Rokok dan Sebuah Buku : Cara Berhenti Merokok dari Novel Daniel Mahendra

Disini saya tidak ingin menempatkan diri saya sebagai orang sok suci yang membenci keras rokok. Nggak, saya memang tidak suka rokok, dan cukup prihatin kepada para perokok. Tapi, saya bukan orang yang memandang buruk seorang perokok, apalagi sampai membenci mereka. Gimana saya mau benci, orang-orang sekitar saya yang termasuk kategori orang-orang dekat, banyak yang perokok dan pada kenyataannya nasihat saya selalu mental pada mereka semua. Akhirnya berakhirlah saya pada pemakluman, lantaran mereka selalu berdalih pada kata “Susah!”


Usaha pemerintah yang coba mengurangi jumlah perokok dengan memberi gambar-gambar ekstrim perokok pun nampaknya tak membuahkan hasil. Suatu hari saya bahkan pernah bertanya kepada seorang teman tentang seberapa besar pengaruhnya gambar-gambar itu pada intensitasnya merokok. Dan jawabannya cukup masuk akal.

"Nggak ngaruh Mbak. Cuma gambar begitu, nggak bikin takut. Ngaruh itu, kalau harga rokok Rp. 50.000. Lha itu, mungkin nanti ngrokokku bakal berkurang," saya cuma mesem-mesem




Beberapa waktu lalu, saya membaca buku “Perjalanan ke Atap Dunia” karangan Daniel Mahendra. Yang juga sudah saya review. Dalam novel ini saya mendapatkan satu bagian menarik, dimana disitu Daniel bercerita bagaimana kisahnya saat dia memutuskan untuk berhenti merokok. Menurut saya bagian ini cukup inspiratif, dan mungkin bisa dipraktikan kalian-kalian yang punya kebiasaan merokok dan ingin berhenti. Bab Daniel berhenti merokok ini bakalan saya tuliskan lengkap. Siapa tahu bermanfaat. Setidaknya harapan saya, karena saya tidak bisa menghentikan kebiasaan merokok orang-orang dekat saya, semoga tulisan ini bisa membuat orang lain berjauhan dengan rokoknya siapapun kalian. Nah, berikut potongan bab dari buku Perjalanan ke Atap Dunia:

Dan Tibalah Hari yang Dinanti

Anda harus melakukan sesuatu yang
Anda pikir tak bisa anda lakukan
(Eleanor Roosevelt)

Ketika kali pertama masuk kamar hotel di kota Lhasa, aku bertanya kepada Juan: apakah ia merokok. Yang langsung dijawab “Tidak” olehnya. Dengan jawaban itu artinya aku tidak bisa merokok di dalam kamar. Ya, aku perokok, tetapi aku paling tidak suka asap rokokku mengganggu ketenangan orang lain.

Aku suka sebal setengah mati pada perokok yang mengisap rokok seenaknya di sembarang tempat. Padahal orang yang tidak merokok punya punya hak untuk menghirup udara bersih. Sama seperti hak seorang perokok untuk merokok. Maka jalan terbaik memang jalan tengah : merokoklah di smooking area atau di tempat yang sebisa mungkin asapnyatidak mengganggu orang yang tidak merokok. Kan mudah?

Dalam grup di Tibet, ternyata hanya dua orang yang kedapatan merokok: Aku dan Lee, seorang pemuda berkacamata asal Hongkong. Ketika kami selesai menyantap daging yak di Tibet Steak House, sebuah restoran kecil di pusat kota Lhasa, Lee mengikutiku keluar resto lebih dulu disbanding teman-teman lain. Sudah mafhum belaka: apalagi selain hendak merokok!

 “Kamu masih punya rokok Daniel?” tanya Lee.
              
“Oh, ada. Tapi Malboro merah. Nggak pa-pa?”
              
“Nggak pa-pa. Marlboro putihku habis. Aku minta satu ya…”
             
 “Ambillah,” tukasku sembari menyodorkan bungkus Marlboro impor yang kubeli seharga CNY 15 atau sekitar 20 ribuan di sebuah minimarket di kota Lhasa. “Eh, tapi aku nggak punya korek. Kena razia waktu mau masuk Potala tadi.”
              
“aku punya,” timpal Lee nyengir. Lantas kami merokok berdua sembari melihat-lihat lalu lintas kota Lhasa.
              
Ketika sedang asyik-asyiknya merokok, teman-teman lain sudah mulai keluar dari resto. Dan tanpa diduga, Eva si Denmark nyletuk, “Asap rokok kalian mengotori udara kota Lhasa yang beroksigen tipis,” ucapnya nyengir sembari ngloyor pergi melewati kami. Kontan aku dan Lee bengong saling pandang, dan tertawa. Teman-teman lain, yang kebetulan mendengar hal itu ikut ngakak. Ya, dan tak ada satupun dari mereka yang merokok kecuali kami berdua. Tetapi entah kenapa, aku langsung mematikan rokokku dan tercenung dengan kalimat Eva tadi.
              
Beberapa hari kemudian, aku sedang ngobrol dengan Juan di trotar, ketika menunggu masakan matang di sebuah warung kecil di kota Shigatse. Melihat aku tidak merokok, tiba-tiba Lee datang menghampiri dan menyodorkan bungkus Marlboro putihnya kepadaku. Barangkali ia hendak “mengganti” rokokku saat di Lhasa kemarin. Kukatakan padanya bahwa aku sedang abtuk dan adalah lebih baik bagiku untuk sementara tidak merokok dulu. “Acute Mount Sickness-ku belum pulih benar,” tukasku. Lee pun memaklumi, lalu ngeloyor pergi melihat-lihat toko di sepanjang trotoar.
              
Lantas aku menoleh pada Juan, “Kamu pernah merokok, Juan?”
             
“Aku? Wow! Aku perokok berat!”
              
“Oya?! Lalu bagaimana bisa berhenti?”
              
“Ya berhenti saja.”
              
“Berhenti saja gimana?”
              
“Berhenti merokok. Langsung berhenti merokok. Kamu juga bisa kok.”
              
“Aku Cuma mengangkat bahu. “Ingin sekali, tapi aku belum tau caranya.”
              
“Caranya? Kamu bisa berhenti saat ini juga, bertahap, nanti, atau nggak sama sekali. Tapi intinya kamu harus mengambil keputusan.”
             
“Keputusan?”
             
“Ya, berapa batang kamu merokok dalam sehari?”
             
“Satu bungkus isi 20 batang.”
              
“Aku dua bungkus sehari, Man!”
             
“Wow! Dan kamu bisa berhenti?!”
              
“Yeah!”
              
“Bagaimana caranya?”
              
“Keputusan, Man. Satu keputusan untuk berhenti merokok, dan wuss, segalanya berhenti saat itu juga.”
             
 “Ah, dalam praktiknya nggak semudah itu…”
              
“Aku tahu. Memang nggak mudah. Berat. Sangat berat. Tapi ketika kita konsekuen dengan keputusan kita, segalanya bisa kalau kita mau. Yang kita butuhkan hanya keberanian kok.”
             
“Hmmm…” aku merenungkan kalimat Juan.
              
“Ya, keberanian. Kita boleh punya uang dan persiapan matang untuk traveling keliling dunia. Dan ketika semua itu tercapai, lantas apa? Kita pulang dan membuat goal demi goal baru. Membuat rencana traveling baru. Negara baru. Tantangan baru,” ia berhenti sejenak untuk menunggu reaksiku.

“Tetapi keberanian untuk berhenti merokok adalah keberanian untuk menantang diri kita sendiri. Lebih dari sekedar menaklukkan suatu tempat untuk kita kunjungi. You can do it, Man!”
              
“Well-well-well…”
              
“Kamu yang memutuskan. Bukan orang lain. Berapa umur kita? Nggak jauh beda, kan?Masih muda, Man! Sayangi tubuh kita. Hidup kita terlalu berkualitas untuk dirusak dengan nikotin,” tambah Juan berapi-api.
              
“You fuck, Juan…” aku nyengir.
             
Juan hanya mengangkat bahu. “Terserah kamu. Tapi aku tahu kamu bisa lakukan itu,”
              
Aku mengadah melihat langit kota Shigatse dan menghela napas. Juan masih menambahi, “Ketika aku sudah nggak merokok, dan melihat orang atau teman-teman sedang merokok, huffhh… rasanya ingin sekali merokok. Benar-benar nggak tertahankan. Karena aku tahu betul nikmatnya merokok. Been there, done that. Tapi disitulah keberanian kita diuji.”
              
Dalam hati aku mengamini kalimat Juan. Memang keinginan untuk berhenti merokok sudah lama sekali muncul dalam diriku. Tetapi keberanian untuk mengambil keputusan berhenti selalu saja tidak pernah muncul. Aku merasa sudah berada pada titik nikmatnya merokok, di mana merokok adalah sebuah kebutuhan mutlak. Di rumah jika kehabisan rokok, aku rela keluar jam dua atau tiga dini hari hanya untuk membeli rokok. Sampai seperti itu pembelaanku terhadap rokok!
              
Tahun 2010 lalu, ketika berkunjung ke kota Jember, Jawa Timur, aku mampir ke rumah guru teater SMA-ku. Setelah lama ngobrol di ruang tamunya, tiba-tiba aku baru menyadari bahwa sejak tadi ia tidak kedapatan merokok. Sementara aku klepas-klepus seenaknya tanpa perasaan bersalah. Itu pun gara-gara ia mengawali dengan kalimat, “Di sini bebas merokok, lho. Santai. Jangan sungkan.”
              
Akhirnya aku pun bertanya, “Apa sudah berhenti merokok, Cak? Kok dari tadi nggak merokok.”
              
“Iya, Niel. Aku sudah lama berhenti.”
              
“Oya? Wah, bagaimana bisa?”
              
“Aku juga nggak tahu. Awalnya sangat sederhana sekali kok. Waktu itu aku sedang duduk sendirian di ruang tamu ini. Persis di kursi ini. Tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran:goal apa ya yang belum bisa kulakukan dalam hidup ini? Tanyaku dalam hati. Sesuatu yang ingin kulakukan tapi penuh perjuangan luar biasa untk mewujudkannya.
              
Langsung saja aku mendapati jawaban: bagaimana kalau berhenti merokok? Lantas sejak itu aku memutuskan untuk berhenti merokok. Sederhana sekali keputusannya.”
              
“Nggak berat?”
              
“Wih, berat sekali… kuakui berat sekali ketika harus memulainya. Tapi ya itu tadi, aku punya goal. Sejak itu aku berhenti merokok.”
              
Di trotoar yang tak ramai, di depan sebuah warung makan kecil di kota Shigatse, Juan masih berdiri dihadapanku dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana jeans. Ia mentapku sembari tertawa geli karena tahu : dalam diriku sedang berkecamuk hebat soal keputusan berhenti merokok.
              
Aku masih termenung-menung menyimak kata-kata Juan dan mengingat cerita guru teater SMA-ku tadi. Betapa banyak ragam versi cerita orang untuk berhenti merokok. Dari mulai vonis menyeramkan dari dokter, terpaksa karena pasangan atau keluarga menuntut kondisi demikian, sampai kesadaran pada diri sendiri. Aku sendiri menginginkan: jika suatu saat memang betul-betul berhenti merokok, alasan itu harus terbit semata kesadaran diri sendiri. Bukan karena faktor di luar diriku. Tetapi ironisnya: justru disitulah sulitnya.
              
Tiba-tiba aku ingat kata-kata Plato: kemenangan utama dan terbesar adalah mengalahkan diri sendiri. Lantas aku melihat diriku saat ini: aku sedang menjalani mimpiku. Pergi ke Tibet, mengunjungi Potala, melihat gugusan Himalaya, dan menggenggam saljunya. Meski bukan tanpa kendala, aku bisa. Aku melampaui goal-ku. Semua tercapai seperti apa yang aku inginkan. Lantas, kenapa aku tidak bisa mengalahkan diriku sendiri untuk berhenti merokok? Alangkah benar Juan: yang dibutuhkan memang keberanian. Keberanian untuk mengambil keputusan untuk berhenti. Kalau aku berani mengambil keputusan untuk pergi ke Tibet, mengapa aku tak berani mengambil keputusan untuk berhenti merokok?
              
Kutatap mata Juan. Ia hanya mengangkat bahu.
              
“OK! Aku berhenti sekarang!” tukasku tiba-tiba.
              
Lagi-lagi ia mengangkat bahu sembari mencibirkan bibirnya. “Bukan karena aku. Hanya kamu yang bisa memutuskan.”
              
“I know. Makannya aku memutuskan berhenti.”
              
“Good!” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
              
Oke. Aku memang tidak butuh ucapan selamat darinya. Atau dengan berlebihan membayangkan tiba-tiba ia menyalamiku sembari mengucapkan kalimat: welcome to the club, Buddy!” Tidak. Ini keputusanku sendiri. Aku yang memutuskan, otomatis aku yang harus memperjuangkan keputusanku. Aku menyadari: hari-hari ke depan bakal sangat berat karena aku mesti menjauhi kebiasaan merokok yang sudah puluhan tahun akrab denganku. Tetapi aku pun menyadari: Tak ada perubahan apa-apa tanpa suatu keputusan yang kita ambil.
              
Maka sejak 20 April 2011 di kota Shigatse, Tibet aku memutuskan untuk berhenti merokok selama-lamanya dari hidupku. Meski sejak di kota Lhasa beberapa hari yang lalu, aku memang sudah tidak merokok karena kesehatanku yang terganggu, tetapi tetap saja keputusan untuk berhenti aku ucapkan pada 20 April di kota Shigatse. Dan aku senang sudah berani mengambil keputusan.
***

Masih ada lanjutan bagian kisah bagaimana Daniel berhenti merokok. Selengkapnya, silakan dibaca di Novel Perjalanan ke Atap Dunia yak^^

You Might Also Like

2 comments

  1. Aku benci rokok, perokok, dan merokok. Alhamdulillah suami ku bukan perokok. Btw makk, aku follow GFC nya ya #5 ditunggu folbek nya..

    ReplyDelete

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)