Menyisir Kedung Lumbung Wonogiri

kedung lumbung

Jalan-jalan dadakan kembali terulang. Setelah perjalanan kami ke Gunung Gandul  beberapa hari sebelumnya, kali ini kami ke sebuah air terjun di Wonogiri. Warga menyebutnya Kedung Lumbung, beberapa pula ada yang menyebut air mata dewa.

Berlokasi di daerah Kedung Areng, Sendang. Kedung Lumbung berada pada posisi strategis di wilayah jalur wisata Waduk Gajah Mungkur. Sehingga jika menilik ke Kedung Lumbung, kita bisa sekalian berwisata ria ke Waduk Gajah Mungkur (WGM).

Saya dan Nana memarkir motor di sebuah warung dekat tempat masuk Kedung Lumbung. Lantas mulai menapaki jalan setapak.Tempat ini sekilas terlihat sepi. Kanan kiri kami hanyalah rungkut rerumputan. Karna memang, tempat ini tidak dibuka untuk tempat wisata. Hanya saja, kalau ada yang mau jalan-jalan kemari, dipersilahkan. So, jangan heran dengan kondisinya yang seolah tanpa perawatan.


Susur Kedung Lumbung

Meski terlihat sepi kami terus berjalan hingga tiba di ujung. Pada sebuah penghabisan jalan, yang mengharuskan kami untuk menapak bebatuan yang dialiri air.

“Kita pernah ke sini kan?” saya mencoba mengulik-ulik ingatan sekitar mungkin 4 tahun yang lalu.

“Iya. Dulu pernah. Tapi nggak sampai atas.”

Ingatan saya kembali. Sekian tahun yang lalu, kami pernah penasaran dengan penampakan air terjun yang jika dilihat dari jembatan menuju jalan ke WGM, air terjun itu nampak indah. Dan sekian tahun lalu, rasa penasaran itulah yang menggerakkan kami berdua ke tempat ini. Tapi kala itu, perjalanan tidak kami lanjutkan, lantaran kami takut kalau-kalau ada ular dan semacamnya di atas sana.

“Sayang, dulu belum ada instagram ya Na? Foto-foto yang dulu, juga sudah hilang semua kayaknya.”
Nana hanya terkikik.

“Mbak, Woy!! Sini!” diantara keheningan, sebuah suara menyeru memanggil kami. Selanjutnya, suara itu diselingi tawa-tawa bahagia dari beberapa orang.

Kami mendongak ke atas. Di balik bebatuan yang menjulang tinggi,  beberapa remaja laki-laki yang hanya menggunakan celana, terlihat. Pakaian mereka memberi isyarat bahwa di atas sana, ada tempat asyik untuk berbasah-basahan.

Senyum saya dan Nana terkembang. Dari tadi kami berdua sibuk menduga-duga dimana letak air terjun sungguhan di Kedung Lumbung. Tapi ketakutan yang sama akan adanya ular nyaris saja menghalangi lagi niat kami mencapai Kedung Lumbung. Beruntung, kali ini kami bukan menjadi manusia satu-satunya di tempat ini.

“Yakin, mau ke sana?” tanya saya. Biarpun kini kami bukan manusia satu-satunya, tapi tetap saja kami hanya dua orang perempuan. Sementara di atas sana mereka adalah segerombolan laki-laki yang tidak kami kenal.

“Ahh, nggak papa. Mereka hanya anak-anak remaja,” ujar Nana, lantas mendahului saya mulai menyusur ke sumber aliran air.

“Okelah,” saya menyunggingkan senyum. Yeah, itu yang mau saya dengar dari mulutnya. Kesediaan untuk melanjutkan perjalanan.

Suara gemericik air terdengar mengalun merdu. Suara jangkrik dari pohon-pohon di kanan kiri pun ikutan bersahutan. Kami mulai menapak jalan licin bebatuan mengikuti aliran air Kedung Lumbung. Berkali-kali kami saling mengingatkan untuk berhati-hati lantaran beberapa kali kami nyaris terpeleset.

Tak beberapa lama, kami dihadapkan pada dua buah batu yang sedikit lebih tinggi.  Di atas batu itu sebuah lengkungan air menjadi sesuatu yang harus kami pijak jika ingin melanjutkan perjalanan menuju ke atas lagi. Lengkungan batu ini airnya terus penuh akibat air dari atas yang terus mengalir.  Sebagai akibatnya, luberan air ini mengalir diantara selah kedua batu dan terus mengalir hingga ke bawah. Hingga ujungnya nanti, menyatu dengan air waduk. Di atas lengkungan air itu, jalan menanjak dan semakin sempit akibat ukuran batuan tinggi di kanan kirinya nampak sedikit menggetarkan hati.

“Dek, tadi mereka lewat mana?” tanya saya pada salah satu anggota remaja itu yang tidak ikut basah-basahan. Anak laki-laki ini masih mengenakan pakaian lengkap dan hanya duduk di atas batuan tinggi yang terlindung dari air.

Saya dan Nana kembali ragu-ragu untuk melangkah. Alasannya, kami enggan basah kuyup hari itu.

“Ya lewat sini,”. Tudingnya ke lengkungan air yang kelihatannya dalam itu. Sebuah jawaban yang sebenarnya sudah kami duga.

Saya menelan ludah. Kami sudah menuju pada jalan penentuan Kedung Lumbung. Kami terus memandang ke atas. Tapi penglihatan kami hanya batu. Kami belum bisa melihat penampakan sebenarnya dari air terjun Kedung Lumbung. Satu-satunya untuk bisa melihat Kedung Lumbung, ya harus naik lagi. Sementara itu, suara deburan air diselingi tawa remaja-remaja di atas terus menggedor rasa penasaran kami. Sungguh mereka terlihat asyik sekali.

“Lengkungan air ini dalamnya seberapa?” tanya saya berharap jawaban bahwa lengkungkan itu hanya penampakannya saja yang terlihat dalam.

“Kira-kira segini, Mbak,” jawab si remaja sambil menunjuk pinggangnya.

“Gimana, Na?” saya minta pendapat.

“Nggak mau, Da!” jawabnya.

“Aku juga sedang tak mau basah, Na!” kata saya.

Kami lantas melirik ke batuan bukit di sebelah kanan. Hanya lewat situlah satu-satunya jalan yang bisa melndungi kami dari berbasah-basah ria.

“Mbak, jangan lewat situ. Itu malah licin. Bahaya!” seru si remaja. Tapi kami tak punya pilihan lain. 

Di antara rasa yang sebenarnya terselip takut, kami mulai menapaki batuan bukit yang sebenarnya tak basah, namun beberapa sisinya berlumut. Di sini kami dituntut untuk berhati-hati dan berkonsentrasi dalam  menentukan pijakan dan pegangan. Tentu saja, rapalan doa juga turut serta. Karena bagaimanapun alam dan segala isinya adalah milikNya.

Tak butuh waktu lama ternyata. Tiba di atas, air Terjun Kedung Lumbung sudah terlihat.  Air terjun itu tidaklah sebesar dan setinggi gerojogan sewu. ataupun air terjun pada umumnya. Tapi yang menarik, adalah kedungnya. Kedung yang mungkin terbentuk dari batu yang terus tergerus air itu memiliki ukuran yang tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Mungkin diameternya sekitar 3 meter (ukuran ini perkiraan saya berdasar ukuran si remaja saat berenang).

Kedung Lumbung cukup dalam

“Mbak, turun sini,” seru si remaja pada kami.

Lagi-lagi kami menelan ludah. Setelah naik batu, untuk sampai ke Kedung Lumbung, kami ternyata harus kembali menuruni batu lagi. Lantaran jalan turun terlihat full berlumut, belum lagi susunan batu-batuan di bawah terlihat sangar dari atas. Jatuh terpeleset kemudian terantuk batu adalah resiko mengerikan untuk dibayangkan.

“Ayo mbak ke sini!” seru anak-anak remaja itu menyemangati.

 “Kami harus lewat mana?” teriak saya minta pendapat.

“Situ saja, Mbak!” si remaja menunjuk sisi kiri batu. Tapi menurut saya lewat di situ beresiko. Karna pijakannnya terlalu sempit. Lagipula resiko lebih besar lantaran jika terjatuh batu-batuan di bawah sangat siap menanti.

“Kalau lewat situ licin, Mbak!” tunjuknya pada bagian depan kami. Dia benar. Di bagian depan, lumut basah sangatlah banyak.

Selama beberapa saat kami berada di atas. Menimang-ninmang jalan yang akan dilalui. Tetapi kemudian, Nana memilih jalur sisi kiri. Pelan-pelan ia menuruni sisi kiri batuan bukit, memijak pijakan sempit, merambat dan hap, tangannya dibantu anak-anak remaja itu sampai di tepian Kedung Lumbung.

Kali ini saya tidak mengikuti langkahnya. Sadar ukuran badan yang jauh lebih besar dari Nana yang kecil, saya menyadari resiko lewat sisi kiri bukanlah jalan saya. Untuk turun, pijakan dan rambatan itu tidak sesuai dengan saya. Meskipun jika naik mungkin itu tak akan jadi masalah.

Maka selama beberapa saat saya masih tertinggal di atas. Mencoba mencari-cari celah yang bisa saya lalui. Nana terus menyuruh saya turun. Saya kemudian nekat lewat bagian depan. Mencari sisi-sisi lumut yang kira-kira aman untuk dilalui.

“Zrutt,” dengan memanfaatkan sisi licin saat sudah dekat sampai di tepian Kedung Lumbung, saya akhirnya bisa turun denga selamat. Yeah…

Air terjun Kedung Lumbung nampak hijau kebiruan. Bening. Terlihat segar sekali untuk dijamah. Remaja-remaja itu beberapa kali melakukan terjun. Mereka naik ke sisi atas bukit lantas melompat ke kedung.

“Byurrr,” suara hentakan  tubuh mereka di air kedengarannya segar sekali.

“Mbak nggak nyebur?” tanya mereka. Saya menggeleng. Jangankan menceburkan diri di Kedung Lumbung yang kedalaman sisi tepinya mencapai leher, menceburkan diri di lumbung yang sepinggang tadi saja kami enggan.

Ukuran Kedung Lumbung yang seleher, buat saya merupakan ukuran yang sudah cukup dalam. Menariknya, anak-anak remaja yang dari tadi terjun dari atas bukit ini tidak kesemuanya bisa berenang. Hemm, terlalu berani.

Do n Don’t

  • Tidak saya sarankan ke sini mengajak anak-anak. Iyalah, terlalu berbahaya.
  •  Jangan lupakan lotion anti nyamuk
  • Buang sampah pada tempatnya. Ada bak sampah besar menuju Kedung Lumbung, jadi manfaatkan. Aliran air Kedung Lumbung pada akhirnya bermuara pada Waduk Gajah Mungkur. Buang sampah di sini, sama saja mengotori Waduk.
  •  Jauhi selalu aksi Vandalisme
  •  Karena medan yang licin maka berhati-hatilah. Ada baiknya lepas sandal kalau mau naik ke atas.
  • Tidak disediakan kamar mandi di sini. Jadi kalau mau ke Ke Kedung Lumbung, sebaiknya sebagai tujuan akhir anda sebelum ke tempat-tempat lain. Tapi kalau kamu mau menumpang kamar mandi di warung-warung sekitar mungkin diperbolehkan.
  • Jangan ke sini terlalu sore apalagi sampai kemalaman. Ingat, medan licin dan sepi!

How To Get There?

Kedung Lumbung lokasinya berada sebelum Objek Wisata gajah Mungkur. Sebelum belokan ke arah Ganthole. Jadi lewatnya jalan kecil samping warung Pak Trio setelah Jembatan di daerah Kedung Areng. Setelah hotel melati jika arah dari Solo.

Jika hendak menggunakan kendaraan umum, bisa menggunakan angkutan umum Wonogiri yang menuju ke arah Waduk Gajah Mungkur atau bisa pula dengan naik bus jurusan praci. Baru kemudian turun di warung Pak Trio dekat jembatan setelah hotel Melati.

Untuk ke Kedung Lumbung saat ini belum ada restribusi. Hanya dikenai parkir Rp. 2.000. Ke Kedung Lumbung bisa sekalian pula mampir ke Bukit Ganthole yang pintu masuknya hanya beberapa langkah dari Kedung Lumbung.

kedung lumbung
bersiap menjelajah

kondisi medan

dulu pas sedang tidak rungkut pepohonan, air terjun bisa terlihat
pemandangan waduk dari sisi kanan jembatan
motor kami parkir di sini

You Might Also Like

14 comments

  1. Wiih susah juga medannya ya mbak.. tapi kalo kmudian nemu air terjun dan kolam sebagus itu mah, aku juga biasanya bakal jabanin ;) . Kolam mandinya bnr2 pgn bikin nyemplung :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya bukan kolam mandi mbak^^. Mungkin lebih tepat disebut tempat jeburan

      Delete
  2. Ternyata di Wonogiri ngga cuma ada Gajah Mungkur aja..hehe.. Saya 2x ke Wonogiri. Tahun '97 pas kelas 5, dan 2010. Bedaaaa banget. Dulu masih banyak bukit kapur, skrg udah hijau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung mbak, Wonogiri yang sebelah mana :-)? Lagipula, penampakan bukit kapur biasanya hanya terlihat di lokasi-lokasi bekas tambang yang 'katanya' beberapa diantaranya ilegal

      Delete
  3. dulu ngajak rombongan teman2 kampus....mancing di bawah jembatan kedung areng...sampai nginep nggelar kloso...asikkk :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahhh seru tuh kayaknya. jadi kepikiran buat niru aksimu mas :-D

      Delete
  4. Dirgahayu wonogiri juga yah,,!!

    ReplyDelete
  5. Seru juga ya mba. Kampung ibu saya di Desa Kedung Lumbu, Wuryantoro. Kalau dari sana berapa jauh ya mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah kejauhan mas. ini jauh sebelum kampung sampean. kedung lumbung sebelum OW Waduk Gajah Mungkur :-)

      Delete
  6. wuih...keren ini, tempat2 favorid saya yang gini ini bisa nyebur nyebur main main salto2 di air...

    ReplyDelete
    Replies
    1. berati masnya sangat saya rekomendasikan banget tuh jeburan kemari :D

      Delete
  7. wuh udah pantes jadi duta wisata wonogiri nih :D

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)