Susur Lembah Bengawan Solo Purba

Namanya kejutan ia slalu datang tak terduga. 

Sebuah telepon yang memberitahu saya: boleh ikut gowes Menyusur Bengawan Solo Purba secara gratis, kontan membuat saya berlonjak gembira. Mimpi apa semalam? Padahal hari sebelumnya, hampir saja saya gagal ikut acara ini karena panitia memberitahu kalau tiket tour de karst yang dijual Rp. 60.000 itu ludes terjual. Hla kok ini, malah saya ditelfon boleh ikutan, lebih serunya dengan gratis pula. Asiikkk. Biarpun saya tak dapat kaos peserta karena kehabisan, sebagai anak muda yang seneng  gratisan, tetep saja saya riang.


***

Pelataran Museum Kars sudah terlihat penuh pesepeda ketika saya tiba. Rupanya pagi itu, 14 Mei 2017, saya sudah hampir terlambat tiba di sana. Start awal gowes susur Lembah Bengawan Solo Purba sudah hampir dimulai. Bergegas nomor peserta saya tempel ke bagian depan sepeda. 

Mengenal Bengawan Solo Purba

lembah bengawan solo purba

Bengawan Solo Purba, dahulu merupakan aliran sungai Bengawan Solo. Akibat pergeseran lempeng Australia ke bawah Pulau Jawa yang menyebabkan Pulau Jawa terangkat, aliran Bengawan Solo yang dulunya berakhir ke Samudra Hindia kini beralih ke utara menuju Laut Jawa 

Situs alam Bengawan Solo Purba membentang di 3 kabupaten di 3 provinsi seperti halnya bentangan geopark Gunungsewu, yakni Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Aliran Sungai ini berkelok-kelok mulai dari Gunung Payung di sisi barat Giriwoyo, kabupaten Wonogiri, hingga ke arah selatan yang bermuara di Teluk Pantai Sadeng, Gunung Kidul Jogja.

Beberapa tahun lalu, sebuah buku tentang expedisi Bengawan Solo yang dilakukan tim Kompas, tak sengaja saya baca di rak Perpus Ganesha.  Sejak dari situlah, kata Bengawan Solo Purba mulai saya dengar. Buat saya, ini jadi terasa asik. Pasalnya beberapa tahun sesudahnya, saya sempat ngetrip menyebrang Bengawan Solo, mengunjungi sentra-sentra industri warga di sekitarnya, dan kini gowes menyusur Bengawan Solo Purba. Biarpun apa yang saya lakukan jauh dari apa yang disusuri tim Kompas, tapi lumayan lah, setidaknya sedikit-sedikit  apa yang saya baca terlihat di depan mata.

“Lokasi ini diperkirakan sebagai aliran Bengawan Solo Purba. Dulu alirannya sampai sana, ke arah Pantai Sadeng,” ujar Mas-mas panitia yang saya lupa namanya. Mas yang saya tanyai ini bertugas menjadi sopir mobil yang meloading para pesepeda.

Sebagai satu-satunya perempuan di rombongan mobil yang mengangkut sepeda kami, saya dipersilahkan duduk di bangku depan samping sopir. Walaupun sebenarnya bak terbuka di belakang terlihat lebih seru, tapi karna pekewuh kalau musti umpel-umpelan di belakang, akhirnya saya nurut saja duduk di depan



Kami melewati sebuah jalan makadam yang rusak. Sisi kiri jalan yang terlihat adalah bukit dengan barisan pohon, dan sisi kanan adalah cekungan tampak sesekali lahan kosong, sesekali lahan penuh tanaman liar, dan paling sering adalah sebuah lahan perkebunan berbagai macam tanaman yang terlihat subur. Nun jauh di samping lahan-lahan itu, barisan perbukitan tampak tinggi mengelilingi.

“Dulu perbukitan ini merupakan karang di dalam laut mbak. Ya di sini ini yang dinamakan kawasan lembah bengawan Solo Purba,” cerita mas sopir lagi. 

Mendengar ceritanya, pikiran saya berkecamuk. Jika pegunungan karst jaman dahulu merupakan batuan karang, berarti airnya tinggi sekali? Sampai di atas gunung? Ahh, masa seperti itu? Saya lebih sepakat kalau cekungan inilah yang menjadi aliran bengawan Solo dulu  karena lokasinya yang legok.

Tapi setelah membaca beberapa penjelasan mengenai proses terbentuknya karst, terutama saat saya mengunjungi Museum Karst sesudah acara ini, saya jadi lebih bisa menerima. Pergeseran lempeng menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang mengandung kapur terangkat dan inilah yang membentuk pegunungan kapur (karst) sekaligus yang kemudian membalik aliran sungai Bengawan Solo sekian juta tahun yang lalu. 


Tour De Karst Susur Lembah Bengawan Solo Purba

Saya terengah-engah menarik nafas sejak dari start awal. Saya yang tanpa persiapan fisik apapun seperti pemanasan lebih dulu maupun latihan bersepeda beberapa hari sebelumnya, jelas sangat kepayahan. Medan berat berupa tanjakan sudah harus ditemui sejak keluar menuju gerbang Museum Karst. Keluar dari halaman Museum Karst Wonogiri pun tanjakan berkali-kali kembali hadir. Walau tanjakan-tanjakan itu berupa jalan raya yang mulus, saya tetap kewalahan. Ujungnya, saya pasrah. Menuntun sepeda tiap kali menemui tanjakan. Saking saya juga tak punya rombongan, tak kenal siapapun, juga  tenaga saya yang payah, akhirnya saya lebih memutuskan untuk jalan sendiri sembari sesekali berhenti untuk ngemil tempe yang sempat saya beli tadi sebelum start sepeda dimulai. Perut saya kelaparan tiada tara. 

Pokoknya saya rasanya seperti orang ilang. Hla mau nyari barengan gimana, pesertanya terlihat pesepeda sejati je. Ngonthel melewati tanjakan, mereka terlihat lihai dan cepat. Hla saya, naik sepedanya kalo ada turunan, kalo ada tanjakan ya dituntun. Terus kalau turunannya tajam, ya saya milih nuntun juga. Mungkin perbandingan antara nuntun:naik sepeda sekitar 16:4. Kurang payah apa coba?

Belum lagi sepeda mereka, sepeda-sepeda profesional merk ternama. Hla punya saya spepeda gunung sih, tapi putaran girnya susah diatur. Tambah lagi, perlengkapan safety mereka benar-benar menggambarkan profesionalitas. Sepatu olahraga, knee suport, helm sepeda, serta pengaman-pengaman tubuh lain yang saya kurang tahu namanya. Sementara saya, jangankan sepatu, wong saking tadi saya tergesa-gesa berangkat subuh, sandal gunung yang rencananya mau saya pakai malah keliru sandal jepit swallow milik budhe. Masih mending kalau sandalnya swallow yang masih putih mulus, hla itu sandal kamar mandi yang warnanya sudah ganti blontheng-blontheng. Lepuk pula. Pokoknya hari itu, sempurna. Kekecean saya lenyap tak bersisa.



“Masih kuat, Mbak?” pertanyan yang selalu saya dapati tiap kali bertemu panitia. Panitia di sebar di titik-titik tertentu, mengatur jalan dan memastikan kami semua aman. Saya hanya menyunggingkan senyum. Meyakinkan mereka bahwa saya pasti bisa.  Biarpun saya nggak kece, tapi saya pantang menyerah. Mereka-mereka mungkin pesepeda sejati, tapi saya juga pesepeda “santai” sejati kok. Sak santai-santaine wong nyepeda santai, saya yang paling santai sampai jadi peserta nyaris terakhir.

Acara berjudul “Tour de Kars” ini merupakan agenda tahunan even Festival Geopark Gunung Sewu,  sekaligus menyambut Hari Jadi Wonogiri ke 276 yang diselenggarakan oleh Wonogiri Mountain Bike dan didukung oleh Dinas Pariwisata Kab. Wonogiri. Para peserta sendiri menurut info panitia, rata-rata merupakan rombongan pesepeda gunung dari berbagai daerah, seperti: Pacitan, Ponorogo, Soloraya, Jogja, Blora dan Cepu. Dalam acara tersebut, dihadiri pula oleh Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, yang juga ikut mendatangi rute-rute yang dilalui para pesepeda.

Gowes susur Lembah Bengawan Solo Purba ini cukup mendapat antusiasme para penggemar olahraga sepeda terutama sepeda gunung. Terbukti, peserta yang semula ditarget hanya 400, pendaftarnya membludak. Hingga panitia menambah lagi kuota menjadi 650. Tapi peserta cewek benar-benar minoritas di sini. Terhitung, sejak dari start sampai finish, saya hanya bertemu 4 orang perempuan.

Acara ini bukan hanya mendapat antusiasme para peserta, namun para warga pun dikerahkan untuk ikut memeriahkan acara. Di beberapa titik rest area, warga-warga menyambut kami dengan sajian minum, jajanan, serta beberapa suguhan kesenian seperti gamelan dan reog.


Bagi saya, ini menjadi jarak bersepeda terjauh yang pernah saya tempuh. Jalur yang kami lalui pertama-tama melewati kota kecamatan Pracimantoro, ke arah timur melewati desa Sambiroto, desa Jimbar, selanjutnya desa Suci. Saya sempat beristirahat di balai desa Jimbar, menikmati suguhan teh di sana, lantas beristirahat lagi di rest area desa Suci. Di desa ini, saya disambut expresi kasihan dari para warga karna saya hanya sendirian tanpa rombongan. 

Yuhh, nduukk, kok gur dewe tho? Keri dewe sisan. Kene-kene ngombe-ngombe karo maem sik,” Beberapa ibu-ibu langsung menyalami saya dan mempersilahkan saya duduk sembari memberikan aqua, segelas teh, serta camilan.

Duhh, malu sebenarnya. Tapi ya sudah, saya menikmati. Wong pesepeda “santai” sejati kok.

Lepas dari rest area di desa Suci, terlihat beberapa pesepeda berhenti. Mereka menyarankan saya untuk ikut diloading mobil. Saya awalnya menolak, nggak seru dong kalau musti naik mobil di tengah saya sedang nikmat-nikmatnya mengayuh pedal. 

“Mbak, ini kamu salah satu peserta terakhir lho. Kalau nggak mau naik mobil, nyampai finish acara udah bubar. Terus nanti siapa yang mau ngangkut sepedamu dari finish sampai balik ke Museum Karst? Ya nggak papa sih kalau mau ngonthel lagi,” Mas panitia nyengir.

Saya mikir, ogah banget ngonthel lagi pas sampai finish. Jauh. Ya sudah, akhirnya saya pun sepakat untuk diloading.



Perjalanan selanjutnya adalah menuju Lembah Bengawan Solo Purba, dimana terdapat beberapa dusun di sepanjang lembah, meliputi: Dusun Bakalan, Dusun Tileng, Dusun Bakagung, Dusun Mendak dan nantinya finish di Dusun Sumberagung. 

Tiba di dusun Bakalan Gambir Manis kami turun. Harusnya di sini kami bisa melihat penampilan kesenian warga serta sambutan Pak Bupati. Namun, kami telat. Sambutan pas selesai. Ya sudah saya kembali melanjutkan perjalanan. Namun kini saya kembali bersepeda. Saya memilih memacu onthel lebih dulu daripada saya harus menunggu rombongan semobil saya yang memilih istirahat lebih dahulu. Pertimbangan saya, karna percuma saya menunggu mereka. Toh pada akhirnya tenaga saya juga pasti kalah dari mereka dan paling nanti bakal tertinggal. Biarkan nanti di tengah mereka bisa menyusul, mengimbangi, jadi saya tak perlu jadi peserta terakhir.


telogo bakalan, salah satu telaga yang saya lihat saat gowes

Roda terus menggelinding menempuh jarak lumayan jauh. Tapi saya tak juga bertemu orang-orang yang tadi semobil. Tampaknya mereka tak meneruskan perjalanan. Saya kembali sendiri melewati medan yang sepi. Lega rasanya manakala berpapasan dengan ibu-ibu maupun bapak-bapak yang tengah mencari kayu bakar maupun pakan ternak. Keberadaan manusia di antara tempat yang tidak dikenal begini memang melegakan. Apalagi, mereka adalah penduduk asli yang teramat murah menyunggingkan senyum dan menyapa memberi semangat.

Total jarak yang harus ditempuh sekitar 25 km. Medan gowes ini cukup menantang. Kami harus melewati track XC yang bervariasi, meliputi track aspal, makadam, serta melewati single track kebun dan persawahan. Berulang kali saya harus naik turun menuntun sepeda lantaran tidak yakin dengan kemampuan diri melewati medan, yang bagi saya yang tidak biasa bersepeda gunung, sebagai medan yang cukup ekstrim.



“Mbak, sepedanya biar saya bawa, Mbak mbonceng teman saya saja,” ketika sampai di tengah track sebuah perkebunan singkong dengan medan berupa jalan setapak sangat sempit saya kembali bertemu panitia.

Saya memandang sepeda semi trail di depan saya. Gokil, seumur-umur saya belum pernah naik sepeda semacam itu. Jelas saja saya setuju. Dalam hati saya tertawa riang.

Motor melaju, mas panitia yang memboncengkan saya,  ngecuis bercerita tentang acara. Tapi biarpun disambi bercerita ia lihai mengemudikan motor melewati medan-medan tanah yang licin dan berbatu. Terlihat berpengalaman.

Pun mas-mas yang membawa onthel saya. Dari atas motor, saya terkagum-kagum. Gila saja, jalanannya sempit, penuh batu, sedikit nanjak, ia dengan begitu gesitnya mengayuh pedal. Gir sepeda saya agak bermasalah, tapi ditangan masnya, sepeda bude yang sedikit bermasalah itu nampak baik-baik saja, tampak begitu keren. Jadi mungkin kesimpulannya, ini tergantung siapa yang makai.
Di dusun Sumberagung, sepeda dan peserta di loading kembali ke pelataran Museum Kars. Walaupun saya harus bergelut lelah lantaran tenaga dan fokus yang lumayan terforsir, saya menyukainya. 
Yeah, moga-moga taun depan bisa ikut lagi. Tapi dengan persiapan matang dan bukan persiapan ngasal tentunya. 



Satu foto narsis bareng Pak Bupati :D

Nah, kalau taun depan kamu pengen juga ikutan acara ini, saran saya yang harus kamu ikuti adalah, pastikan kamu pemanasan paling tidak beberapa hari sebelumnya, sarapan dulu, persiapkan alat-alat pengaman diri, dan pastikan kamu akrab dengan sepeda yang kau pakai, serta cek kondisinya dan tentu saja jangan lupa berdoa. 

Owh iya, kalau kamu jalan sendiri tanpa rombongan seperti saya, untuk mengangkut sepeda jika tak memungkinkan memakai bak terbuka, kamu bisa meniru cara saya: ngangkut sepeda pakai bus sampai terminal praci. Sesudah itu naik ojek dengan sepeda dipangku di tengah dengan posisi terbalik. Kemeng sih, tapi daripada tenaga habis sebelum acara. Saya kemarin sih beruntung, nggak perlu ngojek, karna ketemu adik yang tinggal di Praci. 

Kalau semua cara di atas tidak memungkinkan, nyari saja tebengan sesama peserta di pinggir jalan. Kalau nggak mau, ya sudah ngonthel saja sono dari manapun kamu berada.


You Might Also Like

22 comments

  1. Kapan2 ajak aku susur juga wuk. Asli baru tau kalo bengawan solo purba ini ada sejarahnya :3

    ReplyDelete
  2. Wow,aida wanita tangguh. Seruu ya Da, pengin juga menyusuri sungai bengawan solo purba tapi harus naik sepeda ya Da? Qeqeqe

    ReplyDelete
    Replies
    1. nggak mbak, sok tangguh iya. haha. motoran bisa. Tapi memang nggak sampe dalem-dalem kalo motoran

      Delete
  3. Apaaa? 25km???
    sebenernya pengen, tapi BYE!
    diboncengin naik motor aja pegel, cuint.

    Iyess, aku lemah :(

    ReplyDelete
  4. Tak kira postingan instagrammu sing numpak prau ndek mau mbak.. hehe

    ReplyDelete
  5. Iya, jadi inget pas ke gunung cumbri. Yang kau bw cuman dompet.hahaha. kamu bnr2 pejalan santai sekali.

    ReplyDelete
  6. Yaoloh kok melas ya bacanya :D
    Tapi salut mbak, dg semangatmu ikut acara ini. Meski dengan persiapan yg minim.

    Baru tahu kalo aliran bengawan solo purba ternyata mengarah ke laut selatan.
    Itu brp juta tahun yg lalu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak yang menyebut jaman tersier Jo, yang berarti kira-kira 10 juta tahun lalu. Cuman karna aku ga percaya sama teori darwin, aku lebih sepakat dengan penyebutan "berjuta tahun lalu" tanpa kepastian angka. Yang pasti, wes mbien :D

      Delete
  7. Keren bgt deh tour naik sepeda. Dan seru ya smbil belajar sejarah

    ReplyDelete
  8. pastinya asyik ya melewati pedesaan yang hijau walau jalannay masih jelek ya

    ReplyDelete
  9. hoo... ternyata begitu :)

    ReplyDelete
  10. belum pernah susur jauh. cuma liat dari atas perbukitan bengawan solo purba di pinggir jalan ke arah pantai sadeng.. kata warganya sih bilang sekarang ada beberapa telaga di ex-begawan solo itu.. mungkin salah satunya yg mba foto

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas, kemarin bukan cua telaga bakalan saja. sempat juga melihat satu lagi, tapi kering, hanya menyisakan cekungan. Tapi memang daerah pracimantoro banyak telaganya, dan rata-rata telaga itu merupakan telaga tadah udan. Hanya saat musim hujan jadi telaga. Tapi saat musim kering dimanfaatkan sebagai lapangan

      Delete
  11. Gile, ini perjalanan yang seru banget, Mas! aku belum pernah ke sini. Tapi kalau dilihat dari gambar dan dibaca dari ceritanya, sangat menarik untuk petualangan.

    ReplyDelete
  12. bacanya ikutan terengah2 mbak..
    luar biasa perjalanannya..., jadi ikut membayangkan jejak Bengawan Solo purba
    pengalaman engesankan banget mbak Aida

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)