Sebuah Pelajaran Mengatasi Dingin Saat Mendatangi Embun Beku Dieng

Perjalanan kerap kali mendatangkan ilmu-ilmu baru.

Ketika suatu kali saya bertemu dengan pendiri Kampuz Jalanan, ia berujar

"Ilmu itu bisa didapat Mbak darimana saja. Bahkan dari jalanan. Disana siapapun bisa kita kita ambil pelajarannya," ujarnya.

Perkataan Mbak Aroh itu kembali terngiang manakala, saya ke Dieng beberapa waktu lalu.

Dari seorang penjual angkringan saya mendapatkan tips yang saya rasa pantas kalau saya sebut "menyelamatkan:" saya dari kedinginan suhu ekstrim Dieng.

***



Dieng terlalu gelap saat kami datang.

Sekujur tubuh saya ketika itu rasanya mengginggil kedinginan. Jaket tebal, sarung tangan, kaus kaki, semua rasanya percuma. Dingin tetap menusuk, menghunus ke tulang-tulang.

Jalanan gelap, turunan curam, tanjakan tajam, dan kelokan ekstrim hanya bisa teraba dari sorot motor yang tak terlalu kentara. Tipis kabut memang tak menghalangi, tapi parahnya tak ada sorot lampu merkuri  di kanan kiri.

Bukankah Dieng tempat wisata terkenal? Sorot lampu saja kenapa tak satupun ada? Rutuk saya dalam hati.

Di atas motor adik saya menanyai kembali rencana saya, yang sayapun belum yakin pasti.

“Mbak, yakin kita ngebasecamp? Sudahlah kita cari homestay saja. Takutnya kamu nggak kuat,”  ujarnya. Mungkin ia sedikit khawatir dengan kondisi saya yang meski sudah hampir sebulan usai sakit masih saja sering kambuhan.

“Ini weekend, homestay penuh. Kalaupun ada pasti mahal. Kita lihat basecamp dulu, kalau basecamp penuh baru kita nyari homestay,”

Saya tahu hari itu saya konyol. Di tengah kondisi yang belum sepenuhnya fit, saya nekat mengajak adik ke Dieng motoran, dan parahnya kami kemalaman.

Bermodal informasi internet, dan dikuatkan info dari seorang kawan kampus yang pernah mendaki ke prau, serta info dari kawan baik, saya menyusun rencana untuk tidur di basecamp dan keesokan paginya langsung cuss lihat embun es.

Hal yang paling konyol adalah kami tidak tahu pasti nama basecamp apa yang kami tuju. Saya hanya bermodal informasi, ada basecamp di Dieng dekat dengan Candi Arjuna.

Sampai di pertigaan Dieng dekat homestay Bu Djono kami masih harus celingak-celinguk tanya orang tentang posisi basecamp yang kami sendiri namanya saja tidak tahu.

Sampai pada keramaian pertigaan Dieng, saya baru sadar, basecamp Prau ada beberapa. Beberapa orang yang kami tanyai memberikan sarannya tentang basecamp yang harus kami datangi. Tapi tak satupun yang memberikan kepastian mana sebetulnya basecamp yang benar-benar tepat agar keesokan harinya kami bisa lebih dekat jalan ke Candi Arjuna.

Jangan tanya kenapa kami tak pakai google maps saja.  Kami saja bingung harus menitik lokasi dimana. Pun HP saya eror untuk membuka google map dan HP adik habis baterai.

Diantara segala ketidakpahaman kami akhirnya memacu motor menggunakan feeling. Langkah kami selanjutnya berhenti, pada sebuah nyala api di tepian jalan.

Kami menghangatkan diri di perapian tepian jalan tersebut, lantas berlanjut membeli susu jahe di seberang.

Malam itu, rasanya Allah menujukkan cintaNya kepada kami.

Saat dingin rasanya begitu sulit dikontrol, di tempat inilah saya bertemu Mas Rohmat, seorang penjual angkringan yang begitu baiknya memberikan tips panjang lebar mengenai bagaimana mengatasi hawa dingin Dieng yang malam itu sekitar pukul 23.00 WIB rasanya menjadi rasa dingin terparah yang saya rasakan selain dulu saat mendaki ke Merapi.

“Orang sini, apa nggak pada kedinginan, Mas?” tanya saya pada Mas Rohmat.

Ia terkekeh.

“Ya dingin. Tapi sudah biasa,” jawabnya sambil memberesi dagangan. Kami menjadi pembeli terakhir malam itu.

“Malam-malam gini, kira-kira masih ada homestay kosong nggak ya Mas? Yang harganya nggak terlalu mahal gitu? Jaga-jaga saja sih kalau ternyata basecamp penuh, atau kalau ternyata nggak kuat dingin,”

Mas Rohmat menghentikan aktivitasnya lantas menghampiri kami yang berdiri di dekat sepeda motor tak jauh dari gerobak angkringannya.

“Kalau menurut saya sih mendingan tetep tidur di basecamp sih mbak,” ujarnya.

“Hla gimana, Mas?”

“Kalian tidur di homestay pun sama saja. Sama dinginnya di dalam homestay itu.” tuturnya. "Lagipula udah pada penuh,"

Saya mikir sejenak, benar juga. Kalau seandainya hawa panas mungkin tidur homestay bisa nyalain kipas angin atau AC. Tapi kalau dingin seperti ini, apa yang mau dinyalain. Saya tak yakin ada penghangat ruangan di homestay, dan selimut tebal sepertinya juga tak akan ampuh melawan hawa dingin yang separah ini.

Tetiba saya teringat cerita kawan kampus yang sehari sebelum kedatangan kami ke Dieng ia juga kesana. Ia berujar, kalau dia datang ke Dieng membawa bed cover, namun menurutnya, percuma karna bed cover tak mempan melawan dingin suhu Dieng.

Keraguan tidur di basecamp pun lantas menghilang. Seketika saya makin mantap untuk segera datang menuju basecamp.

“Kalau biar nggak kedinginan itu ada caranya Mbak,” Mas Rohmat berujar lagi.

“Gimana Mas?” tanya kami antusias.

“Kalian bawa sleeping bag kan?”

Kami mengangguk.

“Bawa mantol?”

Kami mengangguk lagi.

“Jadi biar nggak dingin, nanti kalian pakai jas hujan dulu, baru pakai jaket,” sarannya.

“Bisa gitu, Mas?” saya langsung merasa bahagia mendapat satu tips ini. Jujur saja ada sedikit ketakutan tersendiri di hati. Saya pernah kedinginan parah saat pertama kali mendaki merapi dulu.

Saking parahnya rasanya sampai tak ada darah mengalir sampai ke otak.

Resiko hipotermi bagaimanapun bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.

“Iya.. Kalau ada plastic kecil,juga bisa dipakai di kaki, baru nanti pakai kaos kaki. Jadi nanti di basecamp, minta trash bag juga. Terus dipake di badan, baru pakai sleeping bag,” ujarnya.

Saya menyimak dengan suka cita. Ahh, saya benar-benar tak sabar mempraktekkannya. Rasanya saya benar-benar harus mengakhiri segala rasa dingin ini.

“Dengan cara seperti itu, nanti suhu tubuh nggak akan keluar. Jadi tetep hangat. Ini membantu kalau udara dingin seperti ini,” jelasnya. Saya mengangguk-angguk.

Mas Rahmat selanjutnya bercerita bahwa dirinya adalah salah satu warga yang juga sering ikut kepanitiaan DCF. Ia juga kerap membantu jika ada orang-orang yang hipotermi.

Ia juga menjelaskan panjang lebar tentang hipotermia dan bagaimana mengatasinya,
“Ciri-ciri orang hipotermi itu dia tiba-tiba kaku. Tubuhnya itu kaku mendadak. Yang paling bahaya itu kalau dia sedang tidur. Susah mendeteksinya. Jadi sebaiknya itu memang kalau tidur itu gentian.  Jadi bisa saling menjaga dan memastikan temannya tidur, dan bukan kaku karna hipotermi,” ujarnya.

“Lalu kalau hipotermia, gimana nolonginnya mas?” tanya saya selanjutnya.

“Kalau ada yang hipotermi, pertama korban dibuat sadar dulu. Dibau-bauin pakai minyak kayu putih biar sadar. Bagian-bagian lekukan badan juga diberi sesuatu yang hangat. Bisa pakai botol yang diberi air hangat, lalu diletakkan di telapak kaki, lipatan belakang dengkul, ketiak, serta belakang leher,

“Terus jangan mengoleskan balsam dan semacamnya, karna balsam itu hangatnya hanya sesaat, setelah itu justru dingin yang terasa. Nah setelah sadar itu korban diberi sesuatu yang hangat, seperti air putih hangat,” jelasnya.

“Pelukan juga bisa dilakukan untuk menghangatkan korban. Tapi ya itu, kalau cowok ya yang meluk sebaiknya cowok, cewek ya sebaiknya cewek. Biar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” tambahnya.

Saya mengangguk-angguk.

“Nanti pokoknya sampai sana, kalian minta trash bag. Setiap basecamp itu pasti sudah menyiapkan trash bag. Nanti dipake baru pake sleeping bag ya. Oh ya, saya kayaknya masih ada mantol,” ujarnya lantas berlari ke sebuah tempat tak jauh dari angkringan.

Kami hendak mencegahnya, tapi ia sudah terlanjur berlari lebih dahulu. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali membawa dua mantol plastic.

“Ini buat kalian. Nanti dipakai sebelum memakai jaket ya,” ujarnya.

“Duhh mas, nggak usah. Kita udah bawa jas hujan. Malah jadi merepotkan,” kami sungkan.

“Nggak papa pakai saja. Masih banyak kok,” ujarnya.

Kami menurut. Dan berdasarkan sarannya akhirnya kami memilih basecamp Dworowati dengan pertimbangan jarak terdekat.

Sesampainya di basecamp Dworowati, ternyata kami harus dihadapkan pada kenyataan, basecamp berupa papan kayu yang memiliki jarak-jarak kecil membentuk selah lubang diantaranya.

Saya menelan ludah, perang dingin bakal terus berlanjut.

Untungnya ada anglo aka tungku yang bisa digunakan untuk sekedar membantu menghangatkan badan.

Saat menjajal air di kamar mandinya, ingatan saya dibawa pada jaman kecil ketika sering iseng mandi dengan air es batu. Persis dinginnya. Bahkan mungkin lebih dingin.

Jari-jari tangan saya rasanya kaku, dan bibir enggan juga berhenti bergetar. Akhirnya, kami memutuskan mencoba tips dari Mas Rahmat. saya ke bagian depan penjaga basecamp. Meminta plastik putih kecil untuk dimasukkan ke kaki dan tangan baru kemudian ditutup sarung tangan dan kaos kaki.

Bagian kaki juga saya pakaikan trash bag sebelum masuk sleeping bag.

Pun, mantol pemberian mas Rohmat juga saya kenakan sebelum menggunakan  jaket dan sleeping bag. Air hangat juga saya minum. Hasilnya?

Saya tetap kedinginan.

Iya, tetap dingin namun jauh lebih hangat. Setidaknya tak separah sebelumnya. Terbukti perbandingannya ketika saya mencoba melepas plastik saat hendak ke kamar mandi di sepertiga malam.

Cara pemberian Mas Rohmat mungkin terdengar asing dan belum terbukti secara ilmiah. Namun nyatanya menggunakan trash bag dan plastik berdasar apa yang saya coba cukup efektif.

Esok paginya saya bersyukur, saya bisa melalui malam Dieng yang teramat dingin. Yeah ilmu memang bisa didapat dari setiap perjalanan. Dan saya rasa ini sebuah bukti bagaimana Dieng begitu peduli dengan wisatawan.

Tak cuma Mas Rohmat, sepanjang perjalanan kemarin kami merasakan benar bagaimana keramahan mereka terhadap wisatawan.

You Might Also Like

6 comments

  1. Itu hawa dinginnya tapi bukan salju Mbak. Kok sepertinya mirip sama salju ya hehe

    ReplyDelete
  2. Waduh Mbak kalau sama-sama dinginnya ya mending ke bascamp aja ya tidurnya

    ReplyDelete
  3. Wah kalau mau ke Dieng ini memang harus sedia baju hangat ya. Bahkan yang sangat hangat :D

    ReplyDelete
  4. Hmm harus kuat dingin nih ya Mbak, kalau ke Dieng sana. Kalau nggak udah beku kali ya :D

    ReplyDelete
  5. Iya mungkin memang benar tuh Mbak, warga sana memang sudah biasa kalau hawanya dingin gitu

    ReplyDelete
  6. Kayaknya kalo saya mau ke sana, harus latihan nahan dingin dulu deh.
    Soalnya tinggal di daerah pesisir ngebuat tubuh terbiasa ama hawa panas.

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)