Mencari Teratai Menyambangi Bukit Patrum

Omah Demit, Bukit Patum 


Awal tujuan saya datang ke Bukit Patrum sebenarnya bukan untuk mengunjungi bukit yang ternyata memiliki nilai sejarah. Awal kedatangan saya kemari sebetulnya untuk melihat Teratai…

***

Belakangan, di media sosial Instagram unggahan mengenai spot foto dengan pemandangan bunga teratai di Klaten viral usai diunggah oleh sejumlah akun admin medsos wilayah Soloraya. 

Karena kebetulan saya dan Nana baru seneng-senengnya sama Drama China 'The untamed' dimana di cerita itu ada sebuah tempat penuh bunga teratai yang disebut dengan Dermaga Lotus, maka begitu melihat hal-hal berbau teratai kita jadi girang banget dan pengen datang ke tempat itu. Haha. Konyol banget ya, di usia segini masih gini banget kelakuan kita.

Singkat cerita, lokasi bunga-bunga teratai itu adalah di Kawasan Bukit Patrum. 

Ekspektasi kita udah tinggi banget pas mau datang kemari. 

Bayangan foto ala di Dermaga Lotus sudah memenuhi kepala.

Setelah perjalanan kurang lebih 45 menit  dari Wonogiri, saya, Nana, juga 3 sepupu saya yang lain akhirnya sampai juga di  Taman Teratai yang ternyata ada di wilayah Bukit Patrum.

Begitu tiba kami langsung menuju sebuah gazebo, meletakkan barang-barang sembari mengamati sekitar.

Pandangan kami lempar ke berbagai arah mencari di mana tanaman teratai yang viral itu berada.

Hingga akhirnya mata kami tertuju pada sebuah kolam, entah harus saya sebut kolam, danau atau genangan air. Yang jelas tempat itu seperti bekas galian dengan air di dalamnya.

Tepat di atas kolam itu, beberapa menthog terlihat asyik berenang-renang di sana.

Saya bertanya-tanya, “mana teratainya?”

Saya kemudian melempar pandang ke sekitar, namun hanya terlihat menthog

Baru saat pandangan mata saya alihkan ke sisi depan, saya baru ngeh bahwa ada tumpukan warna merah yang ternyata merupakan tumpukan teratai layu.

Teratai layu itu tergeletak tak bertenaga di bekas galian yang kering tanpa air.

Sudah tidak musim tumbuhkah teratainya? batin saya.

Nana tiba-tiba berteriak girang, “Itu di sana masih ada,” tunjuknya.

Ia kali ini menunjuk ke sisi di mana galian tanah tampak masih memiliki air. Dan ya, masih ada tertatai di sana.

Tapi serius, jika bukan karena Nana kekeh bersemangat mendatangi teratai itu saya benar-benar malas.


Bagaimana tidak, lokasi di sana terlihat tak terawat,  dan berantakan. Jauh dari ekspektasi.

Apalagi, teratai-teratai itu tengah tidak mekar. Seorang penjual warung mengatakan bahwa teratai itu baru mekar jika hari masih pagi serta beranjak sore.

Kami datang terlalu siang saat matahari sedang terik-teriknya. Tak heran teratai itu layu.

Namun yah karena sudah terlanjur sampai kemari kami tetap berusaha menikmati lokasi.

Mengetahui sejarah bukit Patrum

Bukit Patrum

Namun yang kemudian menjadi menarik dari perjalanan ini adalah justru Bukit Pathrumnya.

Karena kebiasaan saya jarang browsing dulu secara detil mengenai tempat yang kami kunjungi saya tidak tahu apa-apa bahwa dekat taman teratai itu ternyata ada daerah perbukitan yang cukup ikonik.

Saya tidak menyebutnya bagus, tapi ikonik.

Yap, ikonik karena di bukit itu terdapat sebuah bukit yang jika dilihat dari bawah penampakannya layaknya Kawasan wisata Widosari, Kulon Progo.

Yang menjadikannya khas adalah adanya satu bagian bukit yang berdiri sendiri persis di Widosari. Bedanya, di atas bukit itu terdapat sebuah rumah satu-satunya yang menduduki puncak bukit itu.

Di sekitar bukit itu terlihat jelas bekas-bekas galian tambang, sehingga bangunan ini juga mengingatkan saya dengan film Up karena hanya ada satu-satunya rumah di sana.

“Kenapa pak, Namanya Bukit Patrum?” tanya saya pada seorang warga yang baru saja merumput di sekitar lokasi.

Sembari menstater motornya, ia menceritakan bahwa bukit itu ternyata memiliki cerita yang berkaitan dengan jaman kolonial.

Saya sedikit kaget, karena sama sekali tak mengira bahwa bukit ini memiliki sejarah panjang.

“Nggak tahu ya mbak, hanya saja ini sudah dari jaman Belanda. Mungkin itu Bahasa Belanda,” terangnya.

Ia kemudian menunjuk sebuah rumah satu-satunya yang berdiri di sana.

“Itu rumah sudah ada dari sejak zaman Belanda,” ceritanya.

“Itu dahulu digunakan untuk markas pemantauan tentara Belanda. Dulu di sana ada alat-alat pantaunya. Tapi terus udah nggak ada,” tambahnya

Yang lebih mengejutkan lagi, bapak yang sayangnya lupa saya tanyai namanya itu menceritakan bahwa dulunya antara Bukit Patrum dan Bukit Sidoguro dulunya adalah satu bagian.

Dahulu kedua bukit saling terhubung namun kemudian penggalian batu di sana menyebabkan bukit kemudian terpisah.

Saya setengah tak percaya. Namun jika melihat di sekitar lokasi memang terlihat bekas-bekas galian lama.

Dari strukturnya, Bukit Patrum ini merupakan perbukitan batuan kapur, dengan struktur khas bukit-bukit batu yang kerapkali ditemui di wilayah Wonogiri dan Gunung Kidul.

Si Bapak kemudian mengatakan bahwasanya dahulu terdapat tangga-tangga yang disusun untuk menuju rumah di Bukit Patrum tersebut. Namun kini sudah dihilangkan entah karena apa.

Usai menceritakan cerita singkat itu, si bapak kemudian pamit kembali ke rumah. Kami mengiyakan meskipun sejatinya masih ingin bertanya lebih lanjut.

Siang itu, di tengah terik matahari, kami kemudian tetap memutuskan naik ke Bukit Patrum. Yang kami naiki adalah bukit yang besar yang terpisah dari bukit dengan rumah di atasnya itu.

Untuk menuju ke bukit ini kami diharuskan menaiki sejumlah tangga semen yang kemudian disambung dengan tangga besi.

Hari itu hanya ada dua rombongan pengunjung yang datang selain kami. Rombongan pertama adalah sepasang muda-mudi yang duluan turun dari atas, dan segerombolan remaja perempuan yang memilih menghabiskan waktu di gazebo dekat tangga yang ada di bagian bawah.

Sementara kami, memilih terus mendaki hingga ke atas.

Bagian atas bukit Patrum ternyata juga terdapat gazebo. Sementara dari gazebo itu juga terdapat tangga besi lagi yang disandarkan di atas batu besar.

Batu inilah yang ketika dinaiki akan membawa kami ke puncak Bukit Pathrum.

Saat naik ke atas pemandangan yang tersaji adalah Kawasan perbukitan batuan kapur, persawahan serta terlihat Bukit Sidoguro. Pemandangan Bukit Sidoguro jika dilihat dari sini memang terlihat satu garis lurus. Namun rasanya lokasi bukit itu masih sangat jauh.

Jika benar perkataan warga tadi bahwa kedua bukit ini dulunya menyatu sangat mengerikan berarti proses penambangannya. Bayangkan saja bagaimana tambang menghabisi gunung.

Ahh, saya selalu merinding kalau membicarakan hal berbau tambang.

Pasalnya, aktivitas menambang gunung juga ada di Wonogiri. Di sejumlah tempat banyak gunung-gunung ditambang diambil batunya yang saya tidak tahu apakah itu illegal atau tidak.

Tak hanya itu, di sejumlah wilayah di Gunung Kidul, tambang-tambang batu juga banyak, bahkan ada satu tempat yang saya dapat cerita itu dulunya adalah bentangan gunung padahal kini ketika saya ke sana yang saya temukan ternyata tempat itu adalah sebuah sekolah dan tanah lapang yang kosong.

Dan membicarakan kegiatan tambang gunung semacam ini selalu mengingatkan saya pada sebuah ucapan teman, bahwa gunung adalah pelindung bencana, jika sebuah wilayah dekat dengan gunung (bukan gunung berapi) maka wilayah itu umumnya aman dari bencana. Maka jika gunung itu ditambang maka ya alamat ada bencana di sekitar wilayah itu.

Well balik lagi ke Bukit Patrum, dari puncak Bukit Patrum, saya juga bisa mengamati rumah yang nampak berdiri sendiri itu.

Rumah yang konon peninggalan Belanda itu terlihat berukuran tak terlalu besar, dan terlihat begitu kusam dan gelap.

Seandainya pun tangga-tangga pada dinding batu menuju rumah itu masih ada, mungkin saya juga tak akan berani mendatanginya.

Tidak begitu jelas bagaimana asal-usul Bukit Patrum yang sebenarnya.

Namun, jika melansir laman Tribunews rumah di Bukit Patrum ini disebut dengan ‘omah Demit’ atau rumah hantu.

Konon rumah itu adalah lokasi Gudang mesiu atau patrum (semacam bahan peledak) di zaman Belanda. Karena itulah mungkin Bukit ini kemudian disebut Bukit Patrum.

Sementara jika melansir dari laman Sorot Klaten, dijelaskan di bukit ini memang terdapat aktivitas tambang batu yang menggunakan bahan peledak sehingga bukit yang dulunya lurus menjadi tidak beraturan akibat penambangan baik menggunakan peledak maupun secara manual.

Adapun kini aktivitas penambangan batu di wilayah ini telah dilarang. Akan tetapi menurut cerita bapak yang mencari rumput tadi, aktivitas penambangan di wilayah Patrum sudah tidak diperbolehkan namun penambang berpindah ke bagian sebrang Bukit Patrum

Jika dilihat dari puncak, sebrang Bukit Patrum memang terlihat bukit-bukit bekas galian. Namun apakah yang itu atau bukan saya tidak tahu pasti.

You Might Also Like

0 comments

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)