Cerita Dari Jamban-Jamban Rembang

Ini bukan perjalanan ke  tempat wisata seperti biasa. Ini adalah perjalanan yang membawa saya  melihat kehidupan masyarakat Rembang dari sudut pandang berbeda.


***
“Kami dibantu warga bersih-bersih, buangin ini, kotoran manusia dalam plastik,” samar-samar, ucapan Bidan Rut terekam kembali. Kala itu, beliau menunjukkan gambar beberapa orang bersih-bersih di sebuah lahan bersemak dengan beberapa buntel plastik telihat bercecer.

Pikiran saya berkecamuk, susah melogikakan bahwa plastik-plastik itu berisi kotoran manusia. Tidak, bukan saya tak percaya itu kotoran manusia lantaran tak ada plastik yang dibuka dan difoto. Tidak, tidak, saya tak ingin juga kali, melihat foto semacam itu. 

Hanya saja, saya susah melogikakan mengenai kenyataan: ada manusia yang membuang kotorannya dengan plastik. Dalam kondisi yang tentu saja tidak darurat. Ahhh, membayangkannya saja saya rasanya tak sanggup. Aneh saja sih, kenapa tidak diuruk dengan tanah atau pasir? Begitu kan jauh lebih baik, daripada dibuntel plastik kemudian dibuang sembarangan seperti itu? 

Well, bagaimanapun, itu adalah suatu bukti bahwa di jaman now, BABS bukan sekedar tulisan peringatan seperti yang pernah saya lihat di Pacitan maupun di pelosok Wonogiri beberapa waktu sebelumnya. Tapi masalah BABS memang masih banyak ada di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk juga di Rembang

***

Kunjungan pertama kami adalah mendatangi tempat Bu Warsini. Perempuan yang tidak terlalu tinggi dengan perawakan yang sedikit gelap itu menempatkan kedua tangannya terjulur lurus ke bawah dengan posisi siap, nampak tegang dengan expresi yang sedikit grogi saat menerima kedatangan kami. Bu Warsini merupakan salah satu warga yang selama ini tidak mempunyai jamban layak untuk BAB. 
rembang desa
Rumah Bu Warsini


Melewati bagian depan rumah berdinding anyaman bambu yang kemudian bagian sampingnya tersambung dengan sebuah kandang sapi, kami berjalan menuju belakang rumah tempat lokasi WC lama milik Bu Warsini berada. Tempat itu dikelilingi dua papan seng yang miring hendak rubuh serta sebuah palstik yang tampaknya dulu berfungsi sebagai pintu.

“Itu masih dipakai, buk?” 

Bu Warsini menggeleng lantas menjelaskan bahwa jamban sederhana berupa lubang galian tersebut sudah penuh, sehingga sudah tak bisa lagi digunakan. 

“Dulu kalau malam apa nggak takut kalau misal mau ke belakang, Bu?” 

“Ya takut,” jawabnya dengan ekspresi yang masih grogi.



Tepat di dekat WC lama, rungkut bambu tumbuh. Berkali-kali angin mengoyangkannya, menimbulkan decit batang-batang, serta daun-daun yang saling bergesekan. Aihhh, suara seperti itu kalau malam pasti menyeramkan. Belum lagi, rungkut bambu semacam itu bukankah banyak ularnya?

Nek dalu, diterne Bapak, -kalau malan dianter Bapak-” terangnya kemudian. Kami mengangguk-angguk. 

Bu Warsini adalah satu dari sekian banyak keluarga yang tidak mempunyai jamban di desa Doropayung Rembang. Namun kini, dengan membayar iuran RP. 110.000 Bu Warsini tengah menunggu jamban barunya yang dilengkapi dengan tangki saptik terstandar jadi.

Menurut penuturan Bu Rut, ada 667 KK di desa Doropayung, 128 KK diantaranya, belum mempunyai jamban. Sebenarnya bukan perkara tidak ada WC umum yang pernah dibangun pemerintah di sini. Ada WC umum namun selain lokasi pembangunannya yang kurang tepat, air yang kadang tidak pasti ada tidaknya, serta kurangnya kesadaran warga. Kamar mandi umum yang konon menghabiskan 300an juta itu pun kini malah menjadi bangunan yang dipenuhi ilalang. Tak terurus. Tak terpakai.

“Membangun kesadaran masyarakat itu penting,” satu kesimpulan yang saya tarik dari semua hal yang dipaparkan tim water.org dan BMT BUS.

BMT BUS yang mendapatkan bantuan WaterCedit dari water.org telah berhasil memberikan pengertian warga mengenai pentingnya sanitasi yang baik. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dengan melibatkan pula petugas puskesmas serta perangkat desa manjur menyadarkan warga untuk berubah ke arah yang lebih baik.

BMT BUS bersama water.org memberikan kredit ringan terhadap warga untuk menyesaikan masalah sanitasi dan air bersih. Bantuan dari water.org yang diwujudkan dalam bentuk cicilan ringan sebenarnya lebih kepada supaya bantuan tersebut bisa terus berkelanjutan. Sehingga ketika cicilan tersebut terbayarkan, maka akan bisa digunakan lagi untuk membantu yang lainya, sehingga warga lain pun bisa menggunakannya.

Selain itu ketika bantuan yang diberikan bukan sekedar hibah, diharapkan masyarakat lebih merasa memiliki, hingga mampu merawat dengan sebaik-baiknya.

Dari tempat Bu Warsini, kami lanjut ke tempat Pak Khalil. Warga Doropayung lain yang juga mengambil kredit BMT BUS untuk pembuatan jamban. Jika bu Warsini dulunya masih menggunakan jamban meskipun belum terstandar, maka Pak Khalil  bisa dibilang pelaku BABS yang sebenarnya.

Ndek riyin nggih ten blarak-blarak -kalau dulu, ya dimana-mana-,” aku pria berusia 65 tahun itu sembari terkekeh saat ditanya perihal: dimana tempatnya dulu kalau ingin ke belakang.

Sama dengan Bu Warsini, Pak Khalil  dengan dana  Rp. 110.000 perbulan selama setahun, kini menuju ke arah kualitas hidup yang lebih baik melalui terwujudnya sebuah sarana sanitasi yang lebih bermartabat.

Jamban Pak Kholil yang sedang dalam proses perampungan

Kami selanjutnya mendatangi tempat Bu Lia. Bu Lia ini adalah warga yang dengan kesadaran pribadinya ingin memiliki jamban sendiri. Ceritanya bermula saat ia tengah hamil besar, sang suami tidak tega kalau untuk BAB saja harus ke tempat Ibunya yang lokasinya jauh dari rumah. Maka dari itu ia mengajukan sendiri ke BMT BUS. Berbeda dengan warga di Doropayung, pembuatan jamban milik keluarga Bu Lia dikerjakan sendiri oleh suaminya. Saking inginnya memiliki jamban sendiri, ia mengerjakan pekerjaan jamban tersebut hanya dalam waktu 4 hari, lembur sampai malam, seorang diri tanpa bantuan siapaun. Hemm, salut, sebuah daya juang sang suami demi istrinya yang membuat haru. 

Menyapa Kampung Nelayan Rembang

kampung nelayan Sarang

Kampung Nelayan Sarang Rembang menjadi kunjungan kami yang terakhir. Menyusuri gang perkampungan lantas berujung pada sebuah pantai dengan laut khas Pantura yang berombak tenang, kami berhenti sejenak di sana. Mendengarkan Pak Yudi menceritakan sekilas tentang Kampung Sarang.

Dari penjelasan Pak Yudi, trobosan utama yang dilakukan BMT BUS di daerah ini adalah pemasangan PDAM. Hal tersebut karena keberadaan air di Kampung ini yang cenderung payau, juga adanya kecenderungan masyarakat yang masih sulit beranjak dari kebiasan BAB di laut.

Perahu-perahu nelayan berjajar di pinggiran garis pantai. Sampah-sampah laut menepi, berserakan di mana-mana. Tak jauh dari lokasi kami berkumpul, bocah-bocah riuh bermain di tepian pantai. Dari tawa-tawa bahagianya, sepertinya mereka nyaman-nyaman saja, berlarian tanpa alas kaki menginjaki pasir yang penuh selipan-selipan kemasan plastik,, botol-botol minuman bekas, dan aneka rupa sampah lain.




Di Kampung Nelayan Sarang, rumah Ibu Urifah adalah jujugan terakhir. Ibu Urifah juga merupakan salah satu warga yang merasakan manfaat BMT BUS. Ia mengambil kredit ringan untuk pemasangan PDAM. 


Bu Urifah menunjukkan pada kami sumur Kampung Sarang
Sebelum dilakukan pemasangan PDAM, dahulu Bu Urifah memanfaatkan sumur yang agak jauh dari tempatnya tinggal serta sempat pula ia menumpang saluran PDAM milik tetangganya dengan biaya Rp. 3.000 per hari. Jika dihitung-hitung, pengeluarannya kini lebih murah, karena pengeluarannya per bulan untuk membayar PDAM kini rata-rata sekitar RP. 48.000 per bulan. Lebih murah dibandingkan saat menumpang, dimana jika dihitung selama 1 bulan menjadi Rp. 90.000

“Kita tidak akan keluar dari kemiskinan tanpa memperbaiki air dan sanitasi” Matt Damon, water.org

Saya tidak terlalu mengerti awalnya dengan moto Matt Damon ini. Tapi usai mengikuti invitation ini, pelan-pelan saya bisa meresapi makna kalimat tersebut.

Air dan sanitasi merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Kalau merujuk pada indikator kemiskinan multidimensi pun, air dan sanitasi juga masuk ke dalamnya. Keduanya sangat berpengaruh untuk keberlangsungan hidup. Ketika akses air bersih dan sanitasi yang baik mudah didapatkan, kesehatan dan sektor kehidupan lain  tentunya lebih meningkat. Ibarat kata, air dan sanitasi adalah akar yang akan menopang tumbuhnya daun, batang dan buah di atasnya.

You Might Also Like

15 comments

  1. Padahal masih di Pulau Jawa dan letak Rembang pun tidak begitu jauh dari ibu kota provinsi; Kota Semarang..

    Kalau menurut saia yang sangat disayangkan adalah kurangnya perhatian pemerintah setempat yang merupakan perwakilan pemerintah terdekat dengan masyarakat..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, aku juga mikir gitu. Gimana dgn orang2 di luar jawa?
      Kalo mslh perhatian pmrntah, dilihat dari kbradaan wc lama, bisa disimpulkan sdah ada. Hanya saja mnrtku mereka blm totalitas mmperhatikan, plus caranya tidak tepat dan blm berkelanjutan. Namun ya, kalo nunggu pmrntah lama, jadi memang sdah sharusnya swasta ikut berperan mlakukan yg bisa dilakukan

      Delete
    2. Iya..

      Tapi tetep aja tanggung jawab pemerintah adalah membina masyarakatnya agar pola pikir semakin maju..

      Delete
  2. Jadi mikir ulang, banyak saudara kita yang di Jawa-pun belum punya sanitasi yang layak.. Bagaimana yang di luar Jawa ya? Makasih sharing dan tulisannya kakakkkk, sangat sangat sangat membuka mata dan pikiran :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huum mbak, nggak kebayang.
      Moga bermanfaat yak

      Delete
  3. Ya Allah mbaak..gak tega aku mbaak.. Kok ya masih ada ya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini sekarang mereka sedang berusaha menuju ke arah yg lebih baik 😊

      Delete
  4. Blarak itu bukannya daun pring atau bambu yang sudah kering ya, Mbak?

    Aku waktu ke Cepu, malah ngilu karena BABnya di atas kolam lele. 😭😭😭😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Owh iya. Kalo itu sering juga denger mb 😁

      Delete
  5. astaga masih banyak juga ya yang gak punya jamban, duh mirisnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah mb. Itulah kemudian ada target 100-0-100 pmrntah. Dimana 100 % terpenuhinya sanitasi dan air bersih

      Delete
  6. mengubah kebiasaan orang BAB sembarangan bukan hal gampang ya..
    perlu penyuluhan dan pendampingan terus menerus
    semoga masyarakat mau berubah supaya bisa hidup sehat dan berkarya

    ReplyDelete
  7. Bagaimanapun, saya bersyukur kalau kehidupan di sana sudah mulai bergerak ke arah yang lebih higienis. Memang menggelitik banget, karena pertanyaan ke mana pemerintah daerah akan selalu ada. Padahal pemerintah daerah kabupatenlah yang diperintahkan konstitusi untuk menyediakan kebutuhan dasar pemenuhan kesehatan dasar bagi warganya. Tapi yah, mungkin mereka masih sibuk dengan sengketa pabrik semen, wkwk. Dan sebenarnya kesadaran masyarakat yang dulu rendah juga punya peran. Tapi mengingat sekarang ini masyarakat sudah mulai paham, saya pikir tidak banyak yang bisa saya komentari untuk itu. Hehe.
    Salam kenal.

    ReplyDelete
  8. hmmm... msh ada ya di pulau Jawa yg kayak gtu.. btw, BABS tuh S nya apa kak?
    kalo ada kejadian kayak gini pasti yang dicari pemerintah ya.. tpi kesadaran masyarakat juga penting sih..

    ReplyDelete
  9. Dirimu kok bisa sampe sana mbak?
    Aku pernah liat dr jendela kereta di daerah nganjuk, MCKnya masih beruba bedeng yg bawahnya kali tapi gak mengalir. Miris sih di jawa yg katanya pulau paling maju masih ada saja hal seperti itu.

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)