Menjawab Rumor, Benarkah Pernah Ada Satu Keluarga yang Ditenggelamkan di Waduk Gajah Mungkur?

patung bedol desa
Patung Monumen Bedol Desa untuk mengenang adanya Transmigrasi Bedol Desa di Wonogiri
Sumber: Docpri



Fubuki Aida Blog - Salah satu rumor tentang Waduk Gajah Mungkur yang beberapa kali saya dengar adalah tentang adanya satu keluarga yang katanya ditenggelamkan di dalam Waduk Gajah Mungkur karena mereka tidak mau pindah. 

Akibat peristiwa itu, konon kemudian  waduk menjadi angker.

Sewaktu kecil saya mendengarkan cerita  itu dari sepupu. 

Kala itu, ia bercerita begitu meyakinkan, dengan ekspresi yang terlihat sangat khawatir. Khawatir karena memang rumahnya berada di atas Waduk Gajah Mungkur

Entah dianya yang melebih-lebihkan atau bagaimana, yang pasti saya jadi ketakutan. Meskipun di sisi lain saya juga kasihan seandainya kisah itu betulan

Usai mendengar cerita itu, saya  terbayang-bayang terus selama berhari-hari.

Saat saya dewasa, saya awalnya berpikir cerita tersebut hanya khayalan sepupu saya. 

Namun saya kembali mendengar dua cerita itu dari orang berbeda. 

Membuat saya kembali bertanya-tanya, sebetulnya ini beneran atau tidak sih.

Karenanya, di suatu hari di tahun 2017, ketika saya berkesempatan sowan ke rumah pakde-1, saya menanyakan hal ini.

"De apa bener sih de, rumor yang bilang dulu ada satu keluarga yang nggak mau pindah terus akhirnya tetep ditenggelamkan di Waduk Gajah Mungkur?" tanya saya mengawali percakapan saat duduk di teras rumah pakde-1.

"Ha? Orenek. Sopo sing cerito kui? Orenek," jawabnya yakin. 

Berawal dari pertanyaan saya itu, dia kemudian menceritakan kembali cerita seputar waduk Gajah Mungkur panjang kali lebar.

Pakde-1 ini bisa dibilang saksi sejarah pembangunan Waduk Gajah Mungkur. Di jaman itu, kebetulan beliau pernah menjabat beberapa posisi yang membuatnya turut berperan dalam proses pembuatan waduk. 

Saking banyaknya saya lupa apa saja. 

Seingat saya dulu beliau cerita, sewaktu awal-awal jadi pegawai ia menjadi staf Bappeda, dan kemudian saat Objek Wisata Gajah Mungkur jadi, beliau dipercaya menjadi Kepala Dinas Pariwisata Wonogiri.

"Cerita itu tadi nggak ada. Yo ono sing angel kon pindah, tapi cuma satu orang. Kalau nggak salah dia Kepala desa di Kecamatan Nguntoronadi, lupa desa apa. Tapi akhirnya yo gelem pindah sidane. Dan tidak ditenggelamkan," cerita pakde-1.

Saya ngekek, ternyata ketakutan saya di masa kanak-kanak dulu yang juga sedikit masih saya percayai hingga dewasa, hanyalah hoaks belaka. 

"Orang dulu itu nurut-nurut. Tapi ya memang ganti ruginya besar," Pakde-1 melanjutkan ceritanya lagi.

"Masak nggak ada yang protes de?" tanya saya.

Pikiran saya langsung membandingkan dengan beberapa pemberitaan media masa yang kerapkali membahas seputar relokasi rumah warga untuk tujuan pembangunan. Seringnya relokasi berujung ricuh dan diwarnai aksi protes di berbagai tempat di Indonesia.

Jika dari cerita pakde, hal semacam ini tampaknya tidak terjadi di Waduk Gajah Mungkur.

"Itu tinggal tekniknya. Kayak gitu, kuncinya ada pada penyuluhan, kebutuhan apa-apanya dicukupi, dan jangan dikorupsi. Kalau dikorupsi, ya ngamuk," kata beliau. 

Saya manggut-manggut. Pakde kemudian menceritakan bagaimana para penduduk terdampak, pada jaman dahulu mendapatkan ganti rugi yang cukup besar. 

Harga tanah ganti rugi dilebihkan, dan pohon2 dipersilahkan untuk dijual kayunya dengan  hasil yang diperbolehkan untuk dinikmati warga sebelum segala sesuatunya ditenggelamkan. 

Tak hanya sampai di situ, warga di tempat transmigrasi juga dijamin kebutuhannya mulai dari beras, minyak selama dua tahun. 

"Di sana mereka diberi rumah jadi, dengan lahan sekitar satu hingga satu seperempat hektar," cerita pakde lagi. 

Yang lebih menarik, para pegawai yang dipindah kala itu dijamin mendapatkan kembali pekerjaan yang sama saat mereka pindah ke lokasi baru transmigrasi.

Jadi semisal di Wonogiri menjadi guru atau misal kepala desa, maka saat transmigrasi mereka tidak kehilangan pekerjaan itu. Mereka tetap bekerja di posisi sama di daerah baru transmigrasi itu. 

Saya kembali manggut-manggut, ya kalau begitu asyik sih. Hidup terjamin, bareng orang-orang yang mereka kenal. Kemudian segala sesuatunya tidak berubah. Tentu tidak menolak.

Saya menyeruput segelas teh, jeda sejenak mencerna cerita pakde sambil membayangkan dalam kepala, jaman dahulu pasti masih banyak sekali kayu-kayu. 

Kalau ini dijual tentunya bisa untung banyak. 

"Sing melu transmigrasi enak, terjamin. Sing wegah pindah tapi tetep pengen nang Wonogiri, pada minggir. Tapi mereka banyak yang jadi kaya ya karena sudah dapat ganti rugi itu," kata pakde.

Dari dalam rumah, bude tiba-tiba muncul. 

"Kamu tau Mbah B?" Ujarnya menyambung percakapan saya dan pakde. 

Saya mengangguk, lantas meletakkan kembali gelas ke meja. 

Mbah B ini, dulu beliau  termasuk pedagang terpandang di pasar Wonogiri. 

"Iku sugih ya karena adanya waduk. Padahal dulunya beliau orang yang nggak punya. Tapi karena dapat ganti rugi itu dia minggir ke rumahnya sekarang. Terus uangnya itu dibeliin ruko, dagangan. Padahal dulu biuhh, ra due opo-opo. Dulu cuma jualan makanan dibelain mulai jualan jam 2 pagi," cerita Bude panjang lebar.

Saya membulatkan bibir. Seperti mendapatkn bukti bahwa mereka yang bekerja keras kerap kali diberi rejeki yang tidak disangka-sangka.

Cerita seputar waduk kemudian dilanjutkan kembali namun kali ini mengenai proses transmigrasinya yang menjawab segala rasa penasaran saya. Yeah, tapi sepertinya dilanjutkan di postingan berikutnya saja :-)

You Might Also Like

5 comments

  1. Dengan cara pendekatan kayak gitu, menurutku bisa mindahin penduduk dari daerah pembangunan secara baik sih.
    Apalagi ganti ruginya sepadan dan kehidupan mereka selama 2 tahun dijamin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya.. Mungkin ya itu tadi krn tekniknya baik

      Delete
  2. Kayane aku ngerti sapa iki sepupu sing cerita ora-ora.. wkwk

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)