergeronjal. Sebagai akibatnya, tubuhnya terduduk tepat di atas carrier Ragil yang tergeletak di bawah bangkuku, tepatnya di samping tangga naik bus. Malang, ia harus kembali terjatuh, karena seseorang, ehem… saya maksudnya, mendorongnya kuat dari belakang. Fiuh… pasti si bapak kaget sekali.

                Aku baru saja terbangun lantaran bermimpi bus yang membawaku dari Solo ini menabrak orang. Ternyata ketika terbangun suara rem yang kudengar dalam mimpi adalah rem bus yang berkali-kali melewati jalan bergelombang. Entah harus bersyukur atau bagaimana, yang pasti aku bersyukur karena aku terbangun tepat sesaat sebelum si Bapak terjatuh. Perlu digaris bawahi, bersyukur terbangun tepat sesaat sebelum si Bapak terjatuh, bukan bersyukur karena sukses berhasil mendorongnya. Kalau tidak, kemungkinan terburuk adalah si Bapak pewe-pewe aja terduduk di atas carrier Ragil yang isinya Nikon itu. Gawat kan, karena kamera Ragil merupakan 1 diantara 3 senjata kita selama ngetrip ini. Senjata narsis biar tetep eksis.

                Beruntung pria separuh baya itu tidak marah-marah, berteriak heboh, ataupun menangis kesakitan . Ia cukup melihatku tajam lantas berjalan ke depan, mencari tempat duduk. Alhamdulillah….

                Lantaran kejadian itu hilang rasa kantukku. Kuubah posisiku yang semula tidur miring dengan menguasai separo bangku kosong di jok paling belakang, menjadi duduk bersandar ke jendela. Kulihat ke samping, Erin masih dalam posisi tidurnya, menguasai jok belakang separo dari yang kukuasai. Nanapun tertidur dengan menguasai 3 bangku di depan kami. Aku terkekeh, Bus yang mulai sepi penumpang ini membuat kami dengan leluasa tidur dengan posisi suka-suka. Yeahh.
   
                Selang beberapa bangku didepan Nana, Tomo, Ardi dan Ragil terlihat tak bergerak dengan posisi duduk mereka. Nampaknya merekapun tertidur. Suasana bus terasa sepi. Kulirik luar jendela, malam hitam kelam. Tak sedikitpun ada tanda yang membuatku mengerti sampai dimana ini. Aku hanya ingat, tadi sebelum aku tertidur cukup lama, bus kita sudah menyentuh tanah Kediri.

                Di luar hanya terlihat deretan pohon, sesekali rumah, namun untuk beberapa lama kemudian deretan pohon  kembali hadir. Sia-sia aku mencoba membaca petunjuk Jalan. Tak sedikitpun ada tulisan yang nampak. Kolaborasi mata minus, gelap malam, dan sedikitnya bangunan berlabel, memberitahuku untuk lebih baik tidur lagi saja. Biarkan bus berhenti ketika nanti sudah waktunya berhenti. Karena toh, kita berhenti di pemberhentian terakhir.

                “Mbak, bangun! Kita udah sampai!” sayup-sayup kudengar suara Tomo berusaha membangunkanku.

                Benar saja, setelah aku kembali tidur tadi, pada akhirnya bus memang sampai juga di pemberhentian terakhir. Sesekali kita memang perlu membiarkan hidup itu mengalir untuk bisa menikmatinya. Tapi sesekali sajalah, karna seperti kata orang bijak, “Hiduplah melawan arus, kamu akan bangga ketika kamu bisa melewatinya”


                “150 ribu, Mas!”

                “90 Pak!”

                “Jauh lho stasiun Gubeng itu!”

                “Pokoknya 90!”

                “110 lah!”

                “90 pak!”

                Hal pertama kali yang kita lakukan ketika menginjakkan kaki di Surabaya adalah menawar Taxi. Tomo menunjukkan bakat nawarnya (baca:ngeyelnya) dengan bersikukuh di angka 90 ribu.

                “Yaudah, ayo!” ujar si sopir taxi akhirnya mengalah. Kita tersenyum penuh kemenangan.

                Jam menunjukkan angka sekitar pukul 00.40 ketika itu. Sempat ketar-ketir juga karena kita janjian meeting point dengan rombongan pelancong yang tak sengaja ditemukan Tomo lewat forum internet di stasiun Gubeng, pukul 01.30.  Mungkin kala itu, aku menjadi yang paling merasa ketar-ketir, karena kita seharusnya bisa tiba di Surabaya lebih awal kalau saja aku nggak telat, dan memberikan informasi terbaru soal jam keberangkatan ke Nana dan Erin.

                “Sampai! Sampai!” Dengan gaya sok yakinnya, aku berusaha meyakinkan Ardi, Tomo dan Ragil yang sudah pasang tampang badmood di terminal lantaran keterlambatanku tadi, bahwa kita pasti bisa sampai tepat waktu.

                Surabaya kala malam, nampak sepi tetapi tetap hidup. Warung dan toko terlihat masih buka. Namun hanya sedikit manusia yang memperlihatkan diri. Beragam bangunan tinggi menjulang, memberitahu kita bahwa ini wilayah kota. Surabaya, serasa lebih luas dibanding kota tinggal kami di Solo sana.

                Butuh sekitar setengah jam perjalanan dari Terminal Surabaya ke Stasiun Gubeng. Bersyukur sekali, karena kami tidak terlambat. Setidaknya lebih baik, karena kami menempati urutan kedua dari yang terakhir kali datang.

                “Ahmad,” Seorang laki-laki berbaju pink memperkenalkan dirinya. Paduan warna baju dengan kulitnya yang jauh dari kata putih, cukup menjelaskan bagaimana orang ini. Hanya orang-orang bermental anti mainstream yang berani melawan stereoptip Pink itu warna “perempuan” apalagi dengan warna kulit yang jelas kontras itu. Dialah tur leader kami untuk beberapa hari ke depan.

                Di emperan depan stasiun Gubeng, di antara keremangan lampu, beberapa orang merebahkan badannya. Beberapa yang lain duduk bersandar, adapula yang sibuk bercengkerama dengan orang di sampingnya. Mereka mengingatkanku pada pemandangan yang sering terlihat di jalan, rombongan orang desa njagong  yang terpaksa harus turun karena bus tumpangan mereka kehabisan bensin. Rombongan yang terkapar di jalan dengan muka memelas. Tapi tentu saja, mereka bukan rombongan orang-orang desa. Pakaian yang cukup necis, serta deretan tas Carier bermerk yang tersandar di bawah sebuah pohon menjelaskan bahwa mereka anak-anak kekinian. Orang-orang gahul doyan plesir. Logat-logat kental Jakartanan menghancurkan keheningan malam Stasiun Gubeng. Bersama merekalah, kami akan memulai perjalanan.

***

                Sebuah bus mini, berwarna dominan pink menjadi tunggangan kami menginjak bumi Banyuwangi. Kapasitas bus tepat full terisi 30 orang. Dan lagi-lagi, kami menduduki jok paling belakang.

                Deru mesin mulai terdengar. Tak beberapa lama, buspun melaju. Tak relalu cepat, tetapi tak terlalu lambat. Dengan kecepatan standar kami mulai meninggalkan Surabaya.  Awalnya suara-suara keramaian nyaring terdengar. Seiring dimatikannya lampu, riuh suara di dalam bus perlahan menjadi desau yang semakin lama semakin hilang. Tergantikan hembusan nafas penuh kepasrahan dari tubuh-tubuh yang terlelap.

                “Kalian pesan apa?” tanyaku pada Ardi Ragil dan Tomo yang sudah lebih dulu memesan makanan.

                Pagi, sekitar jam 8.00 kami mampir di sebuah tempat makan di Banyuwangi.

                “Soto,” jawab mereka.

                “Aku rawon saja lah,”

                Dalam pikiranku, untuk mengawali hari, kenapa aku tidak mencoba sesuatu yang baru? Aku jarang makan rawon, sepertinya menikmati makanan yang jarang kita nikmati saat perjalanan tentunya lebih menarik.

                Sejujurnya, makan pagi adalah kesalahan buatku. Sejauh ini, aku dan Nana selalu berpegang pada prinsip backpaker“Niatnya itu jalan-jalan, bukan nyari makan!” Yeah, prinsip kamuflase untuk menyamarkan kalau dompet kita seringnya limited edition. So udah jelas, breakfast seperti ini adalah sebuah pelanggaran. Pelanggaran dompet maksudnya.

                Tetapi masalah makan, menjadi resiko yang sudah kita ketahui bakal kita hadapi sejak awal. Kita pergi bareng rombongan. Meskipun modelnya sharecost, tetapi ini rombongan. Dan rombongan, adalah sekumpulan orang tak dikenal, yang rata-rata berpikiran “biasa” bahwa makan itu salah satu bagian penting. Memang orang-orang berpikiran seperti kami yang lebih memilih jalannya daripada makannya itu langka. #lagilagikamuflase

                Apalagi, ketiga kawan kampusku ikut berpikiran sama, memplokamirkan diri bakal kulineran. Masih teringat dalam benak, percakapan kami saat aku usul membawa kompor paraffin supaya kami lebih hemat pengeluaran.

                “Aku kalau gitu sekalian bawa biji-bijian wae Mbak!” komentar Ragil.

                “Buat apa?” tanyaku tak mengerti.

                “Buat ditandur disana. Nanti kita panen, Mbak! Terus habis itu dimasak! Lebih hemat lagi tuh!”

                Aku melongo, lantas ngakak bertubi-tubi.

                “Mbak, masa dandananku gini, suruh bawa beras? Yo nanti gimana? Kita nanti kan ketemu banyak orang baru. Yo sopo reti nanti aku pulang bisa bawa satu, Mbak. Jadi, biar Ragil aja Mbak yang bawa berasnya…”

                Nah loh, Ardi yang kawatir jadi manusia, ganteng-ganteng bawa beras ikut komentar.

                Sudahlah, pada akhirnya resiko makan teratur menjadi kenyataan yang harus aku hadapi. Tak ada pilihan lain selain mengubah prinsip menjadi “makan yang banyak biar kuat menghadapi kenyataan.” Yeah, kenyataan akan rencana awal yang semula backpakeran, berubah drastis jadi turis domestic. Okelah, sesekali naik level. Wkwkwk.

                Tetapi penerimaan itu tak sepenuhnya membuatku bisa menikmati makan. Ujian penerimaanku, adalah kenyataan bahwa  rawon yang kupesan tak sesuai bayangan. Kenyataan yang jauh dari expectasi. Aku seperti bagaikan makan daging sapi yang dicelupkan kedalam minyak jlantah, alias minyak bekas penggorengan berkali-kali, tanpa dibumbui apapun. Saya sedikit lupa, this is Jawa Timur. Kenyataanya, lidahku mungkin tak cocok dengan citarasa tempat ini. Huhuhu…

                Sementara itu, penampilan Soto milik kawan-kawanku begitu menggugah selera. Soto koya dilengkapi telur. Kuicip punya Erin yang juga pesan Soto. Astaga, nyus rasanya. Jauh dari rawonku. Aku yang biasanya soal makanan hanya berprinsip “enak dan enak banget” untuk kali ini kamus itu tak berlaku.

                Saking aku tidak terbiasa menyisakan makanan terutama nasi, pada akhirnya nasi tetap kuhabiskan. Tapi, you know what? Tahu apa yang aku lakukan? Aku menghabiskannya dengan lauk kecap manis dan krupuk. Yeah, begini jauh lebih nikmat. Pagi hari itu, 17 ribu untuk sepiring nasi lauk kecap dan krupuk. Hahaha….

                Perjalanan berlanjut. Bus kembali mengangkut kami menuju objek wisata pertama, Taman Nasional Baluran. Memasuki area Baluran, kami disambut hutan Jati yang kerontang. Meranggas terbakar panas. Warna coklat yang begitu kering. Deretan hutan kering ini mengingatkanku pada alas ketu di Wonogiri sana kala musim kering, persis seperti ini.

Baluran

                Memandang hutan yang luas membawaku pada tulisan Agus Priono, tentang Baluran di National Geographic. Mebayangkan betapa serunya pengalamannya naik motor bersama photographer pro, Yunaidi Joepoet, seperti yang tertulis di catatan perjalanannya di ranselkosong.com membawaku pada rasa penasaran. Baluran, diantara rapatnya pepohonan kering itu teka-teki terpampang luas. Dibalik kedalaman hutan ini, ada apakah disana? Masihkah banteng-banteng Jawa bersembunyi? Kedatanganku kali ini, salah satunya ingin melihat habitat Jawa yang katanya nyaris punah itu.

                Tiba di area sekitar savanna bekol, kuamati sekitar. Savana Bekol nyaris seperti tanah lapang kosong.      Si narsis Ardi, sibuk beberapa kali bergaya di padang savanna bekol. Tomo dan Ragil mendadak menjelma menjadi fotografernya. Aduh Di, padahal foto-foto di lokasi kami berdiri hanya akan menghasilkan foto laksana di lapangan bola. Rumput kering terlalu pendek untuk menggambarkan sabana Afrika.

                “Ayo kita jalan ke sana teman! Ke bawah tulisan savana bekol itu!” Ajakku.

                “Di sini aja, Mbak! Jauh…” Penolakan Ardi cukup beralasan hingga tak heran yang lainpun setuju.              Tulisan “Savana Bekol nampak kecil di tengah sana. Sekilas terlihat begitu dekat, karena mungkin pandangan kita los tak terhalang apapun. Tapi bisa dipastikan tulisan itu bermeter-meter jauhnya dari kami.

                Panas mengerang, rumput mengering. Waktu berkata, inilah waktunya mentari berdiri gagah di langit. Siang terlewat terik. Berdiri di sini  menimbulkan sensasi suasana gurun yang kuat. Hanya ada beberapa pohon yang tumbuh, itupun berjarak saling berjauhan antara satu dengan yang lain. Pohon bagaikan oase di sini, dibawahnyalah kami  mencari keteduhan.

                Di sudut savanna Bekol, kerangka-kerangka kepala banteng terpajang. Seolah menegaskan bahwa banteng-banteng jawa dahulu mendiami savana Bekol. Disinilah satu-satunya spot yang menggambarkan karakteristik khas Baluran.

                Untuk orang-orang yang bakal kupameri foto sepulang dari sini, yakinku mereka bakal mengejekku karna jauh-jauh ke Jawa Timur hanya untuk berfoto di lapangan. Biarlah, cuekan hasil jepretan. Yang pentingkan, bagaimana waktu bisa terkurung, dan tiap kenangan bisa terekam. Itu kan fungsi kamera sesungguhnya J.

                Naik ke atas gardu pandang Baluran, kita akan disuguhi landskap Baluran secara lebih jelas. Meski tak bisa menatap Baluran secara keseluruhan, setidaknya dari atas pemandangan nampak lebih berwarna. Tak hanya coklat yang terbentang, setidaknya pemandangan hijau pepohonan yang tidak ikut mengering terlihat dari sini. Gunung Baluran berdiri tegap memaku bumi. Posisinya yang paling tinggi seolah ia adalah penjaga yang sedang mengawasi area Baluran.

                Aku mengedarkan pandangan. Taman nasional seluas 25.000 ha , di sebelah mana banteng-banteng itu bersembunyi? Tak terlihat sama sekali. Dimana pula rombongan sapi yang digembalakan di dekat Baluran? Dimana kampung Merak itu, tempatnya para warga yang seharusnya tak boleh mendiami area taman nasional, namun mereka yang sudah menganggap Baluran sebagai bagian dari rumah? Hemmm, Tulisan Agus priyono, benar-benar meracuniku.

                “Heh, foto pakai background sana, yuk!” Nana mengalihkan perhatianku. Menarikku kembali dari keterlarutanku akan tulisan Agus Prijono.

                 Ah ya, kamera Ragil kubawa. Ardi, Ragil, Tomo enggan naik kemari. Panas telah sukses menahan langkah kaki mereka untuk naik ke atas. Untungnya, Ragil berbaik hati meminjamkan kameranya sebagai bekal kami naik Gardu pandang. Naluriku memotret, bukan, lebih tepatnya naluriku narsis pun bangkit. Hadap kamera dan…. Cekrik…

                “Wah, kampung Merak nggak di sini Mbak! Masih jauh di utara sana!” iseng aku tanya pada penjual warung. Jauh ya? Pantas saja aku tak melihat rombongan sapi. Ahh, ya, bukankah Agus prijono bilang bahwa Kampung Merak adalah Kampung minus fasilitas umum? Kampung yang sedikit sulit untuk dijangkau? Sudah jelaskan tak mungkin ada di dekat sini?

                Sedikit kecewa. Karena aku ingin melihat wajah-wajah orang kampung Merak. Tapi ya sudahlah, kenyataan yang harus kujalani sekarang adalah aku ikutan memasak mie. Hanya ada satu warung makan di area Savana Bekol. Warung yang sangat tidak siap menjadi ramai.  Hanya kedatangan kami yang berjumlah 30 orang saja, si penjual sudah kalang kabut. Nggak ada airlah, penjualnya kurang lah, ribet. Jadinya aku dan Nana langsung turun tangan memasak mie untuk kami ber-enam.

                “Itu, disana ada banteng yang dikonservasi,” tunjuk si Mbak penjual warung ke sebuah rumah kayu tak jauh dari lokasi warung.

                Kontan mataku berbinar. Banteng, itu kan yang ingin aku lihat. “Ada berapa mbak bantengnya?” tanyaku semangat.

                “Berapa ya? 5 mungkin,” jawabnya.

                Aku mengernyit. Kenapa Cuma 5? Bukannya di Baluran masih ada sekitar 60 an banteng? Ah, ya, aku ingat. Itu kan kalau di kedalaman hutan. Sementara ini kan yang dikonservasi di sini.

                “Eh, itu apaan?” saat kami sedang asyik makan, Mb Qori, salah seorang teman rombongan berteriak heboh.

                “Banteng,” jawabku tak kalah hebohnya. Sampai hampir semua orang menatapku. Akhirnya, akhirnya, aku ketemu banteng. Sosok besar mirip kerbau itu memperlihatkan dirinya. Bagiku, banteng jawa nampak seperti perkawinan 3 jenis hewan, kebau, sapi dan banteng. Walaupun  bos javanicus cuma 2 yang terlihat, tapi aku bahagia.

                Buncahan kebahagiaan rasanya mengalirkan energy semangat. Menostalgiai sebuah tulisan, meski tak sama persis seperti yang ada dalam cerita, bagaikan ketemu artis idola buatku. Saking aku bahagia sudah ketemu banteng, aku mendadak bisa menerima kehadiran monyet-monyet yang berkeliaran di Baluran. Monyet-monyet yang sempat membuatku kecewa. Kecewa karena jauh-jauh di Baluran, hanya ketemu habitat mereka.

                Saat kami kembali naik bus dan bus bergerak menuju Pantai Bama, kami sempat melihat rusa. Huah, kenapa para rusa itu baru menampakkan diri? Rasa-rasanya aku ingin turun, berlari bersama rusa-rusa itu, lantas bertemu kawanan rusa lain. Berlarian bersama rombongan hewan-hewan di Baluran sana. Aku jadi teringat film “Mama Cake”, mendadak aku jadi mengerti perasaan si Rio  yang membiarkan mobil kawannya hilang gara-gara  ia lebih mementingkan berlari-larian menikmati kedamaian bersama gerombolan kambing.

                Pantai Bama, lokasinya hanya beberapa puluh  menit dari Savana Bekol. Menuju pantai ini, lagi-lagi kami disuguhi pemandangan hutan yang kerontang. Meskipun, tak selebat sebelumnya. Kuamati baik-baik dari jendela kaca bus semak-semak yang tumbuh merambat tinggi hingga membentuk kurungan yang menutupi beberapa pohon. Sekilas memang unik, bentuknya menurutku bahkan mirip dengan rumah-rumah dalam negri dongeng. Tapi, itukah semak mantangan, yang menyebabkan banyak satwa berpindah? Tak seorangpun tau. Tak ada mahasiswa pertanian maupun perhutanan di sini.

                Tulisan “BAMA” menjadi penanda, kami sudah tiba di pantai Bama. Tulisan kusam berwarna coklat, yang mungkin sudah lama ada di situ. Area pantai Bama sedang surut. Sayang sekali, padahal menurut beberapa catatan di internet pantai ini lumayan bagus dan asyik untuk snorkeling.

                Lagi-lagi, di sini kami bertemu dengan banyak monyet. Mereka dengan asyiknya berlari-larian di bibir pantai mencari makanan. Aku baru tahu, hewan yang didoktrinkan dalam buku sejarah SD sebagai nenek moyang kita itu, tak sedikitpun takut air. Dan ternyata makanan mereka tak cuma berasal dari pohon, tapi mereka juga doyan makanan dari laut.

                Sisi kanan Pantai Bama adalah hutan mangrove. Mangrove di Bama nampak lebat dan berdasarkan penglihatan sekilas, tak ada jembatan tracking. Kami lebih memilih melipir ke sisi kiri, menikmati Angin Sore pantai. Bersantai di batu-batuan, berbagi cerita.

                Kala itu, kami tak main pasir ataupun bergelut ombak. Kami biarkan saja jiwa-jiwa narsis kita bersatu. Menghasilkan foto carut-marut dengan berbagai gaya. DSLR Tomo yang ditaruh ditripot lantas dimode timer dengan beberapa kali jepretan sekali klik, sukses membuat kami menghasilkan berbagai pose acak-acakan yang sebenarnya backgroundnya itu-itu saja. Liburan bareng, merekam kenangan bareng, memang paling asyik kalau ada wajahnya. Background, itu back, urusan belakangan.

                Entah dimana rombongan yang lain, saat itu hanya kami dan beberapa orang bukan rombongan kami yang ada di batu-batuan Pantai Bama.

                “Gil… Gil… fotokne aku Gil!” Seru Ardi kepada Ragil.

                Diantara kami berenam, Ardi lah manusia paling narsis. Kamera ala Go Pro Xiaomi-nya yang sedari tadi banyak ia jepertkan ke dirinya tak cukup membuatnya puas. Seperti di Baluran tadi, DSLR Ragil dan Tomo ikut menjadi sasaran kenarsisannya. Disela-sela kenarsisan kita bersama dengan mode timer, Ardi beberapa kali meminta baik Ragil maupun Tomo memfotonya seorang diri. Tak kukira, kawanku yang satu ini level kenarsisannya begitu akut.HAHA

                Pantai Bama menginjak sore. Gejolak waktu mengharuskan kami untuk pamit pergi. Melangkahkan kaki kembali mengarungi Banyuwangi.

***

                Perjalanan berlanjut menuju Rumah Singgah Backpaker. Rumah singgah yang berlokasi di depan Stasiun Karang Asem Banyuwangi menjadi tempat kami ISOMA.

                “Mbak Qori dari Jakarta juga?” tanyaku pada seorang anggota rombongan yang saat itu  makan bersama kami setelah bersih-bersih diri.

                “Iya…” jawabnya sembari mengunyah bakso. “Baksonya enak, tapi dikit banget. Aku mau cari makan di situ dulu ah,”

                Wow, kenalan baruku ini kecil-kecil doyan makan rupanya. Aku memandang nasi kardusku. Dia sih, nggak mau beli nasi kardus aja. Lumayan enak kok. Menunya komplit dan nasinya lumayan banyak.

                Beberapa saat kemudian Mbak Qori sudah muncul dengan nasi lauk rendang sapi.

                “Kalian kerja atau kuliah?” pertanyaan sama yang berkali-kali kudengar dari para anggota rombongan yang lain kepada kami. Kalau ditanya begitu kami kompak menjawab masih kuliah. Toh emang masih kuliah kan? Jawabnya pasti semester 4 pula, unyu banget. Haha.

                “Kuliah,”

                “Oooo, kuliah? Pantes pesennya nasi kardus,”

                Glodak!Oh, man, apa itu barusan? Tembakan yang menohok sekali. Kami Cuma bisa ngakak.

                “Mbak Qori kerja apa di Jakarta?” tanyaku kemudian.

                “Aku ngajar,”

                “Ini semua orang Jakarta semua, ya? Mbak Qori kenal semua?” tanyaku ingin tahu.

                “Sebagian, sih. Yang lain Bandung, Bogor. Aku awalnya Cuma kenal beberapa,”

                Aku mengangguk-angguk. Aku sudah berkali-kali mendapat cerita dari beberapa orang yang kuajak ngobrol tentang sejarah mereka. Mereka, rombongan yang tak sengaja ketemu waktu ngetrip di Karimun Jawa. Yang kemudian masing-masing dari mereka mengajak temannya. Jadilah mereka suatu rombongan besar yang kebanyakan sudah saling kenal. Hanya kami ber-enam, manusia tak terduga muncul sebagai penggenap.

                Biar mereka rombongan orang kota. Tapi rupanya banyak dari mereka yang sebenarnya kaum urban. Tak terduga malah. Ada 2 orang yang kuajak kenalan. Perempuan, dengan logat Jakarta banget. Penampilannya juga kekinian abis. Kemayunya juga ala arek sinetron. Pas kutanya aslinya dari mana, ternyata yo gur wong ‘ngapak’. Disitu kadang saya merasa ingin ngakak. Tapi its okelah. Everybody punya style masing-masing yang wajib kita hargai. Betul??

                Sekitar pukul 00.00 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen. Sepanjang perjalanan kami terlelap. Kami baru terbangun manakala bus mengalami masalah. Bus kami tak kuat melewati tanjakan. Nyawa belum sepenuhnya terkumpul, tapi kami semua terpaksa harus turun. Udara dingin yang luar biasa menyerbu. Mau tak mau, membuat nyawa lebih cepat kembali. Rasa kantuk hilang mendadak. Bus berkali-kali terdengar mengejan mencoba menaiki tanjakan. Kepanikan terjadi. Kami mencari posisi aman, berjaga-jaga kalau bus benar-benar tak kuat dan akhirnya tergelincir ke bawah, setidaknya kami tidak dalam bahaya. Malang buat Nana. Kakinya terkena lemparan batu pengganjal bus. Mantap Na… batu pengganjal segede gajah. Tak terbayang sakitnya.

                Sama dengan bus yang kami tumpangi, kami semua juga berusaha menaiki tanjakan. Nafas mulai terengah. Ini sih, pemanasan sebelum nanti kita benar-benar naik ke Gunung Ijen. Langit menunjukkan pesonanya, Ratusan bintang menampakkan diri dengan sangat jelas malam itu. Malam yang syahdu.

                Bus menunjukkan semangat kegigihannya. Tersenggal-senggal namun pasti, ia mulai bisa naik hingga  tiba di tempat yang agak landai. Kami naik kembali. Perjalanan pun dimulai lagi. Nana melihat kakinya yang ternyata langsung bengkak. Sebentar lagi pendakian dimulai, kasian sekali ia harus mulai dengan kondisi seperti itu.

                Bukan Nana kalau ia merelakan Kawah Ijen demi sebuah rasa sakit. Itu anak tambleng aja sok cuek. Yeah, udah jauh-jauh kemari, sayangkan kalau nggak naik.

                Nyala-nyala senter berebutan menerangi jalan. Di atas sana ratusan bintang yang lebih banyak dari yang tadi, seolah bersorak menyemangati supaya kami terus berjalan sampai puncak. Ahh, Sang kuasa sedang menunjukkan kebesaranNya malam itu, melukis langit Ijen dengan kerlip nan indah.

                Jalan trekking kawah ijen cukup lebar, tetapi jalanan itu berselimutkan debu yang cukup parah. Bau belerangpun sudah sejak awal menyengat hidung. Treking awal adalah jalan yang lumayan menanjak dan lama. Harus pandai-pandai atur nafas di sini.

                Kawasan Gunung Ijen sudah menjadi sebuah gunung wisata. Kalau anda pernah ke Bromo, anda akan mengerti seperti apa ramainya. Jaman sekarang, orang-orang memang sadar wisata. Efek keramaian gunung jelas berdampak pada adat pengunjungnya. Ketika bertemu tak ada senyum, salam, sapa sewajarnya kawasan gunung yang masih sepi. Orangnya banyak banget, masa iya semua orang lewat mau disapa. Berbagai jenis usia manusia ada di sini, mulai anak-anak sampai orang tua lengkap adanya. Sepertinya orang-orang menganggap gunung Ijen adalah tempat wisata yang  aman untuk keluarga.

                Untuk orang yang alergi debu, Kawah Ijen  jelas sangat tidak cocok. Struktur jalannya saja nyaris sepenuhnya berselimutkan debu. Tomo yang sepertinya memiliki alergi debu akut, terus menyenandungkan “uhuk-uhuk” dari sejak awal trekking. Tapi seperti halnya Nana, itu tak mempengaruhi semangatnya untuk menggapai puncak.

                Pun tak berbeda dengan Erin, meski ini pendakian pertamanya, ia tak kehilangan optimisme. Biarpun beberapa kali ia beristirahat untuk mengistirahatkan gejolak asam lambungnya, ia tetap sukses mencapai puncak.

                Sekitar jam 5.00 akhirnya kami menggapainya, puncak Kawah Ijen. Subhanallah…. Hebatnya Yang Maha Kuasa. Kawah yang berwarna hijau tosca, mengepul mengeluarkan gas nampak elok memanjakan mata. Barisan pegunungan di sekitarnya tersusun rapi, berpadu dengan gerombolan karpet awan, memberikan warna-warni menyusun panorama yang hebat. Keindahan nan tertata semacam itu, mana mungkin tercipta sendiri kalau tak ada yang membuatnya?

                “Aku nyari Ardi, Ragil dulu! Kalian tunggu di sini!” ujar Tomo lantas berjalan turun. Ardi, Ragil semalam berjalan mendahului kami. Parahnya, semua kamera termasuk milik Tomo ada pada mereka. Jadi, mau tak mau mereka harus ditemukan. Kalau tidak, kami mau foto pakai apaa?? Wkwkwk, pencarian yang tidak tulus.

                Seorang laki-laki menghampiri kami. Ia meminjam mantol plastic kami untuk alas solat subuh. Kami yang baru saja selesai memakainya, langsung mempersilahkan. Laki-laki itu meletakkan barang bawaannya, yang langsung kusambut dengan mata berbinar. Sebuah Keker tergeletak.

                “Boleh saya pinjam? Saya mau nyari temen saya,” pintaku spontan. Laki-laki itu tersenyum ramah.

                “Silahkan!” ujarnya.

                Kuedarkan pandangan, kuputar-putar keker di tanganku. Semua yang jauh berubah begitu dekat. Tapi tak sedikitpun aku melihat penampakan Ardi, Ragil maupun Tomo yang kini ikutan ngilang. Terlalu banyak orang. Tapi tak apa, pada dasarnya aku hanya penasaran ingin tau, bagaimana rasaanya melihat dengan keker. Maklum, biasanya kan, aku hanya pegang keker-kekeran yang isinya gambar monyet, panda, singa, harimau. Tau kan? Keker mainan milik anak-anak SD

                Nana ikutan pinjam, ya, ya, ya, sepupuku yang sedikit banyak sifatnya mirip denganku itupun mengakui, kalau ia sebenarnya juga hanya penasaran. Hahahaha

                Gagal mengeker anak-anak, aku, Erin dan Nana memutuskan untuk menunggu saja. Untungnya, tak beberapa lama berselang Tomo muncul. Ia sudah bersama Ardi dan Ragil. Tomo tampil sebagai pejuang hari itu. Merelakan diri balik turun ke bawah dan kembali naik ke atas. Untung perjuangannya membawa hasil.

                “Kok koe buluk banget sih, Di?” Itu komentar pertama yang aku lontarkan. Debu membuat anak kekinian itu hitam legam secara mendadak melebihi yang lain. Belum lagi penampakannya dengan sarung yang dililitkan di leher, serta kethu di kepalanya. Di atas puncak Ijen, Ardi menjelma menjadi tukang rondha. Hilang sudah kekinianmu Di. Hahaha.

                Kami segera pasang gaya masing-masing. Bergantian foto dan memfoto. Nana mengeluarkan kertas bertuliskan “Infinite” dalam tulisan Korea. Ia dan Erin kompak berfoto di antara tulisan itu. Heran, Infinite, apa menariknya coba?

                Ragil mencari-cari kertas kosong, nampaknya ada sesuatu yang sangat ingin ditulisnya. Karna dia sudah berbaik hati memfoto, akupun berusaha membalasnya dengan mencoba mencarikan kertas dan bolpoin. Untung, serombongan anak muda bersedia berbagi kertas gambarnya. Dan, kami spontan terkekeh saat tahu apa yang ingin dituliskan Ragil. Ia meminta Nana menuliskan ucapan “Happy Birthday” untuk seorang gebetannya. Ealah Gil, Gil… Anak muda sekali kau.

                “Emang ulang tahunnya tanggal berapa?”

                Ragil nyengir, “23 Agustus,”

                Yaelah… Padahal saat itu masih tanggal 16 Agustus. Wkwkwkwk.

                Menjelang siang, Gas belerang makin kuat tercium. Kami pun akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Debu mengakibatkan jalanan licin. Harus berhati-hati menuruninya kalau tidak mau jatuh terpuruk. Beberapa kali kami melintasi orang-orang yang terpaksa diangkut penambang belerang dengan kereta dorongnya lantaran terkilir, maupun terjatuh. Sebenarnya sudah ada larangan yang dipasang di dekat pos bunder, bahwa kereta dorong tidak boleh untuk mengangkut manusia. Tapi apa ya para penambang belerang itu bisa membiarkan saja kalau ada kejadian semacam itu?

                Kami berpapasan dengan seorang bule yang diangkut bagaikan raja oleh 4 orang penambang belerang menuju ke atas. Bule itu berperawakan lumayan gendut. Pemandangan yang Nampak ironi. Saya sempat berpikir, kok si bule tega sih? Nggak nyadar apa badannya gedhe? Rasa sok nasionalis pun sempat bergolak, ini kan seperti penjajahan. Sehari menjelang hari kemerdekaan pula. Tapi kemudian saya sadar. Itu kan pilihan. Si penambang itu kan laki-laki kuat, tentu mereka sudah memperhitungkan kapasitas dirinya. Dan tentu kompensasi yang mereka dapat telah mereka hitung sepadan tidaknya. Meskipun informasi yang saya dapat dari penambang lain, mereka hanya dibayar antara 500-800 ribu. Tidak sepadan menurut saya. Kalau menurut mereka sepadan, yaaa saya bisa apa?


                “Komenmu tentang ijen gimana?”

                Aku teringat percakapanku dengan sepupuku beberapa hari sebelum keberangkatan kami.

                “Bagus. Fotoku jadi best of the best di London sana. Penambang belerang di Ijen,”

                Mendengar jawaban seperti itu kontan menambah semangatku untuk ke Ijen. Dan Alhamdulillah, memang viewnya tak mengecewakan.

                Meskipun saya bukan fotografer seperti dia, tapi cerita sepupuku membuatku ingin menostalgiai apa yang ia abadikan dalam jepretan. Penambang belerang, menarik perhatianku pula.

                Kereta-kereta dorong yang dari tadi hilir mudik, dulunya tak ada. Para penambang dulu membawa hasil tambang dengan memikul. Tapi kemajuan sudah terjadi di sini. Kereta dorong besi dengan rem di kiri kanannya itu, bisa muat sampai lebih dari 100kg sekali angkut. Jumlah yang luar biasa. Dan tentunya ini lebih meringankan beban para penambang, yang dahulu mengangkut belerang dengan dipikul. Hasil belerang yang didapat ini, dihargai dengan upah Rp 925 per kg. Pengakuan seorang penambang, ia bisa 2-3 kali bolak-balik ke atas dalam sehari.

                “Rumah kita kebanyakan jauh dari sini. Tetapi masih masuk wilayah Banyuwangi juga, Mbak. Kadang kita beristirahat di situ. Sementara anak dan istri kita ada di rumah,” seorang penambang menunjuk ke deretan rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Sebuah tempat peristirahatan yang Nampak sederhana serta gelap jika dilihat dari luar. Jempol, lah buat bapaknya. Sosok laki-laki pejuang, penyayang keluarga.

                Belerang hasil angkutan para penambang belerang ini akan ditimbang oleh petugas yang datang dari PT. Candi Ngrimbi. Selanjutnya, akan diangkut truk dan diolah di wilayah Tamansari. Menurut informasi, nantinya belerang-belerang itu kebanyakan dimanfaatkan untuk industry farmasi.

                “Kemarin naik apa, Mbak?” Tanya salah seorang penambang belerang yang lain,  saat aku mencoba mendatangi tempat penimbangan.

                “Rombongan naik bus Pak!”

                “O… Kemarin truk pabrik nabrak mobil pengunjung pas di tanjakan karena tidak kuat, Mbak” cerita si Bapak kepadaku. Ramah sekali bapak ini. Saya belum bicara apa-apa ia sudah memberi saya cerita. Ingatanku langsung terbang pada  kejadian semalam. Saat kami terpaksa turun bus. Mungkin kejadian itu di tempat yang sama.

                “Kejadian semacam itu sudah sering ya Pak?”

                “Ya, lumayan sering Mbak. Kan jalannya nanjak banget itu,”

                Aku mengangguk-angguk mengiyakan.

                “Ini, kenapa bapak ngangkutnya lain, bukan belerang?” kutunjuk keranjang milik si Bapak. Puluhan botol mizone tertata rapi di sana.  “Ini mau dikirim ke warung yang di atas. Lumayan mbak dapatnya. Rp 300 per botolnya,” ujarnya. Aku tersenyum. Rasanya tuhan sedang menyindirku dari tadi. Mungkin Ia sedang berkomunikasi, “Aida, masih pantaskah kamu sering merasa tak bersyukur?”

                Next, dari kawah ijen kita lanjut ke air terjun si Jagir atau air terjun kembar Banyuwangi. Bau belerang yang nyangkut di baju, langsung  hanyut semua terlarung derasnya guyuran air terjun. Segar sekali. Suasananya sejuk. Saya tak mengira, ada hawa-hawa tawangmangu di kota Banyuwangi.

                Dari air terjun, kita mampir ke sebuah warung makan. Hem, lagi-lagi nampaknya saya kurang beruntung soal makanan. Awal masuk, aduh dek, udah kebayang ini warung pasti mahal. Jadi sewaktu milih makanan, aku, Nana dan Erin milih yang paling murah. Nasi Tempong.

                Kala itu menu pilihan kami menjadi yang paling akhir datangnya. Bahkan sampai makanan yang lain habis pun punya kami masih belum tiba. Padahal kita pesen bareng. Jangan-jangan karena punya kita yang paling murah, sementara yang lain menu high class semua??? Glek… gini nih, kalau mental sok backpacker disuruh jadi turis. Ngitung mulu.

                “Ini, yang pesan nasi tempong, mau ikan asin atau ayam?” tiba-tiba pelayan restoran menghampiri kami.

                Aku, Nana, dan Erin saling pandang. Nasi tempong? Bukannya itu tepong ayam ya? Kenapa mesti tanya mau ikan asin atau ayam?

                “Ayam,” jawabku. Nana, Erin setuju. Pikiran kami sama saat itu, tempong itu sama dengan tepong.

                Sesudah pertanyaan itu, kami masih menunggu lama lagi. Kulirik meja Tomo, Ardi, dan Ragil. Mereka Nampak blingsatan. Mereka sama seperti kami, menunggu makanan tiba. Yang aneh, kenapa mereka tidak ditanyai seperti kami? Padahal mereka pesan menu yang sama juga.

                Ketika makanan datang, Aku mengernyit. Penampilan makanan sih oke. Penataan sambal dan lalapan terong tertata rapi. Tapi, kok ada yang aneh. Aneh menurut saya, karena di dalam piring ada 2 jenis lauk yakni ikan asin dan paha ayam. Mana tepongnya?

                Sudahlah, aku mencoba cuek. Makan saja apa adanya. Pikirku saat itu. Sayangnya, lagi-lagi aku kecewa. Aku sempat meremehkan Tomo, saat ia bilang lidahnya tak cocok dengan masakan Jawa Timuran.

                “Backpaker kok pilih-pilih makanan!” gayaku menyindirnya sesaat sebelum aku merasakan Rawon yang menjadi makanan pertamaku di Jawa Timur.

                Nyesel, karena sepertinya aku kualat. Lidahkupun ternyata menolak cita rasa Jawa timur. Nasi-nasi, maaf aku tak sanggup menghabiskanmu.

                Ardi, Ragil, dan Tomo bangkit dari tempat duduknya. Membayar ke kasir dengan muka merengut lantas berjalan ke luar. Usut punya usut, mereka emosi lantaran pesanan mereka tak kunjung datang.

                “Kok aneh ya? Masak cuma murah banget? Cuma 35.000 bertiga. Tadi ditanya nasi tempong biasa? Terus aku jawab iya. Tapi kok aneh, kenapa kita tadi ditanya ayam atau ikan asin? Terus dijawab ayam tapi kok ada ikan asinnya?” Nana bertanya sembari menghitung uang kembalian.

                “Nasi tempong itu sebenernya apa sih? Atau kita balik lagi saja terus tanya?” akupun ikut merasa aneh.

                “Iya kita tanya lagi sajalah,” Erin mendukung.

                Kitapun kembali. Rombongan kami sudah tak ada yang di dalam rumah makan. Tinggal kami bertiga.

                “Owh, tadi ada ayamnya? Ayam kampung?” petugas kasir menanyai kami dengan muka judes. Matanya tak sedikitpun memandang kami.

                “Kita nggak tahu mbak ayam kampung atau bukan,”  jawabku merasa aneh dengan pertanyaannya. Tidak professional sekali, harusnya apa yang kita pesan ada dalam pricelistnya kan?

                “Ayam kampung tambah 75.000” ujarnya sinis.

                Kami bertiga ternganga. Shock mendengar jawaban itu.

                “Nggak kok, bukan ayam kampung! Ayamnya aja nggak alot!” ujar Nana nggak terima. Nggak terima dong kalau kami sampai harus bayar 75.000 untuk paha ayam yang Cuma kecil.

                “Owh, berarti ayam potong!”

                “Ya kita nggak tahu Mbak, ayam apa!”

                “Kalau bukan ayam kampung ya berarti ayam potong. Kalau ayam potong bertiga tambah 51 ribu! Masing-masing berarti 17 ribu!” jawabnya dengan muka yang semakin bikin emosi.

                Kami bertiga mlongo lagi. What??? 17 ribu? Meskipun sudah lebih murah, jelaslah kami masih tak terima.

                “Yang bener, Mbak? Tadi itu ayamnya Cuma paha kecil loh, Mbak? Masak paha kecil 17 ribu?”    Seorang pria yang sepertinya juga pelayan disitu muncul. Berbeda dengan mbaknya kasir. Pria ini jauh lebih ramah. Mungkin ia merasa perlu mengimbangi kesadisan sang kasir, makanya ia tak henti-hentinya mengumbar senyum yang meski terkesan dibuat-buat, tapi setidaknya itu lebih baik.

                “Iya Mbak, harga ayam potong segitu… Itu ada di daftar harga!” ujar pelayan pria lantas diakhiri senyum lagi.

                “Mana?” tanyaku, lantas aku diajaknya melihat daftar menu yang tertempel di tembok.

                “Tapi ayam kita tadi itu benar-benar cuma paha kecil loh, mas! Nggak segedhe itu!” protesku. Jelas-jelas gambar ayam yang terpampang di situ potongan ayam yang cukup besar, beda sekali dengan yang kami makan.

                “Tapi memang itu ayam potong yang itu mbak,” ujarnya dan lagi-lagi tersenyum.

                Oh, God! Pengeluaran tak terduga kami bertmbah! Aku benar-benar bakalan puasa habis trip ini! Kami menghela nafas panjang. Sudahlah, kami akhirnya mengalah.

                Sebal sih, tapi keluar restoran kami bertiga terbahak-bahak. Menertawakan kekonyolan. Ada-ada saja kejadian macam ini. Maunya ngirit, malah jadinya ngorot.

                “Ealah, 17 ribu… 17 ribu… dari kemarin kayaknya juga 17 ribu yak? Rawon kita kemarin 17 ribu juga kan?” tanya Nana. Aku ngakak lagi.

                “Owww, ini mungkin karena kita perginya menjelang 17 Agustus, jadinya 17 ribu terus,”  Nana sontak membuatku makin terkekeh.

                “Udahlah, besuk makan pupu pitik gone dhe Ratni wae! 4.000 tog!” Dhe Ratni adalah nama warung makan milik ibunya Nana. Dan Ia makin membuatku tertawa menjadi-jadi.

                Memasuki area bus kami masih ngekek. Belum berhenti tawa kami, Tomo sudah menyerbu dengan ceritanya. “Aku emosi, padahal kita pesan lebih dulu dari kalian! Eh, masa makanan kita nggak dateng-dateng!”

                “Karna itu kalian keluar tadi?” Nana memastikan. Mereka bertiga mengangguk.

                “Heh, kalian tahu, kalian itu makhluk beruntung! Kalian beruntung karena kalian batal makan nasi tempong!” ujarku. Ardi, Ragil dan Tomo mengernyit dengan pernyataanku.

                “Tau gitu, tadi aku juga ikut kalian keluar! Udah mahal, lama pula!” sesal Nana. Aku terkekeh lagi melihat ekspresinya.

                “Kalian tahu apa itu nasi tempong?” tanyaku.

                “Nggak! Emang apa?”

                “Kukira itu nasi tepong ayam! Ternyata tepong dan tempong itu beda!” sungutku. Tapi kemudian aku ngakak lagi.

                Tomo langsung browsing tentang nasi tempong. Dan, yang ditemukannya membuatku sedikit menyesal. Sebagai anak IT kenapa tadi aku tidak memanfaatkan teknologi dulu untuk mencari tahu.

                Menurut hasil browsingan Tomo, nasi tempong adalah nasi dengan lauk ikan asin. Dilengkapi lalapan dan sambal yang luar biasa pedas, sampai rasanya ingin menempong atau menampar!

                Wealah, ternyata, tempong itu artinya tampar, dan bukan tepong! Hemmm,,,

                “Padahal sambalnya biasa. Sama sekali nggak pedas. Gini sih rasanya ingin menempong penjualnya! Judes gitu!” rutukku.

                Yeah, meski sebal. Tapi entah kenapa aku justru puas. Puas karena ada hal yang membuatku ngakak karena merasa dibodohi. Sudahlah…

                Kami balik lagi ke Rumah Singgah Backpaker. Rumah singgah ini gratis untuk umum. Semacam hostel lah kalau di luar negri. Enaknya Rumah singgah di sini, antara laki-laki dan perempuan dipisah. Tapi ya tetap saja, aku, Nana dan Erin sempat tak bisa membayangkan jika harus berdesak-desakan tidur seperti itu.

                Kami bertiga berbincang sok akrab dengan penunggu Rumah singgah. Ngobrol sana-sini, menanggapi ceritanya tentang keluarganya dan tentang macam-macam. Dan ternyata, jadi pendengar itu membawa manfaat yang mengasyikkan. Ujung-ujungnya, kami bertiga diberi tempat special. Sebuah kamar khusus dengan kasur busa dan kamar mandi pribadi yang kalau biasanya di charge harga Rp. 60.000, tapi kali itu kami diperbolehkan memakainya free. Aseeek.

                “Penerbangan  1945 lampion,” sebuah baliho terpampang di salah satu sudut wisata boom. Pantai Boom ramai sekali malam itu. Kedatangan kami bertepatan dengan malam menjelang tanggal 17 Agustus 1945.  Dan jumlah 1945 itu merupakan symbol peringatan kemerdekaan.

                Bayanganku pasti langit bakalan indah dihias ribuan lampion, sayang ingin itu gagal. Penerbangan lampion dibatalkan lantaran cuaca yang tidak mendukung. Akhirnya, kami berenam hanya duduk dipinggiran bibir pantai. Memandang selat bali yang berkerlip,mendengar debur ombak yang keras menyapa daratan.

                Tak banyak waktu yang kami habiskan di pantai boom. Sekitar 1 jam kemudian kami sudah kembali.

                ***

                Matahari menyibak pagi. 17 Agustus 2015, Indonesia berusia 70 tahun. Hari ini, adalah hari terakhir kita ngetrip. Tujuan terakhir kita adalah Pulau Menjangan. Snorkling di sana. Pulau ini, awalnya tidak terkira masuk list perjalanan. Tapi ya, justru yang sempat tak terkira itu yang asyik.

                “Cutiku nggak cukup Da, kalau kita mau sekalian ke Baluran!” Ujar Tomo di BBM sebelum semua perjalanan ini terjadi. “Kamu mau ke Baluran atau Kawah Ijen?”

                “Dua-duanya lah,” jawabku yang disambutnya dengan ekspresi ngekek.

                “Nggak sekalian ke menjangan?” celetuknya menyindir. Saat itu, ke Menjangan benar-benar mustahil. Dan ucapan Tomo hanyalah ucapan ngasal yang benar-benar nampak tak mungkin pada awalnya.

                Tapi keajaiban terjadi, Tomo menemukan rombongan jalan-jalan yang bersedia share cost beberapa hari menjelang rencana tanggal main kami. Dan ajaibnya lagi, rombongan itu kurang 5 orang sementara kami ber 6. Eh, beberapa hari kemudian dapat kabar bahwa ada satu dari rombongan yang batal, so pas banget kan?

                “Para perempuan naik dulu aja!” Mas Ahmad memberi komando.

                Kapal berbentuk seperti banana boot dengan penyeimbang dari kayu di sisi kiri kanannya, mengantarkan kami menyebrang dari Bangsring ke sebuah dermaga di tengah laut. Kapal yang hanya mampu mengangkut sekitar 6 orang ini, disebut Nana dengan “Banana atos” saking atosnya kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sekat-sekat untuk kami duduk.

                Dermaga bergoyang-goyang saat kami turun dari kapal. Kami sempat limbung, tapi secepatnya kami bisa menyesuaikan diri. Dari dermaga kayu inilah, kami selanjutnya dibawa menyebrang untuk snorkeling di Pulau Menjangan.

                Dari Dermaga, tepian Pantai Bangsring tak terlalu jauh. Beberapa orang muncul, menceburkan diri ke laut pantai Bangsring. Apa yang mereka lakukan membuatku menarik nafas sementara. Mereka mengibarkan merah putih di atas laut. Membentuk formasi, kemudian melakukan hormat bendera. Sesudahnya mereka berenang menuju Dermaga. Akh, betapa asyiknya jika bisa menyatu dengan air seperti itu. Menyatu dengan zat penyusun terbanyak tubuh manusia. Aku benar-benar iri melihatnya. Apa daya, kemampuan renangku belum juga meningkat semenjak snorklingku di Karimun Jawa.

                Perahu kapal mengangkut sekitar 10 orang menuju laut Pulau Menjangan. Kami di atas kapal bersama bunda Uphie. Seorang Ibu-ibu kekinian, yang ternyata sudah menjelajahi berbagai tempat. Asyiknya lagi, ia selalu berjalan-jalan bersama suaminya. Super romantic.

                “Anak kita dua, tapi kalau diajakin main gini, nggak mau. Mereka lebih milih di rumah,” ceritanya. Coba anaknya itu aku, jelas semrinthil lah….

                Tapi mungkin itu cara si anak berbakti. Membiarkan orang tuanya menikmati hari, berdua saja. Mengenang masa lalu, berbulan madu. Mungkin…

                “Kalau jalan gini, suamiku itu sering tidur mulu. Dari kemarin aja ya, ia tidur terus di bus!” curhatnya. Ia menunjukkan kesal sesaat, tapi pandangannya memperlihatkan ia tetap bahagia. Ya, mungkin sebagai perempuan ia berharap suaminya melakukan lebih banyak hal-hal romatis daripada tidur. Tapi sesebal apapun ia pada ketidakmengertian suaminya, sebenarnya itu bukanlah hal penting. Asal suaminya tetap disampingnya, bukankah itu lebih penting? Terkadang cinta mudah saja menyederahanakan bahagia lewat satu kata, bersama.

                “Saya pernah baca, bahwa traveling itu mengawetkan sebuah hubungan lho, Bu,” celetukku. Bunda Uphie hanya terkekeh. Imajiku langsung terbang pada buku yang pernah kubaca tentang sepasang suami istri asal Indonesia yang berkeliling dunia dengan Moge. Asyiknya.

                Bapak pengoperasi perahu bergabung bersama kami. Ia pun lantas berbagi cerita tentang Pulau Tabuhan.

                “Itu pulaunya kecil,tak berpenghuni. Masih sepi. Seringnya wisatawan hanya tahu tentang Pulau Menjangan,” cerita si Bapak sembari menunjuk ke sebuah daratan yang Nampak kecil di antara laut Banyuwangi dan Pulau Menjangan. Jelas, kami langsung berminat sepulang dari Menjangan bakalan mampir kesana.

                “Ini nanti nggak ke Pulau Menjangan. Kalau ke Pulau Menjangannya, nanti bisa dimarahi. Itu sudah masuk kawasan wisata. Mahal!” Penjelasan Si Bapak memupuskan harapanku.

                Sebenarnya dari awal aku sudah tahu, bahwa perjalanan kami ke Pulau Menjangan untuk  snorkeling. Tapi aku masih berharap, kakiku menjejak Pulau Menjangan. Ingin mengeksplore ke sana. Bertemu para menjangan, yang menyebabkan pulau ini dinamai nama yang sama dengan mayoritas penghuninya. Tapi kata mahal yang kata beliau mencapai 200 ratus ribu, menyurutkan langkah.

                Air berkilau biru. Mesin dipelankan. Kapal bergoyang-goyang dibelai mesra ombak yang mengalun pelan. Pengemudi kapal mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari spot yang masih kosong untuk snorkeling. Beberapa kapal rombongan lain nampak melakukan hal yang sama.

                Rombongan kapal kami yang lebih banyak lelakinya, berteriak riuh manakala sebuah kapal berpenumpang bule lewat. Deretan penumpang bule yang memunggungi kapal kami sukses membawa kehebohan. Punggung-Punggung putih serupa manekin itu hanya berhiaskan seutas tali dari baju renang yang mereka pakai. Pemandangan yang bercerita, Pulau Menjangan itu adalah bagian dari Bali.

                Kami snorkeling di 3 tempat berbeda. Awalnya di dekat menjangan, tapi kemudian berpindah agak jauh, dan kemudian di dekat pulau Tabuhan.


                “Byurrrr,” satu persatu para penumpang perahu menceburkan tubuhnya. Sementara aku dengan perlahan, berselimutkan rasa takut mulai menuruni tangga kayu kapal pelan-pelan. Biarpun aku sudah berlatih renang 3 kali sebelum keberangkatan ini, masih saja rasa takut itu melekat kuat.

                “Aku kira Aida yang paling parah,” komentar Tomo meledek. Aku hanya bisa melengos. Aku dan Erin menjadi manusia payah hari itu. Kami berdua menjadi satu-satunya anggota kapal yang tak bisa berenang. Awalnya, Erin yang paling payah. Ia berteriak-teriak di awal.

                “Mbak, kakimu kayak jalan biasa!” Ragil mencoba memberi instruksi. Tapi aku tak kunjung bisa. Kenapa susah sekali?

                Awalnya, kawan-kawanku secara bergantian kujadikan pegangan mengarungi lautan. Tapi begitulah, mereka akhirnya meninggalkanku lantas kemudian berenang menjauh menikmati entah apa di sana. Berfoto-foto tanpaku pula #Sakit

                “Kan udah pakai pelampung! Nggak bakal tenggelam!”

                Komentar menyebalkan. Dari awal aku tahu pelampung itu akan menjagaku. Tapi serius, goyangan ombak meliuk-liukkan rasa takut yang tak kunjung bisa kuhilangkan.

                “Ayo, sama aku yok! Kita kesana,” bunda Uphi datang sebagai penolong. Ia membawaku berenang. Tanganku berpegangan pada baju pelampungnya.

                “Rileks! Lihat ke bawah! Bagus kan?” ujar bunda Uphi.

                Rabb… keindahan ciptaanMu secantik itu, kenapa pula rasa takut ini harus hadir? Terus kutanyakan pertanyaan itu, tak kutemukan jawabannya. Ketakutan tak beralasan! Terkadang, aku hanya merasakan pelampung itu tak sanggup mengangkat tubuhku, meskipun itu tak mungkin.

                “Kamu gendut, sih! Makanya pelampungnya nggak kuat!” itu komentar Nana saat aku cerita kenapa aku mesti takut.

                Hmmm, Nana, ia kira aku sebodoh itu untuk percaya apa? Sori, nggak lah ya!

                Laut bergejolak sedikit kencang. Kurasakan tubuh bunda Uphie dari tadi stagnan tak bergerak maju seolah ombak menahannya. Kontan aku panic. Kepanikan yang aku tahu sangat dilarang saat di air. Bunda Uphie akhirnya memanggil suaminya. Tapi suaminya masih menjadi pegangan Erin. Akhirnya bapak pengemudi perahu yang datang.

                Kemudian dari bunda Uphi aku pindah berpegangan pada pelampung bapak pengemudi perahu yang ikut menceburkan diri ke laut. Awalnya aku berharap di bawa menuju ke arah teman-temanku supaya bisa ikut jeprat-jepret. Tapi aku malah dibawa menjauh. Tapi tak apa.

                Olehnya, aku dibawa melihat laut yang jauh lebih indah dari tadi. Semakin menjauh, ternyata semakin best sekali viewnya. Terumbu karang jauh lebih berwarna-warni. Anemon-anemon laut, bergerak melambai-lambai dikelilingi beragam ikan, yang setahuku itu sejenis angelfish. Berukuran mungkin satu telapak tangan, berwarna kuning, bergaris coklat di dekat insang. Dengan gesit mereka berkejaran, bermain-main petak umpet diantara celah liukan anemon.

                “Lihat itu!” Si Bapak perahu menudingkan tangannya ke arah anemon berbentuk seperti sulur berwarna coklat hitam. Anemon itu juga bergerak. Yang menarik, di bawahnya terlihat ikan seperti ikan sapu-sapu. Tetapi ikan itu tak melulu menyapu permukaan. Sesekali ia menenggelamkan diri diantara gelap celah anemon. Tapi sesekali ia malu-malu mengintip.

                “Liat lagi ya, tapi tunggu beberapa saat, dan jangan bergerak!” perintah si Bapak.
                Aku menurut. Sekitar 2 menit aku mendiamkan posisi, ikan itu mulai memperlihatkan wujudnya seutuhnya. Ia menari mengelilingi anemone serupa sulur itu. Dan saat aku menggerakkan kaki kembali, ia pun dengan cepat masuk kembali ke dalam celah.

                Rombongan ikan yang mungkin sejenis jackfish sepengetahuanku. Segerombolan berwarna biru, dan sebagian berwarna  kuning, ikut menyemarakkan warna-warni pemandangan yang kulihat. Cantiknya…Subhanallah…

                “Ayo, ke sana lagi!” Si bapak berenang lagi. Untuk kesekian kalinya kubenamkan kepalaku ke bawah laut. Mataku tak henti-hentinya dimanjakan pemandangan yang dulu hanya bisa kulihat di iklan RCTI. Sewaktu kecil, aku senantiasa berharap bisa melihat laut. Biarpun sampai detik ini aku belum berhasil menyelam, setidaknya tuhan sudah membawaku sedekat ini dengan laut.

                Aku di bawa berdiri mengapung di atas koral hitam. Koral-koral itu cukup luas. Bernuansa gelap, jauh terletak lebih ke dalam. Hanya beberapa ikan terlihat. Suasana menakutkan jadi terasa. Kami maju lagi, ikan-ikan Nampak berkilau dengan warna-warna terang di tubuhnya.

                Kami maju lagi. Kali ini, sekumpulan jackfish banyak sekali terlihat. Jumlahnya lebih banyak dari yang tadi. Tak bisa kubayangkan, kalau tadi aku membawa roti, mungkin aku sudah diserbunya. Seekor nemo dan mungkin belut laut juga muncul berkelabat. Subhanallah, Elok nian laut ini. Ini bahkan lebih beragam dan berwarna-warni dari yang kutemui di Karimun Jawa. Sayang, aku tak membawa kamera untuk mengabadikannya.

                “Udah, ya Mbak! Kita sudah jauh ini. Tadi harusnya perahu kita ngikutin kita kemari. Tapi mungkin karena teman-teman Mbak, masih di sana, jadi teman saya memilih menunggu di sana,” cerita si Bapak. Tadi memang ia sempat berteriak kepada temannya yang berdiri di atas kapal menggunakan bahasa Bali. Tak kumengerti maksudnya, tapi caranya ngomong yang disertai gerakan tangan menuding arah laut, memahamkanku bahwa ia menyuruh kapal mengikuti kami berenang.

                “Siap Pak! Terima kasih sudah membawa saya sejauh ini. Indah sekali, Pak!” ujarku.

                Si Bapak hanya terkekeh. “Sama-sama, Mbak! Kita balik ke sana, sambil Mbaknya melihat ke bawah lagi!” Aku semangat menganggukkan kepala.

                Erin rupanya sudah bisa berenang saat snorkeling kita pada spot yang ke dua. Ya, dia kan pada dasarnya lebih dulu sering masuk kolam renang daripada aku.

                “Erin wes iso hlo!” ejek Tomo sekali lagi. Kulirik Erin. Dia sudah sangat santai berlenggang di atas air.

                “Mbak, kok rupamu elek banget, tho!” komentar Ardi melihat wajahku yang mungkin terlihat tak karuan dengan kacamata snorkeling yang mempengaruhi bentuk jilbabku. Menyebalkan, ia membalas komentarku tentang “kebulukannya” pas di Ijen rupanya.

                “Payah, Mbak! Udah jauh-jauh sampai sini nggak bisa renang!” komentar Ardi lagi.

                “Ho’oh! Pie to we ki, seprono seprene nggak iso renang! Kayak gitu katanya mau ke Lombok!” Nana menambahi.

                “Nanti kalau ke Lombok, Mbak Aida nggak usah diajak aja!” ujar Ardi dengan santainya. Yang lain hanya mengiyakan sambil terkekeh. Kam to the pret sekali itu bocah! Lihat saja, habis ini pokoknya aku akan belajar berenang dengan sungguh-sungguh!

                Seperti kata bapaknya sewaktu di atas kapal tadi, Pulau tabuhan sepi pengunjung. Hanya ada rombongan kami. Tak terlalu banyak yang kami lakukan di sini. Hanya berlari-larian di atas pasir putih sejenak. Berfoto-foto membawa bendera khas 17 Agustus. Mengamati laut dan gunung yang entah apa namanya, lantas pulang. Akupun tak mengexplore pulau. Hanya sempat melirik, mengintip diantara celah semak yang memenuhi isi tengah pulau Tabuhan. Sebuah bekas cor-coran semen berdiri di sana.  Mungkin bekas suatu bangunan. Penasaran juga sebenarnya, hanya saja tak kudatangi. Semak pada bagian tengah sebetulnya tak terlalu lebat. Hanya saja banyak sekali sampah, hingga membuatku malas untuk menjejakinya. Berarti mungkin sebenarnya sudah banyak wisatawan yang datang kemari sebelum kami. Tak sesepi yang bapak perahu ceritakan.

                Kami biarkan saja matahari memanggang tubuh kami di atas kapal. Kami terlalu lelah untuk peduli. “Wani ireng, lek! Yang penting seneng!” mungkin itu kata-kata yang bisa mewakili kami. Masing-masing dari kami terkapar kelelahan. Sepanjang perjalanan kembali menuju dermaga, kami menengadahkan diri berbaring di atas bagian kapal yang tak beratap. Tidur menantang mentari.

                Haaa,,, selesai sudah. Perjalanan selalu memiliki akhir di ujungnya. Saya memandang ke bendera tercabik milik kapal kami yang berkibar. Bersyukur, karena sekali lagi aku menikmati event 17 Agustus di luar rumah,luar kos, luar kantor dan luar kampus. Tahun lalu, aku menikmatinya bersama kawan-kawan  sekelas, upacara di pesisir pantai Klayar. Tahun depan kemana ya? Hem,,, semoga diizinkanNya menikmati bumiNya yang lebih jauh lagi, lebih indah lagi, dan lebih menarik lagi. Syukur-syukur kalau udah sampai ke luar negri, mengikuti pengibaran bendera merah putih di negri orang. Merasakan atsmosfer rindu tanah air, dan cinta negri yang luar biasa. Hem, sepertinya menarik. Amin.

                “Perjalanan itu seharusnya bisa membawa kita lebih dekat dengan sang pencipta! Karena kita sudah diberi kesempatan melihat lebih banyak!” Asma Nadia –Jilbab Traveller-

                “Seorang pelancong tanpa pengamatan adalah burung tanpa sayap” –Moslih Edin-

                “Makin sering traveling kita akan semakin terasah untuk mengobservasi, mencari solusi, bersosialisasi, menganalisis” Trinity –The Naked Traveler-

                Ya semoga, Yang di atas mengijinkanku keliling nusantara, sampai keliling dunia. Amin…

                Akhir kata, semoga bermakna! 
               
Info n tips seputar perjalanan:
Bus dari Solo ke Surabaya itu sekitar 7 jam. Pengalaman yang saya ambil kemarin, jangan mudah percaya sama petugas terminal maupun kernet bus yang mengatakan hanya 5 jam!

Bus ke Surabaya yang kami tumpangi ada 2. Di awal naik Mira, dan pulangnya naik Eka. Mira bayarnya cukup murah, Rp. 45.000 sementara Eka Rp. 85.000. Tempat duduk Bus Mira model 2-3 seat, sedangkan Eka 2-2 seat. Di bus Eka, kita serasa kelas eksekutif, adem banget, lebih terang, dapat makan pula! Ya, ada harga ada rupa lah…

 Kalau mau murah ya nginep di hostelnya Banyuwangi, Rumah Singgah Backpaker. Gratis. Tapi ya, tau diri lah

Kalau ke kawah Ijen jangan lupa bawa masker dobel. Terus untuk mengurangi bau belerang yang kuat jangan lupa basahi masker dengan air.

Sewaktu turun gunung Ijen ataupun gunung lain, sebetulnya dengan kita berlari akan lebih mudah kalau tau caranya. Ini tips dari seorang kenalan mapala yang saya temui sewaktu di Merbabu. Yang pertama jangan takut dulu! Usahakan posisi telapak kaki miring saat melangkah. Dengan begitu, kalaupun nanti kita menggelondor, tubuh kita bisa tertahan kaki. Kalau lurus beresiko kita mudah terjungkal. Usahakan kaki depan menemukan pijakan lebih dulu.

Tips yang pernah saya dapat dari teman yang lain adalah ketika naik. Jangan berjalan terlalu cepat di awal. Tenaga kita akan mudah habis kalau begitu. Santai dulu, biarkan tubuh menyesuaikan diri dengan keadaan. Jaga irama nafas, 3 langkah kaki 1 tarikan nafas, atur seperti itu ketika nafas terengah-engah karena jalan menanjak.

Browsing dulu lah kalau mau makan yang aneh-aneh atau ingin mengetahui banyak tempat di Banyuwangi. Tapi, kalau kamu orang yang suka surprise,tentunya biarkan saja gadgetmu mati.

 Kalau ke baluran pas summer, bawa kacamata hitam. Baluran panas euy. Kalau perlu bawa saja payung, sekalian yang warna-warni buat foto.

Buat kamu penyuka tantangan, ke Baluran lebih asyik kalau kita jalan kaki dari lokasi pembelian tiket ke savanna bekol. Insya Allah biarpun jauhhhh tapi aman kok! Saya hanya melihat beberapa bule saja yang bersedia melakukan ini. Kalau kita berada di dalam bus, rasanya seperti nonton di taman safari.

      Jangan memberi makan kera-kera di Baluran. Para kera berekor panjang itu benar-benar liar dan setia kawan. Pengalaman kemarin, ada seorang teman rombongan yang memberi beberapa ekor kera makanan. Eh, si kera memanggil kawan-kawannya. Langsung, dari berabagai sudut, puluhan kera datang berlari-larian.

      Tiket masuk Baluran per orang 10.000.  5.000 untuk Habitat liar. Ke Kawah Ijen per orang 7.500. Ke air terjun si Jagir kami kemarin gratis. Tiket Kapal termasuk paketan snorkeling dari Bangsring ke Menjangan, 200.000.



kawah ijen

kawah ijen 2443 mdpl


ketinggian 2443 mdpl



           
           
baluran dari gardu pandang



           



penjual sovenir gunung ijen






semak invasif baluran


           






































Ini Erin

Ini Nana

Ini Tomo



Ini Ardi

Ini Ragil
Ini kami


You Might Also Like

1 comments

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)