Menengok Panamtu, si Gajah Ngamuk, di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri


Berita Gajah mengamuk di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, yang menyebabkan seorang dokter perempuan yang merawatnya meninggal, sempat menggemparkan warga Wonogiri beberapa waktu lalu. Beritanya sempat meluas, bahkan mencapai ranah nasional.

Secara kebetulan, beberapa minggu setelahnya, saya ikutan membantu budhe yang biasa berjualan  di pinggir WGM menyingkirkan preparat dagangannya yang nyaris hanyut  akibat volume air waduk yang meninggi. Mumpung lokasi jualan Budhe tidak begitu jauh dari taman satwa, begitu selesai membantu budhe angkat junjung, saya sekalian saja melongok sebentar ke area Taman Satwa Waduk Gajah Mungkur.

Biasanya, kita bisa berfoto-foto di ujung jembatan bekas dermaga ini.
Tapi volume air pertengahan Mei kemarin lumayan tinggi

Taman Satwa terlihat sepi . Hari sudah menjelang sore, dan jam menunjukkan sebentar lagi Waduk Gajah Mungkur sudah akan ditutup. Saya masih bersama Nana, sepupu saya ini terus memacu motor meskipun seharusnya kami sudah mesti bersiap pulang.


Warung-warung mulai banyak yang tutup, sementara binatang-binatang terlihat berdamai dengan ketiadaan manusia. Mungkin ini saat yang tepat bagi mereka beristirahat.

Mendekati area kandang gajah, pemandangan yang sepi sudah berganti keramaian Selang beberapa detik dari kedatangan kami, satu mobil berisi satu keluarga pun tiba, disusul kemudian iring-iringan remaja bermotor tiba di sana.

“Mau lihat Panamtu, Pak?” tanya saya pada si sopir mobil yang baru saja turun.

“Iya,” jawabnya.

“Nggak apa-apa  kita ke situ, Pak?” tanya saya ragu.

“Nggak apa-apa. Yang penting nggak ambil foto pakai blitz,” terang si Bapak lantas berjalan bersama keluarganya mendekat ke arah kandang gajah. Saya dan Nana mengekor.

Gedhe, yo!” terdengar komentar salah seorang rombongan anak remaja sambil tetap duduk di atas motornya. Yang lain meng-iyakan.

Di dalam kandang, Panamtu dan Panamsari berdiri berhadap-hadapan.



Yuh, kasihan. Kakinya dirantai,” seru Istri si Bapak. Di dalam kandang, salah satu kaki depan Panamtu, dan salah satu kaki belakangnya terlihat dirantai. Rantai itu kemudian dililit-lilitkan pada suatu benda yang seperti pathok kayu di dekatnya.

Di sekeliling kandang gajah, tulisan bersablon yang cukup besar berisi larangan untuk memotret dengan menggunakan blitz, ditempel dengan huruf kapital.

“Padahal sebelum kejadian, gajahnya ini udahsering  diajak jalan-jalan. Difoto banyak orang juga. Tapi nggak terjadi apa-apa,” cerita si Bapak kemudian.

“Bapak sudah pernah  lihat Panamtu sebelumnya?”

“Iya. Lha wong saya sering ngajakin anak-anak ini jalan-jalan ke sini,” jawabnya. “Mungkin karena waktu itu si gajah barusan disuntik kali ya? Kesakitan di suntik, tambah kaget karena difoto. Makanya ngamuk,” si Bapak mengira-ira.

“Mungkin, Pak.” jawab kami. Berdasarkan informasi yang beredar memang begitu kejadiannya.

“Ya, kalau namanya sudah takdir, Mbak. Mau diapakan lagi?” si Bapak melanjutkan. Saya hanya mengangguk-angguk. Pandangan saya tak lepas dari kedua gajah itu. Panamtu  terlihat hanya sebagai seekor binatang polos berbadan besar.

Selang beberapa menit dari kehadiran kami, padi-padian dihadapan Panamtu sudah mulai habis. Kini ia terlihat ingin menggapai padi-padian yang sebenarnya tak jauh dari lokasinya. Tapi lantaran kakinya yang terantai ia jadi bersusah payah menjuntaikan telalainya berusaha mengambil padi-padian itu.

Karena upayanya tak kunjung berhasil, Panamtu kini berusaha melepas rantai kakinya. Telalainya ia angkat-angkatkan ke rantai yang mengikatnya. Tapi usahanya membuat rantai itu lepas nampaknya gagal.

Ahh, biarpun yang gajah itu lakukan sebelumnya jahat, saya tetap tak tega melihatnya demikian.

Saya dan Nana akhirnya memilih pulang saja. Tapi sebelum pulang, kami sempatkan mampir sebentar berfoto di tulisan “OW Gajah Mungkur” yang baru beberapa bulan ini dipasang.

identitas Waduk Gajah Mungkur


Dalam tulisan itu, symbol gajah terpasang. Dari namanya saja Waduk Gajah mungkur sudah mengandung kata “gajah”, maka wajar jika gajah menjadi begitu berarti di tempat ini.

Saat asik berfoto-foto di depan tulisan, kami malah bertemu dengan seorang petugas yang akan mematikan lampu tulisan. Bapak ini sangat baik. Ia membiarkan kami puas berfoto-foto dulu baru kemudian mematikan lampu. Ia juga cukup ramah saat kami ajak berbincang-bincang sebentar.

“Memang kejadian gajah itu dimana, tho Pak?” tanya saya.

 “Ya di situ, Mbak!” tudingnya ke arah lapangan dekat tempat sampah.

“Namanya juga sudah takdir, Mbak! Padahal  itu dokternya sudah lari mbelok. Kok ya kepleset,” ceritanya.

“Lari mbelok? Kenapa harus lari mbelok?”  saya tidak mengerti.

“Gajah itu kan tidak bisa lari mbelok, Mbak,” jelasnya kemudian.  Saya membulatkan bibir.

“Si dokter itu orang yang baik, Mbak. Para pedagang-pedagang di sini beberapa sempat diberi baju sebelumnya. Orangnya juga ramah,” cerita si bapak membuat miris.

Ya, semoga dokter Esthi diberi tempat terbaik di sisiNya.

“Lha, gajahnya nanti gimana, Pak? Dikembalikan?” tanya saya mengingat gajah ini baru saja didatangkan dari penangkaran hewan di Tegal beberapa minggu sebelumnya.

Panamtu dan Panamsari ini merupakan gajah baru di Waduk Gajah Mungkur. Gajah berusia 30 dan 25 tahun ini dibeli untuk mengisi kandang gajah yang sempat kosong. Tahun 2013 gajah di waduk gajah mungkur, ‘mungkur’ akibat diambil BKSDA lantaran tidak memiliki ijin. Dan di tahun 2016 tepatnya bulan April kemarin  gajah kembali diadakan. Namun baru sebentar keberadaannya, sang gajah sudah berulah.

“Nggak lah, Mbak,” jawabnya.

“Nanti malah  pada takut, Pak?”

“Nggak tahu, Mbak. Tapi ini malah orang-orang banyak datang ke sini pengen nonton gajahnya,”ujarnya kemudian. Saya jadi ingat rombongan remaja dan keluarga tadi. Tujuan mereka sore ini ke WGM nampaknya memang khusus untuk menegok Panamtu.

“Gajahnya itu tho, Mbak, habis kejadian langsung lari sendiri ke kandang,” cerita si Bapak lagi.

“Kayak anak kecil yang ngambek terus masuk kamar,” komentar Nana. “Mungkin si Gajah menyesal. Padahal jarak lapangan sampai kandang itu kan jauh. Kok bisa ya?” tambahnya.

“Gajah itu punya memori yang bagus. Makanya dia bisa pulang ke kandang sendiri,” saya ikutan menebak.

Hemm, masalah memori itu pula yang diperkirakan menjadikan panamtu mengamuk. Panamtu diperkirakan memiliki kenangan buruk dengan lampu blitz.

Entahlah.. 

Apapun itu, pada akhirnya semua analisa berujung pada takdir. Yah, sebagai warga Wonogiri, saya hanya bisa berharap semoga kejadian semacam itu tak terjadi lagi di sana. Karena bagaimanapun, Gajah Mngkur adalah Objek wisata terbesar dan paling ikonik di Wonogiri. Rasanya sayang kan kalau sampai hal-hal buruk terjadi lagi di sana.

Lokasi kandang gajah. Sayang, Saya tak terlalu berani mengambil fotonya dari dekat.
Beberapa remaja yang menyaksikan panamtu 
Objek Wisata Gajah Mungkur memiliki mini kebun binatang. Nah selain gajah, Rusa adalah salah satu penghuninya

You Might Also Like

8 comments

  1. sedih bacanya :(.. kasian ama dokternya juga, tapi juga iba ama gajah yg diikat begini :( .. gajah itu termasuk binatang yg lembut bgt sbnrnya..tp kalo mereka udh marah, jadinya sering fatal ya, krn gedenya bdn mereka :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak kasihan. Tapi ya itu tadi namanya takdir

      Delete
  2. duh Mba, kalau ada cerita gajah yang mengamuk, saya ingat novelnya Mba Shabrina WS dan Mba Riawani Elyta, judulnya Rahasia Pelangi. Disitu detail banget cerita tentang gajahnya.. Jadi sedih.. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya ingetnya malah buku tentang belajar melatih daya ingat judulnya "memorizing like an elephant". Kalau novel itu saya malah baru dengar. Bagus tuh kayaknya mbak

      Delete
  3. Kasihan juga ya gajahnya di rantai, besok minggu rencana mau ke sana semoga si gajah sudah nggak dirantai.

    Salam Kenal mbak.

    Ceritapiknik.com

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)