Jepara, Sebuah Perjalanan 2 km

Sukses dengan petualanganku bersama sepupuku beberapa waktu lalu ke Karimun Jawa, saya rasanya jadi begitu penasaran mendengar nama Pulau Panjang. Sama- sama berlokasi di seberang Jepara, dalam angan saya ini pulau pasti keindahannya tak jauh berbeda dengan Karimun.
Maka ketika liburan kemarin, saya memutuskan untuk menjadikan Pulau Panjang sebagai "The Next Destination"



Saya tidak begitu peduli dengan komentar teman saya yang sempat mengatakan bahwa pulau panjang itu tak begitu bagus. Menurut saya bagus dan tidaknya suatu tempat tergantung dari sudut mana kita memandang. Lagipula, bagi saya menuntaskan rasa penasaran dengan melihat dan merasakan sendiri sensasi tempat itu, memiliki nilai kepuasan yang jauh lebih besar.


"Heh, liburan besuk kamu mau kemana?" Teman saya mendadak mengirimi saya message BBM seminggu menjelang keberangkatan saya ke pulau panjang.
"Hahaha, tau aja lo gue mau pergi," saya hanya terkekeh. Karna pada dasarnya saya hanya memberitahukan rencana keberangkatan pada beberapa orang saja. Dan Silvi, kawan lama saya ini nyaris 1 tahun tak bertemu, lama pula tak mengontak.

"Tau lah,dari bau lo. gue udah tau. Pokoknya aku ikut kemanapun kamu pergi," balasnya.
Saya terkekeh lagi.
Jelas saya iyakan saja, karna kebetulan kawan kampus saya gagal ikut.
"Aku mau ke Pulau Panjang. Berangkat hari sabtu pulang hari minggu. Siapin budget 150.000 minimal," balas saya.
Tak beberapa lama ia langsung mengatakan oke.
Saya terkekeh malam itu membaca messagenya. Gaya-gayanya sms saya meyakinkan sekali. Seolah itu sudah fix. Padahal, itenary yang saya buat belum sepenuhnya fix. Tapi sudahlah, yang jelas anggaran saya kali ini 150.000

Hari Sabtu kemarin, pukul 00.00 akhirnya kami berangkat dari Solo. Pengalaman ke Karimun kemarin menjadikan saya lebih berani naik bus malam hari. Tentu saja, saya sudah tau medan. Seperti pengalaman ke karimun dulu, sampai terminal Terboyo kami langsung menuju Rumah Sakit Sultan Agung. Tempat tujuan awal tentu saja, mushola. Meluruskan badan sejenak lantas membersihkan diri dan MCK dilanjut solat malam meminta kelancaran. Hemm,,, lelah perjalanan di bus berkurang. Dan seperti pengalaman yang sudah, kita pun istirahat sejenak di lobi rumah sakit. Numpang ngecharge, buka bekal lantas tidur-tiduran dan tak lupa foto.




Jam 3.30 kita balik terminal terboyo, dan bus pertama pun kita tertinggal. Kesalahan yang sama seperti pengalaman beberapa waktu lalu. Tapi sudahlah, toh kita nggak mau mengejar kapal siginjai kok. Jadi santai saja.

Bus Jepara, kali ini kurasakan lebih sumpek dan lebih gelap dari waktu ke Karimun dulu. Huhu, mana kala itu jalanan Jepara sedang dalam perbaikan. Debu dimana-mana. Kantuk yang begitu berat membuatku tak peduli semua itu. Tetap saja, aku tertidur.

Hanya beberapa saat aku tertidur. Sudah harus terbangun lagi karna bus yang bergerak tersaduk-saduk bebatuan. Sampai akhirnya, legaaaa. Kita tiba juga di jalan menuju pelabuhan kartini. Kita jalan kaki, hanya jalan kaki.

Kita musti hemat, bro. Hahaha.

Jalan yang jebualnnya lumayan jauh, sukses bikin kita kelaparan. Ya sudah, akhirnya kita membuka bekal nasi plus lauk telur. Sebuah menu yang sedikit salah.

Biarpun kata saya ini telur masih enak, tapi tidak demikian buat Nina dan Silvi.

Maka aku tetap memakannya, meski mereka enggak doyan….
“Nyam… nyam… nyam….”


Nina dan Silvi lebih memilih membuat Pop Mie. Kami membawa Pop Mie sebagai bekal pilihan. Untungnya, ada seorang ibu-ibu penjual warung yang bersedia memberi kami air hangat  untuk menyeduh pop mie kami secara gratis. Asyikkk...

Biarpun hanya air hangat, tetap saja yang namanya gratisan itu bikin terharu. Huhuhu,,, Semoga rejekinya lancar buk…

Yeah,,, hal-hal sederhana seperti inilah yang akan membekas Sob! Berhemat itu, kadang bukan berarti kita tidak mampu, tetapi berhemat adalah pendidikan mental untuk kita belajar agar tidak manja dengan kenyamanan yang sejatinya bisa kita peroleh.

Sampai pelabuhan Kartini, aku melihat Kapal Siginjai dan Bahari Expres terparkir. Kami dapat info, rupanya kedua kapal itu gagal berangkat sejak hari kamis. Berarti sudah sejak 2 hari terparkir di sana.Saya merinding melihat KMP Singinjai berdiri gagah. Rasanya saya ingin melompat ke sana dan kembali berlayar ke Karimun. Merasakan kembali serunya petualangan di sana.

Hari masih pagi saat memasuki area wisata Pantai Kartini. Sehingga kami tak perlu membayar tiket masuk. Yeah lagi-lagi, gratisan itu selalu menyenangkan.

Kupandang kapal Sapta Pesona, ada banyak sekali. Kontras sekali dengan jumlah kapal yang membawa penumpang ke Karimun. Ini aksesnya terlalu mudah. Dan terkadang sesuatu yang “mudah” itu bakalan kurang menyenangkan, nggak special. Terlintas lagi teguran kawanku, “Pulau Panjang nggak asyik! Jelek!” Tapi cepat-cepat kuhalau pikiran itu. Bagus kok, tenang saja! Ciptaan Allah selalu indah!

Sebuah tanda tanya besar menghinggapiku, Adakah cerita special nanti di sana? Kupandang kedua kawanku, bukankah selalu ada banyak hal special ketika pergi dengan orang-orang special?#Sok so sweet

“Yeah, tunggu saja, Da! Kedua sahabatmu pasti akan memberi cerita menarik hari ini!” ujar pikiranku menyemangati.
Yeah,,, narsis dulu

Perahu Sapta Pesona melaju. Saya memilih duduk ke depan, di bawah bendera perahu. Laut terlihat begitu dekat dari situ. Kuhirup dalam-dalam udara pagi. Mencoba menikmati aroma angin dari atas perahu. Menyejukkan. Laut begitu tenang, mungkin itulah ciri khas lautan Jepara, tenang dengan sedikit ombak. Gerakan air hanya timbul dari sekitaran perahu kami. Buih-buih air yang dihasilkan mesin kapal berkerumun di bawah, meninggalkan jejak yang cepat hilang di tenangnya lautan.

Welcome to Pulau Panjang


Tak perlu berlama-lama. Hanya 15 menit kami sudah sampai di Pulau panjang. Penumpang yang lain langsung bergegas masuk ke area pulau. Tapi di ujung jembatan kayu 3 orang pemancing membuatku penasaran.


 “Gagal ke karimun Mbak! Kita ngecamp di sini,” cerita salah satu dari mereka menjawab rasa penasaranku.

Seperti yang pernah kubaca, Pulau panjang seringkali dijadikan pelarian orang-orang yang gagal berangkat ke Karimun.
“Ini kita lagi mancing, Mbak! Buat menyambung hidup! Nggak mancing kita nggak makan!” ujarnya. Aku terkekeh. Kasihan sekali.

Saat kupandang umpan yang mereka gunakan untuk memncing aku terheran. Mereka memancing dengan menggunakan udang. Timbul sebuah pertanyaan dalam benakku, kalau sama-sama untuk makan kenapa mereka harus repot-repot memancing? Kan udang itu bisa saja digoreng buat lauk?

“Kamu kira umpannya apa, Mbak? Pelet?” Giliran mereka terkekeh. Begitupun Nina dan Silvi. Huhu, tapi memang itu yang ada di pikiranku.

“Pelet itu untuk umpan ikan air tawar. Kalau di laut, ya kayak gini ini, Mbak!” jelasnya. Aku manggut-manggut. Baru tau saya. Hahaha.

Lantas kami meninggalkan para pemancing itu. Pemancing inspiratif. Kapan-kapan, saya mau ke laut bawa pancing, ah :-D
Lagaknya ikut mancing


Tulisan di gapura, “Selamat Datang di Pulau Panjang” menyambut kami. Sebuah kewajiban tak tertulis yang kami laksanakan tentu saja, foto. Baru setelah itu kami memasuki area pulau. Seperti yang sudah terprediksi sebelumnya, di pantai itu bakalan ada beberapa penjual. Yang dengan sedikit egois, saya katakan, “ itu mengurangi nilai artistic pulau.Kalau pulaunya sepi kan lebih asik!”
Nina n Silvi

Kita bertiga

Me


Kami berjalan masuk, tapi sebelumnya kami mapir dulu di tepian pantai pasir putihnya. Di situ dijadikan alternative beberapa orang untuk mendirikan tenda, termasuk para pemancing tadi.

Seperti biasa, sebuah cirri khas tempat yang sering dijadikan tempat camping adalah, selalu ada jejak sampah yang tertinggal. #prihatin.





Kami bertemu dengan tiga orang pengunjung yang mengaku rider dari Bantul. Anggota sipitung katanya. 3 orang anggota geng motor itu bercerita kalau mereka bersepeda dari Jogja. Jogja, tetangga sebelah Solo. Mendadak merasa menemukan orang setanah air.


Karena hari masih pagi, dan merasa sedikit horror kalau harus mengelilingi pulau panjang hanya bertiga, kamipun memutuskan untuk keliling pulau panjang dengan tiga orang itu.

Pulau panjang adalah habitatnya beberapa jenis burung. Berkeliling sepanjang pulau ini kita akan menemui hutan dengan bermacam jenis pepohonan. Beberapa kali kami juga sempat melihat burung-burung yang sangat jarang kami temui bersliweran di atas langit, adapula yang berdiri diantara pohon-pohon. Sayangnya kami takut untuk menyibak rimbunnya pohon dan berjalan diantara lebatnya hutan. Selain takut kalau-kalau ada binatang buas, tentu saja itu bisa membuat rusaknya habitat. Jadi kami lebih memilih jalan yang semestinya.












Setelah berjalann cukup jauh, kami juga menyempatkan diri mampir ke bibir pulau Nah, kali ini bukan pasir putih yang kami temui. Tapi pepohonan rindang dengan akar-akar yang nampak menjulang ke atas tanah lalu melengkung lagi masuk ke dalam tanah. Dan diantara lengkungan itu terdapat genangan-genangan air. Akar-akar pohon eksotis, sebuah pemandangan yang lain. Nampak beberapa ikan kecil bersliweran.  Yang menarik, setidaknya, di sini tidak ada sampah.




Namun sampah kembali kami temui saat kami berada di belakang satu-satunya rumah yang ada di pulau panjang. Banyak sekali sampah yang tergenang, dan ini paling banyak. Mungkin ini sampah pengunjung yang terkumpul. Parah sekali.




Sepanjang jalan kami bertukar cerita dengan orang-orang geng motor ini. Mereka bercerita bahwa mereka sudah berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia dengan naik motor bebek. Bebek yang kalau di tempatku disebut “pit otok”. Motor bebek model paling jadul. Kelihatannya asyik sekali. Mereka berhasil ke Bali, Lombok juga dengan motor. Mendadak jadi ingat beberapa kawan kampus yang juga beberapa kali melakukan touring dengan motornya. Laki-laki, kebanyakan dari mereka selalu punya komunitas yang menurut pandanganku sebagai seorang perempuan, itu mengasyikkan. Tapi sayangnya, seringnya mereka terlupa dengan keluarganya. Terlalu asyik dengan komunitasnya. Ini sih kesimpulanku dari melihat fenomena yang beberapa kali kutemui.

Sambil bercerita-cerita, kami memerlukan 1,5 jam perjalanan mengelilingi pulau panjang. Nah, kebetulan 3 orang yang baru saja kami temui itu menwarkan diri untuk mengantar kami keliling Jepara. Sebuah tawaran menarik yang akhirnya kami setujui. Pertimbangannya, mereka geng motor berlabel. Orang Jogja pula. Yakin kami, mereka nggak akan macam-macam. Selain itu pertimbangan utama adalah, kami bakalan bisa keliling Jepara gratis. Ini point yang paling utama, GRATIS!!! Nggak hanya dapat Pantai Kartini-Pulau Panjang-Pantai bandengan.sesuai itenaryku. Tapi kami bisa dapat lebih banyak objek lagi.# Hasil didikan mata kuliah KWU muncul.

Rencana awal kami, dari pulau panjang kami akan langsung menuju pantai bandengan dengan kapal pesona bahari. Namun karena tertarik dengan tawaran orang-orang geng motor itu, kami-pun pindah haluan. Kami akhirnya mengikuti mereka balik lagi ke pantai kartini. Karena sepeda orang-orang itu berada di sana.

Sampai pantai kartini, kami harus menerima kenyataan. Tiga orang itu hanyalah orang-orang PHP, pemberi harapan palsu. Mereka beralasan macam-macam, yang pada akhirnya kami tidak jadi diantar ke mana-mana. Yeahhhh,,, woke lah.

Tapi kita kan perempuan tangguh, yang berusaha focus pada tujuan. Haha. Nggaya sok, padahal kecewa berat. Akhirnya kami berpamitan pada mereka, untuk melanjutkan perjalanan ke barat. Menuju  pantai bandengan.

Petualangan sesungguhnya dimulai.

Keluar dari pantai kartini, kami menanyakan arah pada seorang mas-mas yang mengatakan bahwa pantai bandengan jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 4-5 km.

Kami putuskan utuk jalan kaki. Karena tak ada angkot untuk menuju ke sana. Kalaupun ada, bakalan lama. Selain itu, kami sedikit horror kalau mesti naik ojek, taksipun pasti juga bakalan mahal. Maka jadilah, kami berjalan mengikuti petunjuk arah dari mas-mas yang baru saja kami tanyai.

Kurang lebih 10 menit berjalan, kami bertemu dengan dua orang remaja. Karena kami takut salah berbelok, akhirnya kami menanyainya.

“Mbak, kalau mau ke pantai bandengan masih jauh nggak ya?” tanya kami.

“Waduh, jauh banget, Mbak!” jawabnya.
“Berapa km, Mbak?”
“Nggak tau berapa. Tapi kalau mau jalan kaki, Mbaknya bisa sampai sore,” jawabnya lagi.
Kompak kita bertiga shock. Bukannya jarak 4-5 km itu nggak jauh ya? Menurut Nina, jarak itu setara antara jarak kosku di Solo dengan kampusku. Itu berarti memang jauh, tapi tidak terlalu jauh. Paling sekitar setengah jam lah kalau jalan kaki.

“Bukannya kalau ke kampus aku terbiasa membawa sepeda onthel? Itu berarti jarak segitu bukan halangan. So, kalau adiknya bilang bisa sampai sore, padahal jam masih menunjukkan sekitar pukul 10.30 jelas aku tak percaya. Ahhh, paling adiknya Cuma alay!” batinku mencoba menganalisa.

Setelah berpamitan pada si Adik remaja itu, kami bertiga berdiskusi. Tampang Nina dan Silvi sudah tak berselera melanjutkan perjalanan. Tapi gua mencoba menyemangati dengan meyakinkan mereka bahwa mungkin adiknya itu adik yang alay.

“Okelah, mari kita cari second opinion! Kita cari pendapat lagi, kira-kira nanti siapa yang bener. Masnya, atau adiknya!” usulku kemudian. Mereka setuju.
Tak jauh dari situ, kami akhirnya bertemu dengan seorang Mbak-mbak yang nampaknya mau pergi.

“Owww, kalau ke pantai bandengan nggak terlalu jauh Mbak! Paling sekitar 4 km. Kalau misalnya naik motor, paling sekitar 5 menitan sampai lah!” jawabnya membuatku lega rasanya.

Kami berdiskusi lagi. Keterangan Mbaknya barusan membuat lega.
“Itu berarti, Masnya yang pertama tadi benar. Dan adiknya yang tadi salah. Dia hanya alay,” ujarku.

“Okelah,” Silvi dan Nina pun akhirnya bersedia berjalan kembali.

Kami berjalan lurus mengikuti petunjuk dan arahan orang-orang tadi. Sambil bercerita kesana-kemari, kami melewati jalan beraspal dimana mentari mulai terasa panasnya. Dapat kira-kira 3 km kami berjalan, tibalah kami di perempatan yang tak kami ketahui harus memilih jalan yang mana. Kami bertanya lagi. Kali ini pada seorang bapak-bapak penjual gorengan.

“Ow kalau mau ke pantai bandengan lewat yang lurus Mbak. Kira-kira nanti jaraknya 4km lagi dari sini.
Jelas kami shock. Rasa-rasanya kami sudah berjalan begitu jauh, dan kini harus bertambah lagi 4km? harusnya tinggal 1-2 km lagi kan? Lah ini, kami dibuat shock dengan pernyataan 4 km.

“Kita nggak ada pilihan lain guys selain lanjut! Kita udah di tengah-tengah kalau ibarat berenang,” ujarku sok menyemangati.

Dan akhirnya kami berjalan lagi. Dibawah teriknya matahari, kami melewati sebuah jalan menanjak. Namun akhirnya ada oase yang cukup menyenangkan mata untuk dipandang. Sesudah melewati jalan menanjak itu, kami bertemu sebuah jembatan.















Dimana di bawah jembatan itu banyak sekali kapal-kapal berjajar.


Venesia van java

“Ini Venesia van Java guys! Lihatlah!”seruku. yaa, walau jauh banget dari indahnya Vevesia
Sejenak kami beristirahat di sana. Menikmati oase itu. Katanya doa musafir itu dikabulkan. Bukankah kita juga musafir? Anggap saja iyalah. Kalaupun bukan, siapapun dia Allah kan maha mendengar. Hihihi. Aku tak mau melewatkannya, kupanjatkan sebuah doa,

“Semoga, suatu hari bisa benar-benar ke Venesia, terus naik kapalnya. Amin….”

Saat kembali berjalan, kami bertemu sebuah warung makan kecil yang menjual pecel, dan lotis. Pecel khas Jepara. pecel yang menurut kami adalah lotek. Makna pecel memang tak selalu sama di berbagai daerah. Penting rasanya enak lah. Mungkin kombinasi lapar dan kelelahan yang membuat kami cepat habis menyantap.

“Pantai Bandengan masih jauh nggak, Bu?” Tanya kami setelah selesai makan.

“Nggak, Mbak! 2 km dari sini. Deket Cuma situ aja, gelanggang Kartini ini nanti lurus aja jalannya,” ujarnya.

Berpikir sejenak. Dari tempat bapak penjual gorengan, warung pecel ini kurang lebih jaraknya 2 km. Kalau si Ibu penjual pecel bilang Pantai Bandengan tinggal 2 km, berati ucapan bapak penjual gorengan bener.

“Kemarin juga banyak yang jalan ke Pantai Bandengan, Mbak. Lewat sini juga, mampir sini juga,” tambahnya lagi.

Lega. Analisisku, kalau memang kemarin ada yang jalan kaki dari sini, berarti mungkin memang jarak Pantai Bandengan tak jauh lagi.

“Deket guys! Kita lanjutkan lagi, ya!” sorakku semangat kembali.
“Pastinya!” Setelah makan, Silvi dan Nina seperti di charger.
“Nanti kalau misal ada mobil bak terbuka nebeng aja, Mbak!” pesannya si Ibu penjual sebelum kami bergegas pergi.
Aku mnegernyit. Dalam hati aku bertanya-tanya, untuk apa nebeng kalau Cuma 2 km? Tapi sudahlah, kami tetap berjalan lurus mengikuti petunjuk si Ibu.




 Jepara menjelang pukul 12.00 Panas luar biasa. Hari itu, masih memasuki musim kering. Jalan di dekat gelanggang kartini adalah lapangan terbuka dengan rerumputan yang mengering di kanan kirinya. Kami rasanya melewati sabana kering.



“Kalau kaya gini, makanan yang barusan kita makan habis sudah,”
“2km lagi ya? Haduh, aku jadi ragu. Kayaknya, dari tempat si ibu tadi kita udah menmpuh 2km deh! Nggak ada tanda-tanda pantai!”

“Dut, Kok aku merasa di negri entah berantah gini, ya?” komentar Nina.
 “Kayak di gurun,” seloroh Silvi.
“Wkwkwk, aku Cuma ngrasa konyol banget”

Tampang Silvi dan Nina udah pucet lagi. Aku merasa bersalah.
“Dut, kayaknya kita mesti nyari tebengan deh!” Nina berkomentar.
“Iya, ini udah jauh. Pohon-pohon kelapa tanda kalau disini ada pantai juga nggak terlihat!”

Aku berpikir sesaat memperhatikan sekeliling. Hanya rumput kering yang melambai-lambai. Wah, mungkin emang benar. Harus nyari tebengan. Kalau nekat, dan ternyata masih jauh, bisa-bisa dua temanku ini pingsan.

Beberapa mobil lalu lalang. Kebanyakan mobil pribadi. Aku memandang nanar. Masa iya sih, gue mesti melambai-lambai nyari tumpangan. Kok kayaknya iyuh banget. Malu euy! Belum lagi kalau kita nanti diculik orang gimana?

Delete!

Dalam sekejap pikiran itu aku delete. Dan jadilah, tanganku menjuntai-juntai pada beberapa mobil. Satu mobil dua mobil, lewat tanpa peduli. Sampai akhirnya sebuah mobil bak terbuka lewat.

Iya, hanya lewat.

Putus asa. Udah gue korbanin harga diri gue. Hiks! Masih aja dicuekin.

Kitapun lanjut jalan lagi. Dapat beberapa langkah, kutengok ke belakang. Kantung mata mereka menghitam kelelahan. Udah pucet macam vampire nggak dapet darah.

Dan aku sendiri, sudah begitu lelah.rasanya nggak bisa ngebayangin harus menempuh entah berapa km.  Aku berhenti lagi.
Kali ini, dengan penuh keyakinan, kulambaikan tangan. Pasang muka triplek. Yang penting, gue nggak capek!

Tet…terettetet….

Akhirnya, sebuah mobil bak terbuka dengan berpenghunikan bapak dan dua orang anaknya datang bagai ultraman menyelamatkan bumi. Dengan malu yang udah terhapus, kami beranikan diri meminta kebaikan bapaknya buat nebeng ke pantai bandengan. Bapaknya terkekeh melihat kami. Mungkin tampang kami yang udah kucel plus kelelalahn lucu baginya. Tapi kami nggak peduli.yang penting, kami tetep boleh nebeng.


Untuk pertama kalinya dalam kehidupan kita, nebeng mobil bak terbuka. Hahaha, harusnya aku prihatin. Tapi nggak tahu kenapa, aku seneng banget. Iyalah, akhirnya dapat tebengan. Hihihi. Yang paling bikin aku seneng itu, karena ini pengalaman pertama. Sebuah keberhasilan menyetop mobil. Yey…

Ingatanku langsung terbang ke sebuah blog yang pernah kubaca tentang petualangan seseorang ke Lombok. Ia jadi backpacker, lantas nebeng mobil box pedagang kol. Hahaha, kini gue tau rasanya nebeng . ya, biarpun nggak seekstrim sampai Lombok sih.

Habis jalan cor, kami melewati jalan beraspal, pemandanganpun sudah bukan sabana tanah lapang lagi. Kali ini berganti rumah yang masih jarang dan pepohonan hijau. Panas sudah tak begitu terasa. Kami tak bisa membayangkan jadi apa kami tadi kalau nekat jalan kaki. Ternyata jalan yang kami lalui seharusnya masih begitu jauh, naik turun pula. Mendadak jadi begitu sebal dengan si Ibu tadi. 2 km apa, yang pasti dari tempat ibunya tadi 4km sudah terlampaui. Pengen nangis darah, rasanya dari tadi bertanya jarak tak ada jawaban yang bener.

“Sampai sini, ya Mbak! Bandengan arah ke kiri. Tujuan saya ke kanan soalnya,” ujar pemilik mobil saat kami sampai pertigaan.

Kami harus rela kembali turun. Musti jalan lagi ternyata.
“Jalan aja nggak papa, Mbak. Palingan cuma 2km kok!” ujar si bapak tak sedikitpun bikin lega. Hemh, paling tidak masih bersyukurlah kami sudah sampai di pertigaan arah Pantai Bandengan.

2 km, saya sudah tak percaya dengan perkiraan jarak orang-orang Jepara. Biarpun begitu, tetap saja saya masih begitu ingin memastikan lagi dan lagi. Berharap ada jawaban yang melegakan hati.

Maka bertanyalah kami ke seorang bapak-bapak yang berada tak jauh dari kami.
“Masih 2 km lagi, Mbak.” komentar  yang sama.
 Tak ada pilihan lain selain percaya.
Maka…
“Teplok… teplok… teplok…”
Kami jalan lagi.
Lagi….
Lagi…
Lagi….
Dan lagi….

Rasanya sudah 2 km kita berjalan. Owh, apakah kita tertipu LAGI???

“Ini masih jauh, ya?”

Aku terganggu dengan pertanyaan itu. Nih hati udah beneran nggak tega ngeliat tampang kucel Nina dan Silvi.

“Nggak tahu. Kita Tanya orang lagi aja ya?” aku meminta pendapat.

Nggak ada jawaban. Mungkin mereka sudah bosan bertanya.

“Pantai bandengan masih jauh buk?” tanpa menunggu persetujuan mereka aku bertanya pada seorang ibu-ibu penjual makanan tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Nggak, Mbak! Paling cuman 5 menit!”  ujarnya dengan nada bersemangat yang begitu meyakinkan.

Nadanya yang bersemangat membuatku sedikit percaya. Akupun sedikit kembali ikut bersemangat. Silvi dan Nina, nampaknya biasa saja. Mereka sudah kehilangan kepercayaan.

“Inget guys, kita udah jalan jauh banget! Jangan sampai sia-sia!” aku sok menyemangati.

Kitapun jalan lagi. Jalan yang kami lalui kembali naik turun. Sehingga kami tak bisa memperkirakan lewat pandangan setelah jalan menanjak ada apa dan kira-kira masih jauhkah perjalanan. Kami cuma bisa berharap secepatnya kami melihat paling tidak pohon kelapa.

Jalan 1 km dari tempat ibu barusan, kami bertemu manusia. Seorang mas-mas yang asik bersantai dipinggir jalan. Aku bertanya lagi.

“Pantai bandengan masih jauh, Mas?”

“Walah, Mbak! Sebenernya udah nggak jauh. Tapi kalau mbaknya jalan kaki ya capek, Mbak!” ujar masnya bikin meleleh semangatku.

“Seberapa jauh?”

“2km lagi palingan, Mbak,”

Glekkkkk

Komentar yang sangat saya benci. 2km mendadak jadi angka yang menyebalkan. Dari tempat si ibu terakhir bilangnya Cuma 5 menit. Hla ini udah dapet 1km an, katanya masih 2 km lagi. Apa-apaan???

Kami melanjutkan perjalanan karena merasa sudah tak ada pilihan lain. Tak beberapa lama, kami bertemu lagi dengan manusia. Dan kami tak bosannya bertanya mencari sedikit kepastian.

“Lumayan jauh, Mbak! Naik angkot aja!” komentar seorang bapak-bapak yang sedang sibuk mencangkul halaman depan sebuah rumah.

Rasanya makin lemas dengan pertanyaan itu. Angkot padahal katanya lama. Kami bertiga saling pandang. Dan kami benar-benar tak tahu, jarak di depan masih jauh lagi atau nggak. Saat itulah, tiba-tiba sebuah angkot warna orange datang menuruni jalan yang baru saja kami lalui. Angkot itu bergerak menuju arah kami.

Nina bersorak kegirangan. “Wuaaa, kenapa itu angkot nggak dari tadi sih?”

Secepatnya kulambaikan tangan berusaha menyetop. Mata kami berbinar semua. Tangankupun melambai penuh semangat.

Tapi, sesuatu terjadi.

……..

Menjelang beberapa cm angkot itu lewat di depan kami, harapan kami pupus. Angkot itu berbelok. Bayangin aja, tinggal beberapa cm. seolah-olah memang ada kekuatan tak terlihat yang sengaja membelokkan. Kami kompak terbengong. Bapak yang membawa cangkul ikut bengong. Tapi ia segera sadar dan memanggil supir angkot menanyainya.

Ternyata, angkot itu mau balik arah, tidak jadi ke arah Pantai Bandengan. Entah alasannya apa.

Kami menelan ludah. Kami kembali bersinar beberapa detik kemudian sebuah bus mini datang menuju arah kami. Aku melambai tangan lagi. Tapi sama saja, kami kecewa. Bus itu berlalu tanpa peduli.

Hiks… rasanya sebel gimana gitu. Tapi ada juga rasa ingin ketawa. Kok, kayaknya dari tadi perjalanan kita nggak ada yang bener.

Akhirnya, jalan lagi…

Beberapa kali aku juga mencoba kembali menyetop kendaraan pribadi, tapi tak ada satupun yang bersedia berhenti. Berharap ada lagi mobil bak terbuka tapi tak kunjung adanya.

Kurang lebih 2 km kemudian….

Kami berjalan melintasi sebuah mushola yang cukup ramai. Ada keramain. Dalam hati aku menduga mungkin pantai benar-benar dekat kini. Dugaanku, pantai ada setelah belokan dekat masjid.

Maka aku bertanya pada Mbak-mbak yang nampaknya baru selesai sholat.

“Dari belokan itu, Mbaknya lurusssss aja. Nanti bakalan sampai kok!”

Jawaban yang tidak begitu menyenangkan. Jawaban “lurusssss” harus dihias banyak s, itu berarti mungkin masih jauh lagi. Setelah melewai belokan yang aku duga tadi sebagai jalan dekat menuju pantai, aku kembali menelan ludah. Kupandang jalan yang katanya tinggal “lurusss” aja tadi. Jalan ini sama seperti jalan yang sudah kami lalui.menanjak, dan itu berarti kami tak bisa melihat medan kalau kami tak melewati tanjakan itu.

Maka kali ini, kami memilih bertanya lagi pada bapak-bapak tua.
“Owww, nggak jauh, Mbak! Tinggal 2 km lagi,” katanya.

Sontak kami tak percaya. 2km itu sudah benar-benar jadi angka keramat yang seolah seperti penyebutan nama “Lord Voldermont” di film Harry Potter.

Tapi saat itu juga, aku benar-benar baru teringat tentang aplikasi google Map. Benar-benar ajaib. Bisa-bisanya aku lupa aplikasi hebat itu! Padahal aplikasi itu lumayan sering aku pakai. Sama sekali tak habis pikir, kenapa sejak awal kami tak ingat sama sekali???

Langsung, kami mengecek ke sana. Dan…
Benar.
Kali ini ada kebenaran terucap.
Jarak titik kami berada menuju Pantai Bandengan adalah 2km. Wowwww, sama persis. Inilah 2km kebenaran.

Memang benar 2km. tapi….

Nyaris jarak terakhir, rasanya kami sudah benar-benar kehilangakn tenaga. Maka seketika, kulambaikan tanganku lagi pada mobil-mobil yang lewat. Semua mobil aku lambai, apapun jenisnya. Tapi tetap saja tak ada yang berhenti. Mendadak aku jadi teringat film kiamat sudah dekat, saat si Kipli membaca sebuah Koran yang berjudul “Berkeliling Dunia Modal Jempol”. Wah, langsung kuikuti. Kuacungkan jempolku.

Satu- dua –tiga mobil tetap tak berhenti. Tapi paling tidak mobil-mobil itu menunjukkan perhatian yang berbeda. Mereka terlihat melirik ke arah kami. Hingga akhirnya….
…………………..

Kembali, sebuah mobil bak terbuka lewat. Dan kamipun dapat tumpangan lagi. Yihiiiii. Senang sekali rasanya.

Finally….

Kami tiba di Pantai Bandengan.

Tapi, kami sudah terlau capek untuk main di sana. Lagipula, kami kecewa. Pantai Bandengan itu crowded habis. Huhuhu… kamipun lebih memilih tidur di pendopo pantai bandengan. Yeah….


Dari berbagai sudut pantai Bandengan terlihat ramai



Kami benar-benar tak habis pikir. Rasa-rasanya semua kejadian di luar perkiraan semua. Mulai dari ketemu Mas-Mas geng motor, di PHP in, lupa cek GPS sampai kejadian jalan kurang lebih 19an km.
Wow….

Kami terkekeh-kekeh mengingatnya.

Ya, mungkin inilah cara Tuhan membuat perjalanan kami menarik dan tak terlupakan. Dan mungkin inilah caraku membuat banyak teman-temanku terhibur. Terbukti, mereka terkekeh-kekeh saat menceritakan kekonyolan kami hari itu. Wkwkwkwk…

Terkadang tawa teman  akan kesialan kita itu mampu membuat kita melihat nasib buruk menjadi sisi lucu, yang menyadarkan kita bahwa hidup kita itu sebenarnya menarik, berwarna, unik dan pastinya asyik, guys!----Fubuki Aida----
         
Hahaha…
        
 Pelajaran lain yang gue ambil juga, bahwa kita itu harus fokus pada tujuan! Jangan mudah tergiur buat melenceng. Coba kalau tadi kita tak tergiur ajakan masnya, jalan kita pasti lebih cepat. Tapi toh, ketika pada akhirnya kita salah memilih jalan, selama kita tetap ingat akan tujuan kita, dan benar-benar ingin mencapainya, percaya deh, Allah itu akan membenarkan jalan kita! Coba kalau kita tadi menyerah dan memutuskan pulang setelah sadar di PHP, ya kita nggak bakal sampai di Pantai Bandengan. Tapi ketika kita tetap berusaha mencari jalan menuju Pantai Bandengan, ya pada akhirnya sampai! Meskipun jalan yang kita lalui untuk mencapai tujuan tak mudah, berliku, dan penuh ketidakpastian, asal kita pantang menyerah, dan mengusahakan segala cara yang mendukung pada akhirnya kita akan sampai. Sebuah peringatan buat diri gue sendiri, jangan pernah membiarkan sebuah perjuangan menjadi sia-sia.

Pengalaman gue menyetop mobil, itu gue ambil sisi filosofisnya yaitu kita harus bisa melampaui titik limit. Titik limit gue kala itu adalah rasa malu. Sebuah garis ketika melampaui titik limitnya ia akan bebas. Naik level menjadi lebih tinggi. Pelajaran yang gue tangkep adalah, jangan membatasi diri, dengan belenggu pikiran yang nggak perlu. Pada akhirnya, rencana Allah itu selalu lebih indah. Biarpun tujuan kita tak seindah bayangan, ketika akhirnya mendapatkannya. Tapi bukankah proses perjalanan itulah yang sangat menarik. Coba kalau kita tadi lebih cepat sampai ke Pantai Bandengan, Ya yang bakal kita inget hanyalah Pantai Bandengan yang padat pengunjung. So, proses itu adalah sebuah fase yang harus dinikmati. Keep huznudzon selalu deh

You Might Also Like

10 comments

  1. Waktu ke Bandengan, sempet naik kapal sampai Pulau Panjang, tapi karena capek plus bawa anak kecil kami ngga turun jadi langsung balik lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. bandengan so crowded... di panjang ada ketenangan. kontras sekali

      Delete
  2. ahh, asiknya bertualang...aku belum kesampaian niih kesinii huhuhu...udah kufollow ya say blogmu, folbek yaa :* nuhun

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi... teh dedew mampir kemari^^... belum masuk tuh folownya teh...

      Delete
  3. Seru ih jalan-jalannya ^^

    Salam kenal ya #KEB ^^

    sudah follow ya ^^ folbek donk..

    ReplyDelete
  4. asik ya jalan-jalannya mba :) pastinya seru jalan-jalan bareng temen ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. asik pakai banget sis... jalan2 itu menyenangkan ;-D

      Delete
  5. Halo, saya tertarik dengan isi tulisan blognya. Boleh minta alamat emailnya? Ada beberapa yang ingin saya ketahui dan tanyakan. Ini kontak saya, partnership@pikavia.com . Makasiih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah saya kirim pesan ke email gan...
      email saya fubuteki@gmail.com

      Delete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)