Icip-icip Bubur Banjar di Masjid Darussalam

Masjid Darussalam

Masjid ini letaknya tidak di pinggiran jalan raya. Untuk menemukannya, kita harus masuk ke sebuah gang di wilayah Jayengan, Solo. Tapi biarpun begitu, Masjid Darussalam ini rame luar biasa kala sang waktu menunjuk antara pukul 15.00-16.00.


Keramaiannya bukan tanpa alasan. Karena sekitar pukul itulah, masjid ini membagikan bubur Banjar atau yang biasa disebut bubur samin kepada masyarakat yang datang.



“Saya kalau puasa pasti meluangkan waktu untuk cari bubur ke sini, Mbak” cerita seorang mbak-mbak yang ternyata ia juga sesama warga Wonogiri. “Sekalian belanja lebaran ke PGS, sekalian mampir,” katanya lagi.

Bubur khas Banjar ini mulai dimasak sejak sekitar pukul 12.00. Cita rasa yang khas, aroma rempah dan rasanya yang gurih, itu yang membuatnya banyak dicari dan dinanti. Belum lagi cara mendapatkannya yang bisa dibilang susah, saking harus antri, membuatnya makin special.

Bubur Banjar hanya tersedia selama bulan puasa. Untuk mendapatkannya, kita harus membawa mangkuk atau wadah sendiri, dengan ukuran yang tidak terikat. Terserah, mau ukuran seberapapun tetap dilayani. Sesudah itu, wadah kita letakkan di meja bersama puluhan wadah-wadah warga yang lain yang juga mengantri. Tepat sehabis sholat Ashar, bubur mulai dibagikan.

“Sehari habis sekitar 45 kg beras, Mbak” cerita seorang bapak-bapak pengurus masjid saat saya iseng bertanya. Jumlah yang cukup fantastis.

Ta’jil Di Saat Buka Puasa

Menjelang adzan Magrib, Masjid Darussalam juga menyediakan ta’jil untuk para warga umum. Saya baru datang pas adzan Magrib berkumandang. Seorang bapak-bapak yang sedang berada di luar masjid langsung berlari tergesa masuk ke dalam. Lantas ketika saya mau masuk arena mushola perempuan, si bapak tersebut memanggil saya. Ia menyerahkan seperangkat menu buka puasa ala Masjid Darussalam.

Sepiring bubur Banjar, dengan 2 kurma di atasnya, serta dilengkapi sambal yang juga memiliki rasa yang khas, menambah nikmat saja  momen buka puasa di masjid ini. Segelas kopi yang tersaji serta sepotong roti ketan, juga makin membuat buka puasa terasa mantap. 



Menurut cerita, Bubur Banjar ini adalah sarana berbagi warga Banjar yang sudah sejak sekian tahun lalu menetap di kota Solo. Usut punya usut, rupanya, sekian tahun yang lalu banyak perantau Banjar yang merantau ke Solo untuk berjualan batu permata hingga akhirnya mereka diberikan lahan kosong oleh Pakubuwono X untuk mendiami wilayah Jayengan ini. Sementara, tradisi bagi-bagi bubur Banjar ini sudah terjadi sejak sekian tahun lalu yang entah dimulai oleh siapa.

Malam itu, adzan iqomat mulai berkumandang. Sepiring kenikmatan bubur Banjar yang sudah terkenal di Solo, habis terlumat. Piring-piring mulai disingkirkan. Berganti mukena-mukena yang mulai dikeluarkan dari tas masing-masing. Meskipun saya tak kenal dengan para pengunjung masjid ini, tapi kebersamaan saat berbuka meninggalkan kenangan yang cukup menyenangkan. Ahh, indahnya Ramadhan :-)



You Might Also Like

1 comments

  1. Maaaks... Kapan kapan kalo mbubur lagi aku ikutan yak. Pas aku di Solo yah

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)