#CDJ 2: Tempat Ngopi
“Da, kamu mau minum apa?” Pertanyaan teman menyadarkan saya dari aktivitas beberapa detik melamun saat melihat sekilas penyajian kopi Joss Tugu.
“Ahh ya. teh saja” sahut saya kemudian.
Saya sedang mendatangi sebuah kedai kopi Joss Tugu Jogja dengan seorang kawan, mantan rekan kerja saya dulu, hari itu.
Meskipun saya tak pesan kopi, melihat penyajian segelas kopi, ingatan saya justru terbang sejenak ke Solo. Ke sebuah rumah, tempat kawan baik saya yang lain tinggal.
Baca Juga
Hemm, saya itu, kalau bicara tentang kopi, tempat ngopi, ataupun restauran, akhir-akhir ini yang saya ingat justru wajah teman saya. Seorang sahabat baik yang baru beberapa bulan ini akhirnya memutuskan berhijab murni karna kesadarannya. Saya ingat dia, bukan lantaran penampilan barunya, tapi tentang kata-katanya:
“Laki-laki itu kalau sudah punya pacar, ujungnya perempuan-perempuan lain yang didekatinya itu hanya sebatas seperti tempat ngopi, ataupun restauran”
“Maksudnya?”
“ Buat mereka perempuan-perempuan ini nyaman sih, tapi hanya tempat singgah sementara saat mereka suntuk. Bukan buat tinggal selamanya. Gimanapun para perempuan ini hanya sebagai cadangan, dan si pacar tetep jadi yang paling disayang,”
Kala itu saya hanya terkekek. Ngakak sejadi-jadinya. Pembicaraan tentang ghibah membicarakan hubungan teman kami, entah kenapa hari itu, ujungnya jadi sebuah kesimpulan sok tahunya kawan baik saya yang seolah sudah mensurvey seluruh lelaki di dunia. Analogi-analogi mengenai unsur 1 tambah satu yang selalu tak selamanya 2 yang coba saya sampaikan, tetap tak bisa menggeserkan kebersikukuhan pandangan kawan saya ini.
Dan parahnya, gegara pembicaraan itu, saya kalau lihat restaurant atau tempat ngopi, bawaannya ingat kata-kata ini. Kata-kata yang sejatinya bukan buat saya sih, tapi entah kenapa saya kok malah jadi tergiring untuk menyetujui ucapannya. Haha.
Mungkin lantaran sebuah retweet yang saya baca menyuarakan hal yang sangat mirip dengan ucapan kawan saya ini. Fiuhhh., pengaruh bacaan sosial media kadang memang melekat ketika ada persamaan suara maupun kejadian di sekitar.
Tampaknya saya bener-bener butuh kopi, biar tetep bisa percaya bahwa unsur 1 tambah satu tak selamanya dua. Seperti halnya kopi, yang meskipun sudah ditambah gula, tak selamanya manis. Karna semua kopi manis hanyalah kopi yang mendapat gula dengan takaran yang pas. Seperti halnya jodoh, semua bakal menjadi jodoh kalau memang sudah pas dengan nama yang dituliskan Illahi di Lauhul Mahfuz. Kalau belum, ya bahkan sudah menikah pun bisa bubar. Sedangkan kalau memang sudah garisNya, mereka yang kini sedang menjadikan perempuan ‘tempat ngopi’ pun, bisa saja Tuhan menggerakkan hatinya untuk menjadikan sosok si perempuan sebagai ‘yang selalu’ membuatkan kopi tiap pagi (ehh, tapi bukan pembantu lho maksudnya. Haha). Yang pasti, Tuhan kan selalu punya cara-cara kreatif untuk menyatukan dua insan yang memang sudah jadi kodratNya bersatu.
“Habis ngopi, kita poto-poto di Tugu Jogja Mbak!” usul saya saat pesanan teh saya datang
Kawan ngopi saya hari itu sumringah. Tentu saja, dua minggu dia di Jogja, dia belum kemana-mana selain kosnya, kos saya, dan tempat kerja barunya.
Pun saya, senang hati saya karena keberadaan saya di Jogja rupanya bertepatan dengan keberadaannya yang harus mengikuti training. Kebetulan yang ajaib.
Lagipula, biarpun selama ini kami pernah bekerja bersama dan sekaligus menjadi teman selama 5 tahunan, ya baru hari itu kami benar-benar main bareng berdua ke tempat yang agak jauh dari Solo. Yaa, walaupun hanya ngeteh di kedai kopi dan poto-poto di Tugu Jogja saja.
“Geser ke kanan, Mbak,
Ehh, kiri dikit
Maju dikit,”
ujar saya berusaha mencarikan sudut jepretan terbaik.
“Ehh, awas Da, Mobil!”
Sudah merasa pas tinggal tekan tombol capture HP, saya dikagetkan dengan kedatangan mobil yang baru saja akan melaju karena lampu hijau sudah menyala.
Baru saya sadar, Tugu Jogja, ternyata tempat yang susah untuk mengambil foto. Tantangannya kalau nggak harus nunggu pengunjung yang lain yang sedang foto biar gambar tidak bocor, ya harus siap siaga menghindari mobil yang melaju dari 4 penjuru perempatan. Yeahh, biarpun hasil foto tak maximal karena hp saya pun payah untuk mode malam, setidaknya, malam itu Jogja memberikan kesan bagi kami.
Puas jeprat-jepret dalam waktu yang hanya sebentar, kami lantas bersiap pulang. Kami mengambil motor kembali ke parkiran dekat kedai kopi Joss. Saat melewati kedai kopi lagi, saya pengen ngakak akibat terbayang-bayang wajah dan ucapan teman saya untuk ke sekian kalinya. Yeahh, mungkin ini pertanda kapan-kapan sepertinya saya perlu gantian mengajak teman saya itu untuk ngopi beneran, bukan sekedar membicarakan 'tempat ngopi'.
10 comments
Jadi kangen Jogja nih hehe
ReplyDeleteCus main
DeleteCewe kalau lagi kumpul kalau gak curhat ya ghibah hehehe
ReplyDeleteBegitulah. Haha
DeleteIya, pingin foto di tugu Jogja susah hehe
ReplyDeleteJadi pingin ke Jogja lagi, suasana malemnya ngangenin
ReplyDeleteJadi kangen ngopi di pinggir jalan malioboro hehehe
ReplyDeleteNcen sing ngangeni di warung kopi sebenere adalah obrolannya.. G bakal entek pokoke.. haha
ReplyDeleteBtw.. Nung Tugu tah kopi josse..
Yen favoritku ng Kali Code..
Btw.. Kok part 1 ilang..?
Dulu ke kali code cuma muterin kampung e. Bolehlah, kpan2 tak cobane. Rekomendasimu biasane sip, koyo geprekan bien. Haha
DeleteTak tarik meh tak edit. Tapi jik males
Aku malah belum pernah sekalipun foto di Tugu Jogja :D
ReplyDeleteSemoga yang tersaji, bisa bermakna.
Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook
Terima Kasih :)