Koper, Ransel, dan Sebuah Perjalanan Menuju Karimunjawa

kmp siginjai


Suatu kali dalam sebuah perjalanan ke Karimunjawa, saya sekapal dengan seorang mahasiswi Bandung yang meletakkan koper di sisi bangku tempatnya duduk. Kapal Siginjai melaju pelan. Perjalanan 5 jam di atasnya membawa bosan kalau kita tak pintar-pintar mencari kegiatan asyik selama di atas kapal. 


Gadis itu mungkin seperti saya, lebih memilih membuang pandang ke laut lepas meski harus berdiri, daripada duduk nyaman, tapi dengan pandangan yang itu-itu saja. Makanya, kemudian ia memilih berada di jendela kapal, menikmati sepoi angin yang pelan-pelan berhembus.

“Sendiri mbak?” tanya saya mencoba memulai pembicaraan.

“Nggak, itu sama keluarga berlima dari Bandung,” ujarnya lantas menunjuk ke beberapa orang bermata agak sipit yang lokasinya terpisah dari tempat mbak-mbak ini tadi berada. 

Saya membulatkan bibir, baru paham kalau mereka satu keluarga.

“Kalo mbak? sendiri? Darimana mbak?” tanyanya balik.

“Nggak. Itu sama kakak. Dari Solo, mbak,” giliran saya, menunjuk Nana yang tampak tertidur di bangku belakang.

“Berdua aja dari Solo? Berani sekali?” komentarnya. Saya  terkikik.

Dari tepian jendela kapal, laut nampak tenang. Terlihat bersih, meski tadi saya sempat kaget melihat beberapa bekas kondom yang terlihat melayang-layang. Namun semakin ke tengah, semakin jarang-jarang saya melihat partikel sampah seperti itu.

“Nanti di Karimujawa pakai travel mbak?”tanyanya lagi. Saya menggeleng dan dilengkapi  senyuman bodoh. 

“Terus nanti mau kemana aja?”

Saya mengangkat bahu,  tidak tau dengan jawaban pertanyaan itu. Pergi ke Karimun Jawa, hanya perkiraan  budget list saja yang kami susun. Pokoknya dalam benak saya dan Nana, kami cuma pengen bisa meginjakkan kaki ke pulau Karimunjawa. Perkara kita mau kemana setelah di sana, itu urusan nanti

laut karimun


“Mbaknya pakai travel?” saya balik bertanya.

“Iya. Nanti yang di Karimunnya, kita pakai travel,”

Saya mengangguk-angguk. 

“Habis berapa mbak?”

“6 jutaan,” ujarnya.  Saya membuka mulut lebar. Mahalnya…

 “Asyik ya kalau pergi sendiri, bisa backpakeran. Asyik bisa bebas kemana-mana. Lebih hemat,” Ujarnya kemudian

Saya cuma terkekeh. “Ini kita  cuma nekat-nekatan kok mbak. Budget kita ke sini tipis soalnya,”

“Kalau pergi sama keluarga gini ribet mbak. Itu bawaan 2 koper aja masih kurang. Masih bawa beberapa tas pula. Kalau sendiri kan enak, bawa ransel seperti kalian, cukup” 

Saya menoleh ke kedua koper yang bersandar, lantas ganti ke tas-tas milik orang tua mbaknya ini yang disandarkan di atas beberapa bangku kosong. Terkesan ribet memang.

“Orang tua, Mbak. Bawaannya banyak,” curhatnya lantas terkekeh. Saya juga ikutan terkekeh.

Hemm, meskipun saya paling malas pakai koper. Tetapi kalau saya diposisi mbaknya ini, barangkali saya juga memilih bawa koper. Selain muat banyak, kan nanti bisa gantian mendorong koper sama orang tua. Kalau bawa ransel atau carrier, jadinya kan lucu. Masak mau minta si Ibuk nggendong carrier?
kapal nelayan siginjai
Kapal Nelayan yang terlihat dari jauh

Bicara ransel dan koper, saya jadi ingat tentang sebuah quote begini:

“bidadari itu kadang tidak bersayap, tapi beransel”

Quote untuk pembelaan para ransel mania, sekaligus ajang narsis DP BBM.  Sebagai tukang bawa ransel, sejatinya saya merasa tersanjung dengan quote ini. 

Pakai ransel keren, tapi siapa yang bilang kalau koper kalah keren.

“Kamu pilih gadis beransel, atau yang nenteng koper?”

Bahas koper atau ransel kok nyangkutin gender

Di kalangan traveler gunung, pasti pernah mendengar joke-joke narsis semacam itu. Padahal mau beransel, mau berkoper, bahkan mau karung goninan, ya kalau perkara hati mah terserah saja.

Pada akhirnya  baik ransel ataupun koper semua kembali kepada kebutuhan. Katanya, ransel identik dengan kesederhanaan, padahal sebenarnya sama saja. Ransel juga ada yang harga selangit. Sementara koper, banyak juga yang murah. Di internet, mall online semacam matahari mall banyak tersedia koper murah misalnya..

So, mau koper atau ransel, pada akhirnya semua tergantung apa yang kita butuhkan, kemana perginya, sama siapa saja, dan mau acara apa? Terus kalau mau pilih gadis ber-ransel atau yang nenteng koper, ya tergantung kemantepan hati aja lah. Sama tergantung, si gadis mau atau nggak. Wkwkwk. Ya, dong, laki-laki boleh milih. Tapi pada akhirnya, perempuan berhak menolak kan?

Perkara koper dan ransel jadi mengingatkan saya tentang potongan tulisan di buku the journeys tentang filosofi koper. 

Konsep packing bisa ditilik secara filosofis, memilih barang mana saja yang akan menemani dalam sebuah perjalanan. Itu gak mudah. Kita gak ingin sesuatu yang kita bawa dalam koper ini gak berguna di dalam perjalanan atau bahkan sia-sia dipertahankan sesampainya di tujuan.

Packing itu belajar memilih, mana-mana saja yang kita bawa dan pertahankan, seperti hal nya memilih siapa yang akan kita masukkan ke hati.

Hidup adalah perjalanan, hati adalah koper. Bawa secukupnya di dalamnya. Tinggalkan yang memberatkanmu, singkirkan yang merepotkanmu.

Saat membawa koper, berhati-hatilah, akan selalu ada seseorang atau sesuatu yang berusaha mencuri atau merusaknya di perjalanan.

Begitu pula pada saat bertemu teman seperjalanan. Hati-hati jika menitipkan koper. Isinya bisa saja tertukar, terbawa baik secara sengaja atau tidak, dan lalu, kamu hanya membawa koper tanpa isi.

Semoga nanti di jalan, kamu bertemu dengan seseorang yang searah dan setujuan, atau bahkan mungkin saja kalian menuju tempat baru atau menciptakan tujuan baru.

Tapi dimanapun itu, kamu dan dia selalu ingin bersandingan menempuh jarak yang sama, bersama.

Dan masing-masing koper yang kalian bawa akan selalu kalian jaga, berdua.

Duhhh…. 

“Saya balik ke sana ya Mbak,” Mbak-mbak di samping saya berpamitan.  Sepoi angin pinggiran kapal rupanya tadi membawa kami pada kesibukan pikiran masing-masing. Setelah lelah bercakap-cakap, masing-masing dari kami larut dalam diam. Mungkin rasa lelah berdiri yang membuat mbaknya akhirnya memutuskan kembali duduk bersama dua kopernya.

Setelah mbaknya kembali duduk, giliran Nana menghampiri saya. Ia terbangun dari kantuknya menemani saya di pinggir tepian kapal menatap  pulau panjang yang semakin lama semakin mengecil, hingga kemudian menghilang. Dan kalau sudah sama Nana seperti ini, saya tak mungkin larut dalam lamunan. Yang ada, kami larut dalam keasyikan narsis foto-foto dengan background laut Karimunjawa.


Tag: Sponsored Post

You Might Also Like

16 comments

  1. Kalo menurutku, bidadari itu ber-carrier... Wkwkkw

    Aku kalau mau naik siginjai lagi mau bawa flasdisk isi film ah, tipinya yang di kapal itu mirip kayak di rumah, jadi cukup diremote pake hape siomi...wkwk
    Jadi gak bengong deh ketika gak ada temen ngobrol yang asik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk,ngono yo oleh mas. nek ra jepret-jepret di bagian atas kapal mas, bikin foto 360 dengan background laut karimunjawa. bakal keren tuh

      Delete
  2. I really miss moments like this T.T

    ReplyDelete
    Replies
    1. me too. Tunggu aku selesain PR kak, ntar kita main-main lagi ;-)

      Delete
  3. Karimunjawa jadi destinasi wisata tujuan. Tapi, lagi nyari sponsor biar bisa kesana Gratis. Hehhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kak, nanti kalau udah dapet sponsor calling me ya. Mau juga diajakin ;-)

      Delete
  4. Wihhhhh Keren ia, harus selalu diabadikan nih setiap moment nya ....

    ReplyDelete
  5. berkoper ato beransel yg penting pergi mbak :p

    ReplyDelete
  6. kalo aku prefer ransel daripada koper, salam #TeamRansel

    ReplyDelete
  7. Kalau aku sesuaikan dulu mau kemana.Tapi intinya yang penting cuzzzz :D

    ReplyDelete
  8. Sejauh ini aku blm pernah traveling berkoper. hahaha yaelah, paling lama jg seminggu sih, jd ransel uda cukup bgt. hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Ya itu tadi mas. Balik ke kebutuhan. Kalau cuma aku sendiri jelas milih ransel 😁

      Delete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)